Selasa, 22 Desember 2009

Plutokrasi


Oleh: Herman Oesman

“Barang siapa memiliki uang satu sen maka ia berdaulat
(sejauh satu sen) atas seluruh manusia”
Hugh Dalziel Duncan, (Sosiologi Uang, 1997)



UANG adalah raja, uang adalah segala-galanya. Demikian ungkapan-ungkapan yang sering kita dengar, saksikan dan mungkin juga kita lakukan sendiri. Segala urusan akan beres, bila angka-angka yang tercetak dalam lembaran kertas atau logam yang dibuat sedemikian rupa itu tersedia di depan mata kita.
Hugh Dalziel Duncan dalam bukunya Sosiologi Uang (1997) memberikan pernyataan yang bisa membuat merah telinga siapa saja, “barang siapa memiliki uang satu sen maka ia berdaulat (sejauh satu sen) atas seluruh manusia”. Ungkapan Duncan di atas, dipertegas oleh Carlyle dan Marx dengan memberikan kesepakatan, bahwa misteri uang terungkap melalui pakaian (atau apa yang kita konsumsi) yang di sana ditandai perbedaan kelas dan kekuasaan.
Pergeseran orientasi hidup dengan menjadikan modal, uang atau alat produksi sebagai kekuasaan telah tumbuh di mana-mana, yang jauh sebelum itu justeru telah menjadi dasar perjuangan kelas kaum proletariat melawan kaum borjuasi yang dihela melalui pemikiran-pemikiran Karl Marx. Bagi mereka yang tidak memiliki modal atau uang, bersiaplah tersingkir atau disingkirkan dari gelanggang kehidupan. Uang telah menjadi sebuah “komunitas” (dengan tanda petik) yang memiliki hukum-hukum, tradisi dan hak-hak secara empirik. Uang juga, dalam pandangan Weber (1978) memiliki ideologi-rasionalisme yang mampu memengaruhi kehidupan masyarakat.
Tanpa sadar, hakikat hidup mulai dikalkulasi. Orang mulai menghitung nilai kemanusiaan melalui angka-angka. Sesuatu yang amat fatal bagi peradaban kemanusiaan. Dalam kawah candradimuka itulah, uang telah menjadi penyangga tatanan sosial. Angka sekian ditambah deretan angka nol dalam lembaran kertas maupun tumpukan logam telah menyeret masyarakat dunia menuju kawasan yang demikian enigmatik. Lebih dari itu, melalui uang, manusia diseret hingga kehilangan pribadi (impersonalitas), menggapai roh obyektif atas subyektif. Bahkan Thorstein Veblen menganalisis, penggunaan uang telah membangun sikap dan budaya tanding-menandingi (emulasi) yang tak sehat antara satu individu dengan individu yang lain.
Dianalisis lebih jauh oleh Veblen, bahwa norma-norma selera yang berkaitan dengan uang jika tidak dikomunikasikan dengan baik, maka fungsi sosial yang benar, baik dan indah tak dapat dipahami.
“Agama uang” –demikian ia disebut— mencapai puncak ke jayaannya sekitar tahun 1925, saat Calvin Coolidge, Presiden Amerika ke-30 memberitahu warganya, “our business to business,” (urusan kita adalah bisnis). Dari sinilah, wabah dan virus “agama uang” mulai menjalar, yang saat ini perkembangannya demikian pesat dan menghantam dinding dan ruang realitas sosial kita. Mulai dari keluarga, kerabat hingga lingkup yang lebih luas. Wabah uang kini telah menjadi ukuran di dunia manapun. Di sudut kota New York misalnya, kekuasaan sosial semata-mata hanya kekuasaan uang. Nilai lebih secara sosial telah didasari oleh rekening bank yang gemuk, demikian diungkap Duncan.
Pada bidang seni sastra, juga terjadi hal yang sama. Ketika F. Scott Fitzgerald dalam novel yang ditulisnya tentang orang-orang kaya, ia menggambarkan kelompok the have ini dengan sosok yang memuat nafsu dan perasaan, melalui ungkapan misteri uang yang dapat mengimbas segala bentuk hubungan antar perorangan.
Pada wilayah politik, uang juga menjadi penentu sejauh mana kebijakan itu dikeluarkan berdasar deretan angka nol. Untuk memenangkan kompetisi dalam satu partai politik tidak lepas dari kalkulasi-kalkulasi angka, hingga menentukan hajat hidup rakyat, angka-angka tetap menjadi dewa. Untuk memenangkan suatu proyek di level legislatif, eksekutif harus rela mengucurkan deretan angka nol, kalau tidak, proyek tak bakalan direstui legislatif. Kongkalikong demi deretan angka nol tak memandang status atau kharisma, ada ungkapan, iblis juga suka uang, apalagi manusia. Nah, uang dengan deretan angka banyak juga telah menyeret orang baik, orang saleh, orang alim ke gerbang pintu penjara.
Jadi jangan heran, jika berkaitan dengan uang orang tak segan menghalalkan segala cara. Dalam kenyataan sehari-hari, orang mengejar uang dengan saling jilat, sikut dan penuh warna kekerasan, merupakan hal yang telah dianggap biasa-biasa saja. Kenyataan ini telah memberi isyarat, bahwa kita tengah mulai menyuburkan ciri-ciri dari sikap dan watak plutokrasi, yakni mereka yang memiliki modal/uang atau alat produksi untuk tujuan-tujuan pribadi. Inilah yang oleh Otto Fenichel memberi argumentasi, “kita akan menemukan bahwa dorongan untuk memupuk kekayaan adalah bentuk khusus dari naluri kepemilikan yang dimungkinkan oleh fungsi sosial uang dalam sebuah masyarakat kapitalis”. Ya, kapitalis adalah sesuatu yang di benci tapi dirindukan di tengah keterpurukan semua sendi kehidupan. Kita adalah kapitalis yang sok moralis.
Apa yang disinyalir oleh Fenichel di atas boleh jadi benar, karena akhir-akhir ini, berbagai fasilitas maupun dana yang diperuntukan bagi masyarakat kecil telah tertelan bulat-bulat oleh watak kapitalis kita. Di sekitar kita, korupsi dan sejumlah dana-dana bantuan telah mulai menyebarkan aroma busuk. Karena didalamnya bermain para kapitalis.
Benarkah kita mulai bersikap dan bertindak seperti sang plutokrasi dengan model kapitalis? Jelang Pemilu nanti, banyak bertebaran watak plutokrasi di sekitar kita dengan berdalih untuk membantu kaum miskin, bantuan sosial dan lain-lain. Dapatkah kita menjemput semua nilai-nilai kebaikan, kemanusiaan, keadilan dan kebenaran dengan watak yang selalu ditutupi perilaku yang menghalalkan segala cara? Entahlah...[]