Selasa, 22 Desember 2009

MALUKU UTARA : ANTARA GERAKAN KEBUDAYAAN TRADISIONAL DAN MODERNITAS


Oleh Herman Oesman

Pengantar

MALUKU Utara, atau secara historis lebih dikenal dengan sebutan Moloku Kie Raha, adalah sebuah kosmopolitan yang ’terlempar’ dari sejarah masa lalunya. Kini, dengan tertatih-tatih, negeri yang pernah menjadi ’penentu’ kebudayaan, harus rela berdesak-desakan dalam etalase kebudayaan modernitas, sembari membiarkan sejarah dan kebudayaan tradisionalnya kehilangan elan vital perubahan.

Satu per satu Maluku Utara kehilangan pesona tradisinya, walaupun memang, menurut Anthony Giddens (2002) bahwa tradisi tidaklah hilang dalam masyarakat post-tradisional sekarang ini. Yang menjadi persoalan besar adalah tradisi itu telah berganti baju, rupa dan dandanan yang begitu mencolok. Lalu, masyarakat pun lama-lama bergerak dalam intelektual literati (yang hanya mengelus pusaka kultural) tanpa mampu mendorong intelektual inteligensia. Mari kita catat, berapa banyak daftar kekayaan intelektual Maluku Utara yang tak mampu lagi menjadi tuan di rumah kebudayaannya sendiri? Saksikan, kita ternyata lebih mengigau dengan kejayaan masa lalu tanpa sedetik pun mau beringsut bangkit. Kita lebih banyak diam, diam dan diam.
Kelemahan lain adalah kurangnya gerakan memperbanyak kantong (enclave) seni dan budaya sebagai penyangga (buffer) sejarah serta menyuburkan kantong-kantong pemikiran khusus bidang sejarah dan kebudayaan. Di kampus-kampus, kita kehilangan panggung budaya yang mampu membangkitkan ruh kreativitas. Kita adalah deretan masyarakat pengekor.

Sejarah dan kebudayaan Maluku Utara lebih masuk pada pergulatan supra-struktur dan kurang mendorong proyeksi institusional yang diorientasikan pada aspek sumber daya kebudayaan sebagai basis pembangunan. Otomatis, pergerakan kebudayaan dan sejarah Maluku Utara sebagai penentu, justru lebih tergantung pada struktural-institusi, dan belum memaksimalkan diri sebagai pemasok sumber-sumber kebudayaan lokal yang kaya.
Masalahnya, sejauh ini belum pernah ada upaya inventarisasi dan dokumentasi yang serius dalam bidang ini, baik oleh perguruan tinggi maupun Pemerintah Daerah (Provinsi/Kabupaten/Kota), belum ada sinergitas untuk menjadikan berbagai sumber-sumber kebudayaan Maluku Utara sebagai daya tarik investasi. Kita lebih bangga ketika sumber-sumber kebudayaan itu tercetak dalam brosur-brosur yang didesain apa adanya. Buktinya, sumber-sumber kebudayaan Maluku Utara secara nasional kurang mampu eksis dan tidak dikenal.

Maka semua potensi peninggalan prehistoris dan sejarah, sosial budaya seperti seni, ritual adat, arsitektur tradisional, dan artefak hasil kerajinan (handicraft) yang dimiliki Maluku Utara perlu dieksploitasi. Disinilah dibutuhkan kecermatan untuk melakukan proyeksi peran ke masa depan, dengan memperkenalkan kebudayaan tradisional Maluku Utara dalam etalase modernitas, karena bagaimana pun juga, struktur sosial budaya di masa depan sangat terkait dengan struktur ekonomi, maka penting memikirkan gerakan kebudayaan tradisional yang berbasis cultural enterpreneurship sebagai modal sosial.

Inilah tantangan bagi masyarakat dan Pemerintah Daerah se-Maluku Utara untuk melakukan konstruksi struktur kebudayaan di tengah tantangan modernitas yang demikian kuat dan berpengaruh.

Tradisi dalam Masyarakat

Menurut Anthony Giddens, sangat rasional jika kita mengakui bahwa tradisi dibutuhkan dalam masyarakat, karena dapat membangun kesinambungan dan memberi bentuk pada kehidupan. Dialektika dan konfrontasi antara tradisi dan modernitas, fundamentalisme dan kosmopolitan, kebebasan dan otonomi, perlu diselesaikan dengan pendekatan terbuka dan dialogis yang dipandu dengan nilai-nilai universal.
Kita semua membutuhkan adanya komitmen moral dalam kehidupan sehari-hari. Pentingnya komitmen moral itu, ditekankan kembali oleh Giddens dengan kalimat “tidak seorang pun dari kita dapat menemukan makna dalam hidupnya, jika tidak mempunyai sesuatu yang bernilai untuk diperjuangkan mati-matian”.

Menurut Giddens, tidak mungkin kita hidup dalam suatu dunia yang sama sekali tidak ada unsur-unsur sakralnya lagi yang biasanya diperjuangkan oleh kaum fundamentalis. “… I have to say, in conclusion, that I don’t think we can”, tegas Giddens. Masalahnya, dalam setiap tradisi yang masih dipegang dan dipelihara oleh orang-orang di era post-tradisional ini, siapa yang menentukan tradisi itu? Penentu tradisi adalah para guardians, menurut Giddens.

Dalam pandangan Giddens, ada lima unsur yang perlu diperhatikan dalam tradisi. (1) memori, seperti halnya tradisi-merupakan pengorganisasian masa lalu dalam hubungannya dengan masa kini. Dalam hal itu, tradisi dapat dikatakan sebagai sebuah medium pengorganisasian memori kolektif. (2) tradisi selalu melibatkan tindakan ritual; dan tindakan ritual itu menjamin terpeliharanya tradisi. (3) tradisi mengandung “formulaic truth”, di mana hanya orang-orang tertentu saja yang mempunyai akses dalam truth itu. Biasanya adalah guardians. Dalam tradisi, hampir tidak ada ruang untuk tidak setuju atau berbeda. (4) guardians mempunyai peran dalam memelihara tradisi. Guardians mempunyai otoritas dan lebih ditonjolkan adalah sisi status mereka, bukan kompetensinya seperti expertise dalam masyarakat modern. (5) semua tradisi mengandung atau mempunyai nilai-nilai moral dan norma-norma yang mengikat anggotanya.

Nilai-nilai dan norma-norma itu, biasanya ditentukan oleh guardians yang menawarkan dan memberikan kenyamanan ontologis bagi para anggotanya. Abad pencerahan, sangat berkeinginan untuk menghancurkan otoritas tradisi, baik itu melalui penghapusan lembaga maupun nilai kulturalnya sehingga masyarakat mengalami detradisionalisasi. Kalangan modern, menganggap bahwa tradisi merupakan akar masalah dari gerakan konservatisme. Namun demikian, dengan adanya globalisasi dan modernisasi, ternyata tidak melenyapkan nilai tradisi, dan malahan membangkitkan kegairahan nilai-nilai tradisi di era modern dan global. Sebagian masyarakat dunia, menganggap bahwa nilai tradisional dapat mengisi ruang-kosong akibat adanya modernisasi saat ini.
Oleh karena itu, menurut Giddens, sangat rasional jika kita mengakui bahwa tradisi dibutuhkan dalam masyarakat, karena dapat membangun kesinambungan dan memberi bentuk pada kehidupan.

Untuk gerakan kebudayaan tradisional dan modernitas, kita butuh guardians (penjaga/pengawal) yang memiliki konsistensi tinggi, etos dan modal sosial lain yang kuat, sehingga dapat menjadi penyangga bagi kelangsungan kebudayaan Maluku Utara di masa-masa akan datang.


Sebuah Pemikiran

Pada posisi inilah, hal yang harus dilakukan adalah membangun kosmologi dan penguatan pandangan kepercayaan masyarakat terhadap nilai budaya itu sendiri. Perlunya pemahaman-pemahaman yang berimbang tentang kesatuan pandangan kosmos ini. Juga diperlukan pranata-pranata kebudayaan atau lembaga-lembaga setempat untuk memperkuat posisinya dalam melakukan hubungan sosial ekonomi dan konflik-konflik yang muncul. Maluku Utara sangat kaya dengan nilai-nilai kebudayaan-nya harusnya menjadi perhatian di tingkat eksekutif dan legislatif untuk mengembangkannya.
Saksikan, bagaimana daerah-daerah di Indonesia mampu mengembangkan tradisi kebudayaannya dengan sangat kreatif, atraktif dan menjadi ikon bahkan mendatangkan nilai ekonomis serta devisa bagi daerahnya. Mengapa Maluku Utara tak bisa mengundang masyarakat daerah lain untuk datang ke daerah ini? Mengapa kita tidak pernah serius mengembangkan pusat-pusat kebudayaan yang ada? Mengapa kita lebih gampang bekerja dan mengembangkan pusat kebudayaan Maluku Utara dengan setengah hati? Perhatikan bagaimana Benteng Kota Janji, Benteng Kalamata, Benteng Barnaveld, Benteng Toluko, dan pusat-pusat kebudayaan lainnya hanya menjadi tempat yang sepi dari pengunjung?
Perhatikan, di mana model rumah adat tradisional Maluku Utara yang bisa dibanggakan? Bagaimana nasib gerabah asal Mare (boso mare) di tengah tuntutan kebanggaan lokal? Masih berderet lagi tradisi-tradisi Maluku Utara sebagai stock of knowledge yang tercecer tak dihiraukan.

Dengan demikian, kita butuh Gerakan Peduli Kebudayaan sebagai salah satu elemen blueprint pembangunan Maluku Utara ke depan agar tidak menjadi fosil bagi generasi masa mendatang di tengah intaian kebudayaan global. Mungkin, Pemerintah Daerah se-Maluku Utara sudah harus sedikit peduli, kalau tidak, kebudayaan daerah ini hanyalah nama dan kita pun akan kehilangan pilar peradaban. Lalu kemana identitas kebudayaan Maluku Utara selama ini pergi?[]