Selasa, 22 Desember 2009

KORUPSI


(Oleh : Herman Oesman)

BAGI kita, masyarakat Indonesia, korupsi bukanlah “makhluk” aneh dan asing. Seluruh ruang publik dari negeri yang mengaku agama sebagai pijakan moral ini, telah dianggap sebagai sesuatu yang biasa-biasa saja. Tak berlebihan bila seorang pemimpin teladan yang amat bersahaja, mantan Wakil Presiden RI Pertama DR. Moh. Hatta, pernah menyebutkan secara tegas," korupsi di negeri ini telah membudaya."

Memang, menyusuri akar korupsi, dari mana ia muncul, apa dan bagaimana modelnya, membutuhkan waktu yang tidak pendek dan menguras seluruh energi. Tapi, di negeri ini, korupsi dapat ditemukan di mana saja. Turun temurun secara struktural dalam bingkai kekuasaan mana pun. Mulai dari wilayah tertinggi hingga terkecil, pusat hingga pelosok desa, sangat mudah “dikenali”. Tak butuh sang ahli, masyarakat kelas bawah pun dapat “membaca” seperti apa gejala korupsi itu. Ini sejalan dengan ungkapan Mochtar Lubis dalam salah satu tulisannya, yang menilai korupsi "bagaikan udara. Terasa, namun begitu sulit untuk dipegang."

“Makhluk” misterius ini telah menjadi perhatian serius semua negara-negara di dunia, saat hembusan transparansi dan akuntabilitas publik begitu kuat menuntut. Korupsi, telah menjadi fenomena endemik manakala ada yang tak beres dalam perilaku penguasa yang memegang kekuasaan dengan se-mena-mena.

Mungkin, Lord Acton benar ketika berteriak, "kekuasaan cenderung korup, dan kekuasaan mutlak akan korup secara mutlak pula". Bagi Mochtar Lubis dan James C. Scott ketika menyunting buku mereka KORUPSI POLITIK (YOI, 1993) mencoba merumuskan persepsi korupsi dari sudut pandang John Waterbury, di mana dalam pengertian hukum, korupsi adalah perbuatan yang menguntungkan pribadi oleh pejabat-pejabat negara, yang secara langsung melanggar larangan-larangan hukum terhadap tingkah laku demikian.

Korupsi, berkait erat dengan moral dan perilaku, utamanya anggota-anggota birokrasi yang berkuasa.
Mochtar Lubis dalam kata pengantar untuk buku yang disuntingnya itu, mengungkapkan, pada akhirnya korupsi tanpa batas secara besar-besaran akan meruntuhkan kekuasaan itu sendiri.
Banyak contoh rontoknya rezim-rezim korup yang berkuasa, seperti di Tiongkok dengan rezim Kuomintang. Di Rumania, pernah hidup rezim Ceaucescu yang memerintah bagai raja dengan kekuasaan penuh. Begitu juga di Jerman Timur –sebelum terjadi reunifikasi dengan Jerman Barat—pernah berada diketiak para pemimpin komunis bergaya hidup super mewah yang lebih menonjolkan kekuasaan absolutisme. Demikian halnya dengan negara tetangga kita, Philipina, pernah berada di bawah rezim totalitarianisme dengan pe-ngendali utama Ferdinand Marcos. Untuk Indonesia, runtuhnya rezim kekuasaan otoritarianisme Orde Baru di bawah Soeharto menjadi indikator penting dari kasus korup tersebut.

Arnold J. Heidenheiner (1970) pernah membuat pemetaan yang demikian simplistis, dengan membagi korupsi menjadi korupsi kecil, korupsi rutin dan korupsi yang menjengkelkan. Korupsi kecil, mengacu pada pembelokan peraturan resmi demi keuntungan teman, sebagaimana diwujudkan dalam laporan yang agak tidak jujur mengenai soal-soal rinci, pengabaian tanggal pemutusan (cut-of dates) dan lain-lain. Sementara korupsi rutin, dalam praktek sampai taraf tertentu, biasanya terjadi dalam kota-kota yang berdasarkan warga-kebudayaan. Akan tetapi biasanya hanya dalam bentuknya yang sudah disaring melalui pengkolektifan penerima, misal terima hadiah oleh pejabat pemerintah, yang biasanya terjadi dalam hubungan patron - klien tradisional.

Thesis Arnold di atas memang bukan untuk Indonesia. Ia mengambil sampel indikasi tersebut pada beberapa negara yang menjadi obyek penelitiannya sekitar tahun 1950 sampai 1970-an, antara lain di Kota Yunani dan beberapa negara di bagian Amerika Latin. Namun thesis tersebut bagi Indonesia, justru memberikan pembenaran saat ini. Bahkan lebih ngeri lagi di level daerah.

Soal korupsi kecil dan korupsi rutin yang akhirnya menggurita menjadi korupsi menjengkelkan, mungkin dapat kita temukan sehari-hari, dalam komunitas dan hubungan kita dengan sesama. Contoh paling telanjang saat kita memberikan “hadiah” atau apalah namanya, pada penguasa atau mereka yang memegang kuasa untuk memperoleh sesuatu, merupakan bukti paling kuat, bahwa kita juga tengah mempersubur bibit korupsi.

Mungkin saatnya kita perlu berteriak lantang untuk menghabisi para koruptor, sambil kita belajar juga untuk mulai jujur pada diri sendiri...[]

-------------------------
Direvisi kembali (10/12/2009) tulisan ini pernah dimuat di Tabloid Aspirasi (alm)
Edisi No. 187/Thn 4/Tgl. 5 - 12 JUNI 2002