Selasa, 22 Desember 2009

Etika Politik, Bukan Hanya Moralitas Politikus


BANYAK pengamat politik berpandangan sinis: "Berbicara etika politik itu seperti berteriak di padang gurun." "Etika politik itu nonsens". Realitas politik adalah pertarungan kekuatan dan kepentingan. Politik dibangun bukan dari yang ideal, tidak
tunduk kepada apa yang seharusnya. Dalam politik, kecenderungan umum adalah tujuan menghalalkan segala cara.Dalam konteks ini, bagaimana etika politik bisa berbicara?

Urgensi etika politik

Kalau orang menuntut keadilan, berpihak pada korban, memberdayakan masyarakat melalui civil society, membangun demokrasi, bukanlah semua itu merupakan upaya mewujudkan etika politik? Dalam situasi kacau, bukankah etika politik menjadi makin relevan? Pertama, betapa kasar dan tidak santunnya suatu politik, tindakannya membutuhkan legitimasi. Legitimasi tindakan ini mau tidak mau harus merujuk pada norma-norma moral, nilai-nilai hukum atau peraturan perundangan. Di sini letak celah di mana etika politik bisa berbicara dengan otoritas. Kedua, etika politik berbicara dari sisi korban. Politik yang kasar dan tidak adil akan mengakibatkan jatuhnya korban. Korban akan membangkitkan simpati dan reaksi indignation (terusik dan protes terhadap ketidakadilan). Keberpihakan pada korban tidak akan mentolerir politik
yang kasar. Jeritan korban adalah berita duka bagi etika politik.

Ketiga, pertarungan kekuasaan dan konflik kepentingan yang berlarut-larut akan membangkitkan kesadaran akan perlunya penyelesaian yang mendesak dan adil. Penyelesaian semacam ini tidak akan terwujud bila tidak mengacu ke etika politik. Seringnya pernyataan "perubahan harus konstitusional", menunjukkan etika politik tidak bisa diabaikan begitu saja.

Kekhasan etika politik

Tujuan etika politik adalah mengarahkan ke hidup baik, bersama dan untuk orang lain, dalam rangka memperluas lingkup kebebasan dan membangun institusi-institusi yang adil (Paul Ricoeur, 1990). Definisi etika politik membantu menganalisa korelasi antara tindakan individual, tindakan kolektif, dan struktur-struktur yang ada. Penekanan adanya korelasi ini menghindarkan pemahaman etika politik yang diredusir menjadi hanya sekadar etika individual perilaku individu dalam bernegara. Pengertian etika politik dalam perspektif Ricoeur mengandung tiga tuntutan, pertama, upaya
hidup baik bersama dan untuk orang lain...; kedua, upaya memperluas lingkup kebebasan...,
ketiga, membangun institusi-institusi yang adil. Tiga tuntutan itu saling terkait. "Hidup baik bersama dan untuk orang lain" tidak mungkin terwujud kecuali bila menerima pluralitas dan dalam kerangka institusi-institusi yang adil. Hidup baik tidak lain adalah cita-cita kebebasan: kesempurnaan eksistensi atau pencapaian keutamaan. Institusi-institusi yang adil memungkinkan perwujudan kebebasan dengan menghindarkan warganegara atau kelompok-kelompok dari saling merugikan.
Sebaliknya, kebebasan warganegara mendorong inisiatif dan sikap kritis terhadap institusi-institusi yang tidak adil.
Pengertian kebebasan yang terakhir ini yang dimaksud adalah syarat fisik, sosial, dan politik yang perlu demi pelaksanaan
kongkret kebebassan atau disebut democratic liberties: kebebasan pers, kebebasan berserikat dan berkumpul,
kebebasan mengeluarkan pendapat, dan sebagainya.

Dalam definisi Ricoeur, etika politik tidak hanya menyangkut perilaku individual saja, tetapi terkait dengan tindakan kolektif
(etika sosial). Dalam etika individual, kalau orang mempunyai pandangan tertentu bisa langsung diwujudkan dalam tindakan. Sedangkan dalam etika politik, yang merupakan etika sosial, untuk dapat mewujudkan pandangannya
dibutuhkan persetujuan dari sebanyak mungkin warganegara karena menyangkut tindakan kolektif.
Maka hubungan antara pandangan hidup seseorang dengan tindakan kolektif tidak langsung, membutuhkan perantara. Perantara ini berfungsi menjembatani pandangan pribadi dengan tindakan kolektif. Perantara itu bisa berupa simbol-simbol maupun nilai-nilai: simbol-simbol agama, demokrasi, dan nilai-nilai keadilan, kebebasan, kesetaraan, dan sebagainya. Melalui simbol-simbol dan nilai-nilai itu, politikus berusaha meyakinkan sebanyak mungkin warganegara agar menerima pandangannya sehingga mendorong kepada tindakan bersama. Maka politik disebut seni karena membutuhkan kemampuan untuk meyakinkan melalui wicara dan persuasi, bukan manipulasi, kebohongan, dan kekerasan. Etika politik akan kritis terhadap manipulasi atau penyalahgunaan nilai-nilai dan simbol-simbol itu. Ia berkaitan dengan masalah
struktur sosial, politik, ekonomi, dan budaya yang mengkondisikan tindakan kolektif.

Etika politik vs Machiavellisme

Tuntutan pertama etika politik adalah "hidup baik bersama dan untuk orang lain". Pada tingkat ini, etika politik dipahami sebagai perwujudan sikap dan perilaku politikus atau warganegara. Politikus yang baik adalah jujur, santun, memiliki
integritas, menghargai orang lain, menerima pluralitas, memiliki keprihatinan untuk kesejahteraan umum, dan tidak mementingkan golongannya. Jadi, politikus yang menjalankan etika politik adalah negarawan yang mempunyai keutamaan-keutamaan moral. Dalam sejarah filsafat politik, filsuf seperti Socrates sering dipakai sebagai model yang memiliki kejujuran dan integritas. Politik dimengerti sebagai seni yang mengandung kesantunan. Kesantunan politik diukur dari keutamaan moral. Kesantunan itu tampak bila ada pengakuan timbal balik dan hubungan fair di antara para
pelaku. Pemahaman etika politik semacam ini belum mencukupi karena sudah puas bila diidentikkan dengan kualitas moral politikus. Belum mencukupi karena tidak berbeda dengan pernyataan. "Bila setiap politikus jujur, maka Indonesia
akan makmur". Dari sudut koherensi, pernyataan ini sahih, tidak terbantahkan. Tetapi dari teori korespondensi, pernyataan hipotesis itu terlalu jauh dari kenyataan (hipotetis irealis).

Etika politik, yang hanya puas dengan koherensi norma-normanya dan tidak emperhitungkan real politic, cenderung mandul. Namun bukankah real politic, seperti dikatakan Machiavelli, adalah hubungan kekuasaan atau pertarungan kekuatan? Masyarakat bukan terdiri dari individu-individu subyek hukum, tetapi terdiri dari kelompok-kelompok yang mempunyai kepentingan yang saling berlawanan. Politik yang baik adalah politik yang bisa mencapai tujuannya, apa pun caranya. Filsuf Italia ini yakin tidak ada hukum kecuali kekuatan yang dapat memaksanya. Hanya sesudahnya, hukum dan hak akan melegitimasi kekuatan itu. Situasi Indonesia saat ini tidak jauh dari gambaran Machiavelli itu. Politik dan moral menjadi dua dunia yang berbeda. Etika politik seakan menjadi tidak relevan. Relevansi etika politik terletak pada
kemampuannya untuk menjinakkan kekuatan itu dan mengatur kepentingan-kepentingan kelompok dengan membangun institusi-institusi yang lebih adil.

Institusi sosial dan keadilan prosedural

Institusi-institusi sosial harus adil karena mempengaruhi struktur dasar masyarakat. Dalam struktur dasar masyarakat,seperti dikatakan John Rawls, sudah terkandung berbagai posisi sosial dan harapan masa depan anggota masyarakat berbeda-beda dan sebagian ditentukan oleh sistem politik dan kondisi sosial-ekonomi. Terlebih lagi, institusi-institusi sosial tertentu mendefinisikan hak-hak dan kewajiban masyarakat, yang pada gilirannya akan mempengaruhi masa depan setiap orang, cita-citanya, dan kemungkinan terwujudnya. Dengan demikian institusi-institusi sosial itu sudah
merupakan sumber kepincangan karena sudah merupakan titik awal keberuntungan bagi yang satu dan kemalangan bagi yang lain. Maka membangun institusi-institusi yang adil adalah upaya memastikan terjaminnya kesempatan sama
sehingga kehidupan seseorang tidak pertama-tama ditentukan oleh keadaan, tetapi oleh pilihannya.

Keutamaan moral politikus tidak cukup tanpa adanya komitmen untuk merombak institusi-institusi sosial yang tidak adil, penyebab laten kekerasan yang sering terjadi di Indonesia. Maka sering didengar pepatah "yang jujur hancur". Ungkapan ini menunjukkan
urgensi membangun institusi-institusi yang adil. Ini bisa dimulai dengan menerapkan keadilan prosedural. Keadilan prosedural adalah hasil persetujuan melalui prosedur tertentu dan mempunyai sasaran utama peraturan-peraturan, hukum-hukum, undang-undang. Jadi prosedur ini terkait dengan legitimasi dan justifikasi. Misalnya, kue tart harus dibagi adil untuk lima orang. Maka peraturan yang menetapkan "yang membagi harus mengambil pada giliran yang terakhir"
dianggap sebagai prosedur yang adil. Dengan ketentuan itu, bila pembagi ingin mendapat bagian yang tidak lebih kecil
dari yang lain, dengan sendirinya, tanpa harus dikontrol, dia akan berusaha membagi kue itu sedemikian rupa sehingga
sama besarnya.

Dengan demikian, meski ia mengambil pada giliran terakhir, tidak akan dirugikan. Di Indonesia, para penguasa, yang dalam arti tertentu adalah pembagi kekayaan atau hasil kerja sosial, justru sebaliknya, berebut untuk mengambil yang
pertama. Tentu saja akan mengambil bagian yang terbesar. Maka banyak orang atau kelompok yang mempertaruhkan semua untuk berebut kekuasaan. Keadilan prosedural menjadi tulang punggung etika politik karena sebagai prosedur sekaligus mampu mengontrol dan menghindarkan semaksimal mungkin penyalahgunaan. Keadilan tidak diserahkan kepada keutamaan politikus, tetapi dipercayakan kepada prosedur yang memungkinkan pembentukan sistem hukum yang baik sehingga keadilan distributif, komutatif, dan keadilan sosial bisa dijamin. Dengan demikian sistem hukum yang
baik juga menghindarkan pembusukan politikus. Memang, bisa terjadi meski hukum sudah adil, seorang koruptor divonis bebas karena beberapa alasan kepiawaian pengacara, tak cukup bukti, tekanan terhadap hakim, dan sebagainya. Padahal, prosedur hukum positif yang berlaku tidak mampu memuaskan rasa keadilan, penyelesaiannya harus mengacu ke prinsip epieikeia (yang benar dan yang adil).

Bagaimana menentukan kriteria kebenaran dan keadilan?

Semua diperlakukan sama di depan hukum. Ketidaksamaan perlakuan hanya bisa dibenarkan bila memihak kepada yang paling tidak diuntungkan atau korban. Secara struktural, korban biasanya sudah dalam posisi lemah, misalnya, warga terhadap penguasa, minoritas terhadap mayoritas. Prinsip epieikeia ini mengandaikan ntegritas hakim, penguasa atau yang berkompeten menafsirkan hukum. Maka ada tuntutan timbal balik, prosedur yang adil belum mencukupi bila tidak dilaksanakan oleh pribadi yang mempunyai keutamaan moral.

DR. Haryatmoko, pengajar filsafat di Pascasarjana UI, Universitas Sanata Dharma, dan IAIN Sunan Kalijaga, Jogjakarta

Sumber: http://tumasouw.tripod.com/artikel/etika_politik_bukan_hanya_moralitas.htm
Teruskan baca - Etika Politik, Bukan Hanya Moralitas Politikus

Urgensi Media Lokal Dalam Pilkada


(Oleh Rahmat Abd Fatah)

MEDIA dalam hubungannya dengan kekuasaan merupakan arena pergulatan antar ideologi yang saling berkompetisi (the battle ground for competing ideologies). Media dijadikan sebagai ruang dimana berbagai ideologi direpresentasikan. Kelompok dominan berusaha menampilkan definisi serta konstruksi realitas sosial menurut versi mereka sendiri. Dalam arena itu, berbagai dimensi esensial atau isu persoalan sehari-hari didefinisikan menurut kepentingannya dan berusaha menjadikan versinya sebagai yang paling absah.

Media lokal menjadi mesin produksi kreatif dalam mengkonstruksi berita. Pekerjaan Pers lokal pada hakikatnya adalah seperti yang diistilahkan oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckmann sebagai konstruksi realitas. Sehingga isi media sekedar hasil para pekerja media dalam mengkonstruksikan berbagai realitas yang dipilihnya. Karena hanya menceritakan berbagai kejadian atau peristiwa, maka berita pada dasarnya merupakan realitas yang telah dikonstruksikan.

Lebih dari itu, kelompok kritis biasanya menilai bahwa media lokal adalah partisipan dari kelompok yang ada dalam masyarakat. Media lokal adalah bagian dari kelompok atau kelas tertentu dalam masyarakat, sehingga pemberitaan yang dilakukan oleh media lokal sulit dihindari dari sikap partisipannya. Sehingga media lokal secara intens kerap menciptakan suatu realitas yang dimiliki dan dialaminya secara subyektif. Subyektifitas tersebut muncul, terutama jika terdapat tuntutan pragmatisme dari instiusi media yang harus dipenuhi oleh seorang jurnalis. Wujudnya adalah motif kepentingan pada tingkat perorangan, diantaranya yang bersifat politis (partisan). Motif tersebut menjadikan proses dan kerja berita bukan lagi didasarkan pada landasan etis dan professional, namun pada landasan politik.

Motif politik mampu menjadi ruh sekaligus menentukan arahnya sebuah laporan. Prosesnya berdasarkan kebijakan redaksional media yang menginginkan adanya sebuah frame yang didasarkan atas kepentingan internal media. Individu atau seorang jurnalis mengkonstruksi realitas sosial, dan merekonstruksikannya dalam dunia realitas, sekaligus memantapkan realitas itu berdasarkan kepentingan institusi medianya. Hal itu juga diperkuat oleh adanya latar belakang pendidikan, agama, jenis kelamin, etnisitas, yang kesemuanya turut mempengaruhi wartawan dalam menghasilkan sebuah liputan (media content). Akibatnya, cepat atau lambat, media terjebak ke dalam trial by the press.

Memfungsikan Pers Lokal

Pasca lahirnya UU No.40/ 1999, semakin memperkuat wacana kebebasan pers. pers lalu mulai diarahkan pada peran tanggungjawab sosial mereka. Baik sebagai sistem maupun fungsi keempat dalam pilar demokrasi. Munculnya otonomi daerah dan pilkada dengan beragam persoalan didalamnya diharapkan diimbangi oleh keberadaan media lokal. Sebab sebagai penyeimbang keberadaan dari pilar keempat demokrasi dalam wilayah daerah. media lokal diharapkan bisa membaca kemungkinan-kemungkinan yang terjadi dalam proses politik lokal yang didasarkan pada konteks masyarakat.

Tentu yang diharapkan adalah bukan mengangkat salah satu nama calon, tapi kondisi yang terjadi. Masyarakat tidak akan tahu kredibilitas, kapabilitas maupun loyalitas calon dalam musim kampanye. Karena kita tidak akan bisa melihat kemampuan dari calon tersebut. Akan tetapi, kondisi yang nyaman dan demokratis adalah harapan masyarakat.

Sehingga, konstruksi realitas yang dibangun bukan pada wilayah keunggulan calon. Tapi pada persoalan rasionalitas dan partisipasi penuh masyarakat terhadap proses politik ini. Sehingga kontrol masyarakat terhadap pemerintah semakin ketat, dan media massa sebagai forum dialog antar komunitas tersebut. Keberadaan pers lokal pada dasarnya adalah membangun kearifan lokal dalam politik, sebab pers nasional tidak akan mampu melakukannya karena harus melihat kondisi masyarakat pembacanya.
***
Jelang Pilkada Kabupaten Kota
Teruskan baca - Urgensi Media Lokal Dalam Pilkada

Elit dan Track Record


(Oleh : Herman Oesman)

"Kekuasaan tak pernah menjadi milik perorangan,ia senantiasa menjadi milik kelompok dan hanya bisa tegak selama orang-orangdalam kelompok bersangkutan menegakkannya secara bersama-sama."(Hannah Arendt, 1972:143)

Kita belum menyadari sungguh, untuk apa dan bagaimana kekuasaan itu dikelola. Kita memang belum terlalu tahu untuk apa “politik kekuasaan” itu. Apa memang semata-mata untuk “kebutuhan” pribadi sang elit? Ataukah? Lantas mengapa kita habis-habisan merebut, pertahankan dan akhirnya menjadi gila dan mati karena kekuasaan. Paranoid, alienasi, trauma dan akhirnya depresi, adalah fenomena kuat dikalangan elit yang tidak lagi berkuasa. Kemana modal sosial politik ketika kekuasaan itu kita genggam. Kekuasaan memang melenakan, dan kadang membuat kita lupa untuk turun ketika berada di puncak. Kekuasaan adalah kegilaan sekaligus kematian.
Yang justru kita abaikan dalam setiap moment kekuasaan adalah melakukan rekaman jajak (track record) sang elit atau mereka yang berkuasa. Track record menjadi sangat penting untuk mengetahui apakah sang elit masih pantas untuk dipilih kembali? Bagaimana selama kepemimpinannya, adakah yang telah diperbuat? Ataukah hanya menggunakan kekuasaannya untuk kepentingan diri, kelompok dan sebagainya. Track record ini harus dicatat. Karena setiap elit, apalagi yang bersinggungan dengan publik, sekecil apapun yang diperbuatnya, harus diketahui publik. Publik bukanlah domain kaku, publik menurut Jurgen Habermas (1991) adalah suatu sistem yang menyediakan ruang otoritas. Elit yang mau diakui, dihargai, dihormati, dilayani seperti raja, harus melalui otoritas ruang publik ini.

Dengan begitu, elit yang hendak berkuasa (termasuk yang mau lagi berkuasa), harus siap di rekam jajaknya oleh publik. Penerimaan publik merupakan jembatan antara kepentingan publik dan kepentingan sistem kekuasaan (termasuk pelanggengan kekuasaan) yang didalamnya terjadi pertarungan hegemoni habis-habisan, dan hanya publik yang cerdas-lah yang dapat mencari solusi terbaik dari pertarungan hegemoni tersebut. Namun, kadang, publik pun dimobilisir, dijadikan broker dan pendukung sikap-sikap dan pandangan politik yang keliru, termasuk menampilkan ragam peran pura-pura dan munafik dalam setiap babak dramaturgi politik.

Kekuasaan mestinya menjadi –modal sosial-- meminjam ungkapan R.D. Putnam (2001)-- yang didalamnya terjaga hubungan antar individu-individu, jaringan sosial dan norma timbal-balik serta saling percaya yang tumbuh di antara mereka. Untuk menjaga modal sosial politik itu, maka tidak ada jalan lain, track record harus jadi ukuran, agar kesalahan, kekeliruan dan ketidak-mampuan elit dalam mengelola kekuasaan tidak jatuh dalam lubang untuk kedua-kalinya. Setiap elit yang berkuasa harus disadarkan atas kekeliruannya, agar publik tidak terperosok pada labirin persoalan yang sama dengan elit.
Nah, persoalannya, sudahkah track record setiap elit yang berkuasa, ataukah mereka yang merasa diri elit --entah di birokrasi, organisasi kemasyarakatan (ormas), partai politik, institusi ekonomi, bahkan sampai institusi terkecil-- sudah kita rinci secara detil “siapa mereka?” Jangan-jangan demokrasi yang kita usung dan teriakkan hanyalah bagian dari pentas muslihat kita. Bukankah politik adalah sebuah permainan ketidak-mungkinan? Ah…kita ternyata banyak bersandiwara…!
Teruskan baca - Elit dan Track Record

KORUPSI


(Oleh : Herman Oesman)

BAGI kita, masyarakat Indonesia, korupsi bukanlah “makhluk” aneh dan asing. Seluruh ruang publik dari negeri yang mengaku agama sebagai pijakan moral ini, telah dianggap sebagai sesuatu yang biasa-biasa saja. Tak berlebihan bila seorang pemimpin teladan yang amat bersahaja, mantan Wakil Presiden RI Pertama DR. Moh. Hatta, pernah menyebutkan secara tegas," korupsi di negeri ini telah membudaya."

Memang, menyusuri akar korupsi, dari mana ia muncul, apa dan bagaimana modelnya, membutuhkan waktu yang tidak pendek dan menguras seluruh energi. Tapi, di negeri ini, korupsi dapat ditemukan di mana saja. Turun temurun secara struktural dalam bingkai kekuasaan mana pun. Mulai dari wilayah tertinggi hingga terkecil, pusat hingga pelosok desa, sangat mudah “dikenali”. Tak butuh sang ahli, masyarakat kelas bawah pun dapat “membaca” seperti apa gejala korupsi itu. Ini sejalan dengan ungkapan Mochtar Lubis dalam salah satu tulisannya, yang menilai korupsi "bagaikan udara. Terasa, namun begitu sulit untuk dipegang."

“Makhluk” misterius ini telah menjadi perhatian serius semua negara-negara di dunia, saat hembusan transparansi dan akuntabilitas publik begitu kuat menuntut. Korupsi, telah menjadi fenomena endemik manakala ada yang tak beres dalam perilaku penguasa yang memegang kekuasaan dengan se-mena-mena.

Mungkin, Lord Acton benar ketika berteriak, "kekuasaan cenderung korup, dan kekuasaan mutlak akan korup secara mutlak pula". Bagi Mochtar Lubis dan James C. Scott ketika menyunting buku mereka KORUPSI POLITIK (YOI, 1993) mencoba merumuskan persepsi korupsi dari sudut pandang John Waterbury, di mana dalam pengertian hukum, korupsi adalah perbuatan yang menguntungkan pribadi oleh pejabat-pejabat negara, yang secara langsung melanggar larangan-larangan hukum terhadap tingkah laku demikian.

Korupsi, berkait erat dengan moral dan perilaku, utamanya anggota-anggota birokrasi yang berkuasa.
Mochtar Lubis dalam kata pengantar untuk buku yang disuntingnya itu, mengungkapkan, pada akhirnya korupsi tanpa batas secara besar-besaran akan meruntuhkan kekuasaan itu sendiri.
Banyak contoh rontoknya rezim-rezim korup yang berkuasa, seperti di Tiongkok dengan rezim Kuomintang. Di Rumania, pernah hidup rezim Ceaucescu yang memerintah bagai raja dengan kekuasaan penuh. Begitu juga di Jerman Timur –sebelum terjadi reunifikasi dengan Jerman Barat—pernah berada diketiak para pemimpin komunis bergaya hidup super mewah yang lebih menonjolkan kekuasaan absolutisme. Demikian halnya dengan negara tetangga kita, Philipina, pernah berada di bawah rezim totalitarianisme dengan pe-ngendali utama Ferdinand Marcos. Untuk Indonesia, runtuhnya rezim kekuasaan otoritarianisme Orde Baru di bawah Soeharto menjadi indikator penting dari kasus korup tersebut.

Arnold J. Heidenheiner (1970) pernah membuat pemetaan yang demikian simplistis, dengan membagi korupsi menjadi korupsi kecil, korupsi rutin dan korupsi yang menjengkelkan. Korupsi kecil, mengacu pada pembelokan peraturan resmi demi keuntungan teman, sebagaimana diwujudkan dalam laporan yang agak tidak jujur mengenai soal-soal rinci, pengabaian tanggal pemutusan (cut-of dates) dan lain-lain. Sementara korupsi rutin, dalam praktek sampai taraf tertentu, biasanya terjadi dalam kota-kota yang berdasarkan warga-kebudayaan. Akan tetapi biasanya hanya dalam bentuknya yang sudah disaring melalui pengkolektifan penerima, misal terima hadiah oleh pejabat pemerintah, yang biasanya terjadi dalam hubungan patron - klien tradisional.

Thesis Arnold di atas memang bukan untuk Indonesia. Ia mengambil sampel indikasi tersebut pada beberapa negara yang menjadi obyek penelitiannya sekitar tahun 1950 sampai 1970-an, antara lain di Kota Yunani dan beberapa negara di bagian Amerika Latin. Namun thesis tersebut bagi Indonesia, justru memberikan pembenaran saat ini. Bahkan lebih ngeri lagi di level daerah.

Soal korupsi kecil dan korupsi rutin yang akhirnya menggurita menjadi korupsi menjengkelkan, mungkin dapat kita temukan sehari-hari, dalam komunitas dan hubungan kita dengan sesama. Contoh paling telanjang saat kita memberikan “hadiah” atau apalah namanya, pada penguasa atau mereka yang memegang kuasa untuk memperoleh sesuatu, merupakan bukti paling kuat, bahwa kita juga tengah mempersubur bibit korupsi.

Mungkin saatnya kita perlu berteriak lantang untuk menghabisi para koruptor, sambil kita belajar juga untuk mulai jujur pada diri sendiri...[]

-------------------------
Direvisi kembali (10/12/2009) tulisan ini pernah dimuat di Tabloid Aspirasi (alm)
Edisi No. 187/Thn 4/Tgl. 5 - 12 JUNI 2002
Teruskan baca - KORUPSI

NEGERI TERTINDAS


Oleh Herman Oesman

Negeri ini, tengah mengumpulkan sisa-sisa kebanggaan masa lalunya. Mencoba berdiri sambil membingkai kepingan mozaik yang hampir pupus warnanya. Aneh, kepingan mozaik itu dibingkai justeru tidak tepat. Sejarah kita sebagai negeri yang memeluk otonomi semakin centang perenang. Dan, di samping itu, ada dua kutub yang saling berlawanan.

Titik kutub pertama, ditindih oleh ketidak-mampuan mengakses kesempatan, karena memang sistem tidak berpaling pada kutub ini. Sementara pada kutub kedua, kutub yang lain, memiliki kemampuan lebih besar dalam mengakses kesempatan, karena memang sistem tengah digenggam. Jadilah otonomi daerah bagai kesempatan emas untuk menelikung apa saja bagi mereka yang memiliki kesempatan dan kekuasaan.

Lihatlah, sementara kita tengah menampung keluhan mereka yang tengah babak-belur akibat penderitaan. Justeru masih ada sebagian orang yang menikmati keluhan dan penderitaan itu dengan menjadikannya obyek sambil mengabainya. Negeri ini, sepertinya tak lagi memiliki sedikit empati akan rasa penderitaan yang terjadi.

Negeri ini tak lagi memiliki “pakem” humanitas expleta et eloquens, kemanusiaan yang penuh dan sanggup mengungkapkan diri. (Wendelin Rauch, humanismus, 1952).

Gaya hidup yang membalikkan logika kesadaran masyarakat kini tengah bergerak serentak. Demikian halnya dengan titik imbang pembangunan yang harus dijaga agar tidak berat sebelah, seakan-akan menjadi kata-kata sakti di atas konsep. Proses pembohongan demi pembohongan begitu mudah hadir dalam wilayah wacana publik.

Kita justeru tengah bergelut dengan sesuatu yang tak pasti. Lalu berderet pertanyaan kian kencang menghantam bilik akal sehat dan nurani kita. Untuk apa pembangunan? Ada apa dengan otonomi daerah? Mengapa suburnya kolusi, korupsi dan monopoli?

Kita tak tahu pasti bagaimana wajah negeri ini ke depan. Kita bukanlah Michel de Nostradamus, sebagaimana digambarkan dalam film The Man Who Saw Tomorrow (The Prophecies Nostradamus) yang kemampuan ramalannya terhadap arah suatu negeri tak diragukan. Kita saling bertatap muka dengan kebodohan masing-masing.

Kita sedang larut dalam kepedihan yang ada, tapi sedikit pun tak ada kekuatan untuk melawan kebodohan dan kepedihan itu. Kita tandas dalam kekakuan. Kita seolah menjalani “hidup” apa adanya. Tanpa dikaji. Tanpa makna. Tanpa arah. Dan negeri ini bagai penjara untuk mereka yang dipinggirkan. Di mana setiap senti waktu adalah ruang untuk menumpahkan “ideologi” amarah dan rasa gusar yang tertekan. Di sisi lain, negeri ini menjadi sorga untuk mereka yang tak memiliki idiom moralitas dalam meraup dan menguras apa saja.

Termasuk secara absah merawat kepedihan yang ada, agar praktek tipu-menipu dapat berjalan lancar. Semua itu bermain di sekitar kita. Di depan mata kita. Acap kali pembicaraan dan diskusi kita selalu bermuara pada persoalan eksistensialis, ontologis dan epistemologis seperti ini : ”Mau kemana negeri ini dibawa?” Kita pun kembali terdiam. Ternyata, masa depan negeri ini telah menjadi keprihatinan bersama. Aksioma yang tepat dipakai, masa depan negeri ini telah menjadi pikiran semua orang.

Hari ini, tanpa ditolak, kita tengah memutar mesin sejarah. Menghadirkannya di negeri berwajah penuh misteri, kusam dan involutif. Yah, sebuah lagu kesedihan tengah kita nyanyikan. Kompak dan bersama-sama. Akankah sejarah itu menjadi kebanggaan anak cucu kelak? Ataukah, sejarah itu menjadi legitimasi anak cucu untuk menggugat rasa bangga selama ini?

Saatnya, memikirkan kembali negeri ini, dengan merubah kata-kata sakti : sejahtera, maju, mandiri, bermartabat, berperadaban dan lain-lain dari sekadar pemanis bibir menjadi kerja-kerja serius mulai saat ini, bukan nanti. Dari cita-cita dan mimpi besar, menjadi harapan untuk dibuktikan bagi generasi mendatang.

Terlalu lama negeri ini terpuruk dalam kubangan ketidak-berdayaan, hanya karena ketololan dan ketidak-pahaman kita akan potensi yang kita miliki. Haruskah dalam ketololan itu kita tampil angkuh dan arogan? Mungkin kita butuh sedikit keberanian untuk menolak yang tolol dan berlagak pintar, atau sedikit legitimasi untuk menggugat berbagai konsep-konsep yang tidak jelas yang hanya membawa arah negeri ini pada kubangan yang lebih dalam.

Harapan masih ada dalam genggaman. Jangan kita lepaskan. Negeri ini harus berani keluar dari berbagai ikatan-ikatan yang membelenggu. Bagaimana nasib negeri ini 5, 10 atau sekian puluh tahun ke depan, sangat ditentukan sikap dan langkah tegas hari ini. Berbagai kegagalan yang telah terjadi akibat salah urus, harus segera diakhiri. []

Notes : Catatan Akhir Tahun untuk Elit se-Maluku Utara
Teruskan baca - NEGERI TERTINDAS

KONTESTASI KUASA


Oleh: Herman Oesman

KEKUASAAN itu dikuasai, direbut, dipertahankan dan sejumlah “jurus” akan dimainkan demi status yang bernama kekuasaan. Apakah “jurus” itu benar-benar sesuai dengan logika permainan (the game of logic), atau harus keluar dari garis normatif sebuah “jurus”. Orang yang terlibat didalamnya tak lagi peduli tentang batasan-batasan itu. Dan, itulah politik. Keras, kasar dan liar tapi ternyata banyak diminati. Politik adalah madu. Tulisan ini lahir dari kegelisahan dalam setiap wacana dan realitas politik, terutama berkaitan dengan kondisi dan struktur politik di Maluku Utara yang belum santun dan tidak dewasa.

Politik memang terbelah dalam dua watak perspektif. Di satu sisi politik merupakan sebuah keharusan untuk menata sistem kekuasaan sehingga berada pada koridor yang semestinya. Tentunya dengan aturan dan kerangka filosofi yang demikian substantif dan standar yang sesuai harapan publik. Sementara di sisi yang lain politik dipasung dalam pemahaman yang demikian sempit, dan muncul prasangka (prejudice) bahwa politik adalah wilayah yang demikian kotor.

Pada konteks inilah, arah politik –-jika berada dalam wilayah perspektif kedua di atas—sekalipun dengan tatacara dan “ritus” yang tidak lazim, dikategorikan sah-sah saja. Bahkan dengan mengingkari hati nurani dan melewati batas demarkasi kemanusiaan publik dari tatacara dan “ritus” politik, masih dianggap sebuah pembenaran (justifikasi).

Makanya, wilayah politik, siapa saja boleh secara emosional terlibat didalamnya. Aktif maupun pasif. Punya pendidikan tinggi atau biasa-biasa saja. Punya harta dan deposito atau orang kere, punya pengalaman atau sama sekali buta politik, serta sejumlah kekontrasan lain menjadi variabel yang demikian kentara. Dari sanalah, terjadi pertarungan untuk menuju ke kekuasaan. Toh, pada akhirnya, terdapat sejumlah kesempatan yang sengaja dibuat longgar untuk siapa saja boleh berada di kursi elit kekuasaan.

Hadirnya banyak figur ”calon pemimpin” dalam Pemilihan Kepala Daerah (Kabupaten/Kota) se-Maluku Utara, menjadi indikasi kuat, betapa kekuasaan tak pernah sepi dari menggelembungnya rasa suka cita para elit. Kita sering terjebak hanya pada tujuan sesaat, yakni demi meraih kekuasaan. Tapi bagaimana memberi penguatan kapasitas sistem pada semua struktur politik yang lebih beretika dan bermoral kadang menjadi sesuatu yang kita abaikan.

Mendorong tumbuhnya modernisasi politik yang lebih beretika adalah sebuah keharusan. Karena pandangan ini lebih mengarahkan aktivitas politik pada sisi etos keadilan dan penguatan kapasitas sistem politik. Untuk itu, diferensiasi politik, prinsip kesamaan dan keadilan serta usaha pembangunan politik yang berkeadilan merupakan elemen-elemen kunci bagi proses modernisasi politik. Tanpa semua itu, James S. Coleman (1990) memberi analisis, akan melahirkan akibat sampingan, yakni berupa ketegangan dan keterpecahan sistem politik.

Untuk menjaring elit di wilayah kekuasaan di masa depan, saat ini dan seterusnya, kita butuh harapan dan kesadaran baru agar berbagai kekeliruan, ketidakmampuan dan ketidakbecusan para elit tidak lagi terulang. Namun, politik adalah soal rebutan kekuasaan. Siapapun akan merebut dan mempertahankan apa yang akan dan telah dimilikinya, sekalipun dengan berbagai cara. Mungkinkah kita berharap banyak bakal hadirnya kualitas demokrasi dan elit politik yang beretika dan bermoral dengan pola laku dan menggunakan cara-cara lama yang lebih santun bagi wajah perpolitikan Maluku Utara ke depan? Waktu yang akan menjawab.

Disinilah menurut kacamata Romo Frans Magnis-Suseno sangat dibutuhkan kejujuran politik yang dapat mewarnai struktur-struktur sosial, ekonomi, politik, budaya dan ideologi. Karena menurut Magnis, ketidakjujuran sangat terkait dan relevan dengan struktur sosial, ekonomi, politik, budaya dan ideologi yang mendukung kekuasaan dan ketidakadilan struktural.

Percuma kita berteriak dan menghimbau nilai-nilai kejujuran, etika dan moral dalam politik, sementara struktur kekuasaan dan struktur politik sendiri tidak jujur. Kejujuran politik adalah landasan dasar kepribadian yang integral dan bertanggungjawab, berlaku sesuai standar-standar yang diharapkan dan menghormati hak orang lain. Olehnya itu, kejujuran dalam politik diperlukan kerangka dan landasan yang dapat dihitung. Kejujuran merupakan batasan untuk menilai para aktor dan elit politik. Sekalipun amat normatif, tapi dapat dikalkulasi/dihitung melalui perilaku dan tindakan politik.

Bila ini dapat dibentangkan dan berkaca atas realitas politik di Maluku Utara selama ini, tentunya kita butuh proses pembelajaran dari setiap kesalahan yang kita lakukan untuk masa datang yang lebih baik. Semoga Pilkada di beberapa kabupaten/kota di Maluku Utara lebih santun, bermartabat sehingga dapat menjadi pelajaran penting untuk generasi akan datang. []
Teruskan baca - KONTESTASI KUASA

MALUKU UTARA : ANTARA GERAKAN KEBUDAYAAN TRADISIONAL DAN MODERNITAS


Oleh Herman Oesman

Pengantar

MALUKU Utara, atau secara historis lebih dikenal dengan sebutan Moloku Kie Raha, adalah sebuah kosmopolitan yang ’terlempar’ dari sejarah masa lalunya. Kini, dengan tertatih-tatih, negeri yang pernah menjadi ’penentu’ kebudayaan, harus rela berdesak-desakan dalam etalase kebudayaan modernitas, sembari membiarkan sejarah dan kebudayaan tradisionalnya kehilangan elan vital perubahan.

Satu per satu Maluku Utara kehilangan pesona tradisinya, walaupun memang, menurut Anthony Giddens (2002) bahwa tradisi tidaklah hilang dalam masyarakat post-tradisional sekarang ini. Yang menjadi persoalan besar adalah tradisi itu telah berganti baju, rupa dan dandanan yang begitu mencolok. Lalu, masyarakat pun lama-lama bergerak dalam intelektual literati (yang hanya mengelus pusaka kultural) tanpa mampu mendorong intelektual inteligensia. Mari kita catat, berapa banyak daftar kekayaan intelektual Maluku Utara yang tak mampu lagi menjadi tuan di rumah kebudayaannya sendiri? Saksikan, kita ternyata lebih mengigau dengan kejayaan masa lalu tanpa sedetik pun mau beringsut bangkit. Kita lebih banyak diam, diam dan diam.
Kelemahan lain adalah kurangnya gerakan memperbanyak kantong (enclave) seni dan budaya sebagai penyangga (buffer) sejarah serta menyuburkan kantong-kantong pemikiran khusus bidang sejarah dan kebudayaan. Di kampus-kampus, kita kehilangan panggung budaya yang mampu membangkitkan ruh kreativitas. Kita adalah deretan masyarakat pengekor.

Sejarah dan kebudayaan Maluku Utara lebih masuk pada pergulatan supra-struktur dan kurang mendorong proyeksi institusional yang diorientasikan pada aspek sumber daya kebudayaan sebagai basis pembangunan. Otomatis, pergerakan kebudayaan dan sejarah Maluku Utara sebagai penentu, justru lebih tergantung pada struktural-institusi, dan belum memaksimalkan diri sebagai pemasok sumber-sumber kebudayaan lokal yang kaya.
Masalahnya, sejauh ini belum pernah ada upaya inventarisasi dan dokumentasi yang serius dalam bidang ini, baik oleh perguruan tinggi maupun Pemerintah Daerah (Provinsi/Kabupaten/Kota), belum ada sinergitas untuk menjadikan berbagai sumber-sumber kebudayaan Maluku Utara sebagai daya tarik investasi. Kita lebih bangga ketika sumber-sumber kebudayaan itu tercetak dalam brosur-brosur yang didesain apa adanya. Buktinya, sumber-sumber kebudayaan Maluku Utara secara nasional kurang mampu eksis dan tidak dikenal.

Maka semua potensi peninggalan prehistoris dan sejarah, sosial budaya seperti seni, ritual adat, arsitektur tradisional, dan artefak hasil kerajinan (handicraft) yang dimiliki Maluku Utara perlu dieksploitasi. Disinilah dibutuhkan kecermatan untuk melakukan proyeksi peran ke masa depan, dengan memperkenalkan kebudayaan tradisional Maluku Utara dalam etalase modernitas, karena bagaimana pun juga, struktur sosial budaya di masa depan sangat terkait dengan struktur ekonomi, maka penting memikirkan gerakan kebudayaan tradisional yang berbasis cultural enterpreneurship sebagai modal sosial.

Inilah tantangan bagi masyarakat dan Pemerintah Daerah se-Maluku Utara untuk melakukan konstruksi struktur kebudayaan di tengah tantangan modernitas yang demikian kuat dan berpengaruh.

Tradisi dalam Masyarakat

Menurut Anthony Giddens, sangat rasional jika kita mengakui bahwa tradisi dibutuhkan dalam masyarakat, karena dapat membangun kesinambungan dan memberi bentuk pada kehidupan. Dialektika dan konfrontasi antara tradisi dan modernitas, fundamentalisme dan kosmopolitan, kebebasan dan otonomi, perlu diselesaikan dengan pendekatan terbuka dan dialogis yang dipandu dengan nilai-nilai universal.
Kita semua membutuhkan adanya komitmen moral dalam kehidupan sehari-hari. Pentingnya komitmen moral itu, ditekankan kembali oleh Giddens dengan kalimat “tidak seorang pun dari kita dapat menemukan makna dalam hidupnya, jika tidak mempunyai sesuatu yang bernilai untuk diperjuangkan mati-matian”.

Menurut Giddens, tidak mungkin kita hidup dalam suatu dunia yang sama sekali tidak ada unsur-unsur sakralnya lagi yang biasanya diperjuangkan oleh kaum fundamentalis. “… I have to say, in conclusion, that I don’t think we can”, tegas Giddens. Masalahnya, dalam setiap tradisi yang masih dipegang dan dipelihara oleh orang-orang di era post-tradisional ini, siapa yang menentukan tradisi itu? Penentu tradisi adalah para guardians, menurut Giddens.

Dalam pandangan Giddens, ada lima unsur yang perlu diperhatikan dalam tradisi. (1) memori, seperti halnya tradisi-merupakan pengorganisasian masa lalu dalam hubungannya dengan masa kini. Dalam hal itu, tradisi dapat dikatakan sebagai sebuah medium pengorganisasian memori kolektif. (2) tradisi selalu melibatkan tindakan ritual; dan tindakan ritual itu menjamin terpeliharanya tradisi. (3) tradisi mengandung “formulaic truth”, di mana hanya orang-orang tertentu saja yang mempunyai akses dalam truth itu. Biasanya adalah guardians. Dalam tradisi, hampir tidak ada ruang untuk tidak setuju atau berbeda. (4) guardians mempunyai peran dalam memelihara tradisi. Guardians mempunyai otoritas dan lebih ditonjolkan adalah sisi status mereka, bukan kompetensinya seperti expertise dalam masyarakat modern. (5) semua tradisi mengandung atau mempunyai nilai-nilai moral dan norma-norma yang mengikat anggotanya.

Nilai-nilai dan norma-norma itu, biasanya ditentukan oleh guardians yang menawarkan dan memberikan kenyamanan ontologis bagi para anggotanya. Abad pencerahan, sangat berkeinginan untuk menghancurkan otoritas tradisi, baik itu melalui penghapusan lembaga maupun nilai kulturalnya sehingga masyarakat mengalami detradisionalisasi. Kalangan modern, menganggap bahwa tradisi merupakan akar masalah dari gerakan konservatisme. Namun demikian, dengan adanya globalisasi dan modernisasi, ternyata tidak melenyapkan nilai tradisi, dan malahan membangkitkan kegairahan nilai-nilai tradisi di era modern dan global. Sebagian masyarakat dunia, menganggap bahwa nilai tradisional dapat mengisi ruang-kosong akibat adanya modernisasi saat ini.
Oleh karena itu, menurut Giddens, sangat rasional jika kita mengakui bahwa tradisi dibutuhkan dalam masyarakat, karena dapat membangun kesinambungan dan memberi bentuk pada kehidupan.

Untuk gerakan kebudayaan tradisional dan modernitas, kita butuh guardians (penjaga/pengawal) yang memiliki konsistensi tinggi, etos dan modal sosial lain yang kuat, sehingga dapat menjadi penyangga bagi kelangsungan kebudayaan Maluku Utara di masa-masa akan datang.


Sebuah Pemikiran

Pada posisi inilah, hal yang harus dilakukan adalah membangun kosmologi dan penguatan pandangan kepercayaan masyarakat terhadap nilai budaya itu sendiri. Perlunya pemahaman-pemahaman yang berimbang tentang kesatuan pandangan kosmos ini. Juga diperlukan pranata-pranata kebudayaan atau lembaga-lembaga setempat untuk memperkuat posisinya dalam melakukan hubungan sosial ekonomi dan konflik-konflik yang muncul. Maluku Utara sangat kaya dengan nilai-nilai kebudayaan-nya harusnya menjadi perhatian di tingkat eksekutif dan legislatif untuk mengembangkannya.
Saksikan, bagaimana daerah-daerah di Indonesia mampu mengembangkan tradisi kebudayaannya dengan sangat kreatif, atraktif dan menjadi ikon bahkan mendatangkan nilai ekonomis serta devisa bagi daerahnya. Mengapa Maluku Utara tak bisa mengundang masyarakat daerah lain untuk datang ke daerah ini? Mengapa kita tidak pernah serius mengembangkan pusat-pusat kebudayaan yang ada? Mengapa kita lebih gampang bekerja dan mengembangkan pusat kebudayaan Maluku Utara dengan setengah hati? Perhatikan bagaimana Benteng Kota Janji, Benteng Kalamata, Benteng Barnaveld, Benteng Toluko, dan pusat-pusat kebudayaan lainnya hanya menjadi tempat yang sepi dari pengunjung?
Perhatikan, di mana model rumah adat tradisional Maluku Utara yang bisa dibanggakan? Bagaimana nasib gerabah asal Mare (boso mare) di tengah tuntutan kebanggaan lokal? Masih berderet lagi tradisi-tradisi Maluku Utara sebagai stock of knowledge yang tercecer tak dihiraukan.

Dengan demikian, kita butuh Gerakan Peduli Kebudayaan sebagai salah satu elemen blueprint pembangunan Maluku Utara ke depan agar tidak menjadi fosil bagi generasi masa mendatang di tengah intaian kebudayaan global. Mungkin, Pemerintah Daerah se-Maluku Utara sudah harus sedikit peduli, kalau tidak, kebudayaan daerah ini hanyalah nama dan kita pun akan kehilangan pilar peradaban. Lalu kemana identitas kebudayaan Maluku Utara selama ini pergi?[]
Teruskan baca - MALUKU UTARA : ANTARA GERAKAN KEBUDAYAAN TRADISIONAL DAN MODERNITAS

Plutokrasi


Oleh: Herman Oesman

“Barang siapa memiliki uang satu sen maka ia berdaulat
(sejauh satu sen) atas seluruh manusia”
Hugh Dalziel Duncan, (Sosiologi Uang, 1997)



UANG adalah raja, uang adalah segala-galanya. Demikian ungkapan-ungkapan yang sering kita dengar, saksikan dan mungkin juga kita lakukan sendiri. Segala urusan akan beres, bila angka-angka yang tercetak dalam lembaran kertas atau logam yang dibuat sedemikian rupa itu tersedia di depan mata kita.
Hugh Dalziel Duncan dalam bukunya Sosiologi Uang (1997) memberikan pernyataan yang bisa membuat merah telinga siapa saja, “barang siapa memiliki uang satu sen maka ia berdaulat (sejauh satu sen) atas seluruh manusia”. Ungkapan Duncan di atas, dipertegas oleh Carlyle dan Marx dengan memberikan kesepakatan, bahwa misteri uang terungkap melalui pakaian (atau apa yang kita konsumsi) yang di sana ditandai perbedaan kelas dan kekuasaan.
Pergeseran orientasi hidup dengan menjadikan modal, uang atau alat produksi sebagai kekuasaan telah tumbuh di mana-mana, yang jauh sebelum itu justeru telah menjadi dasar perjuangan kelas kaum proletariat melawan kaum borjuasi yang dihela melalui pemikiran-pemikiran Karl Marx. Bagi mereka yang tidak memiliki modal atau uang, bersiaplah tersingkir atau disingkirkan dari gelanggang kehidupan. Uang telah menjadi sebuah “komunitas” (dengan tanda petik) yang memiliki hukum-hukum, tradisi dan hak-hak secara empirik. Uang juga, dalam pandangan Weber (1978) memiliki ideologi-rasionalisme yang mampu memengaruhi kehidupan masyarakat.
Tanpa sadar, hakikat hidup mulai dikalkulasi. Orang mulai menghitung nilai kemanusiaan melalui angka-angka. Sesuatu yang amat fatal bagi peradaban kemanusiaan. Dalam kawah candradimuka itulah, uang telah menjadi penyangga tatanan sosial. Angka sekian ditambah deretan angka nol dalam lembaran kertas maupun tumpukan logam telah menyeret masyarakat dunia menuju kawasan yang demikian enigmatik. Lebih dari itu, melalui uang, manusia diseret hingga kehilangan pribadi (impersonalitas), menggapai roh obyektif atas subyektif. Bahkan Thorstein Veblen menganalisis, penggunaan uang telah membangun sikap dan budaya tanding-menandingi (emulasi) yang tak sehat antara satu individu dengan individu yang lain.
Dianalisis lebih jauh oleh Veblen, bahwa norma-norma selera yang berkaitan dengan uang jika tidak dikomunikasikan dengan baik, maka fungsi sosial yang benar, baik dan indah tak dapat dipahami.
“Agama uang” –demikian ia disebut— mencapai puncak ke jayaannya sekitar tahun 1925, saat Calvin Coolidge, Presiden Amerika ke-30 memberitahu warganya, “our business to business,” (urusan kita adalah bisnis). Dari sinilah, wabah dan virus “agama uang” mulai menjalar, yang saat ini perkembangannya demikian pesat dan menghantam dinding dan ruang realitas sosial kita. Mulai dari keluarga, kerabat hingga lingkup yang lebih luas. Wabah uang kini telah menjadi ukuran di dunia manapun. Di sudut kota New York misalnya, kekuasaan sosial semata-mata hanya kekuasaan uang. Nilai lebih secara sosial telah didasari oleh rekening bank yang gemuk, demikian diungkap Duncan.
Pada bidang seni sastra, juga terjadi hal yang sama. Ketika F. Scott Fitzgerald dalam novel yang ditulisnya tentang orang-orang kaya, ia menggambarkan kelompok the have ini dengan sosok yang memuat nafsu dan perasaan, melalui ungkapan misteri uang yang dapat mengimbas segala bentuk hubungan antar perorangan.
Pada wilayah politik, uang juga menjadi penentu sejauh mana kebijakan itu dikeluarkan berdasar deretan angka nol. Untuk memenangkan kompetisi dalam satu partai politik tidak lepas dari kalkulasi-kalkulasi angka, hingga menentukan hajat hidup rakyat, angka-angka tetap menjadi dewa. Untuk memenangkan suatu proyek di level legislatif, eksekutif harus rela mengucurkan deretan angka nol, kalau tidak, proyek tak bakalan direstui legislatif. Kongkalikong demi deretan angka nol tak memandang status atau kharisma, ada ungkapan, iblis juga suka uang, apalagi manusia. Nah, uang dengan deretan angka banyak juga telah menyeret orang baik, orang saleh, orang alim ke gerbang pintu penjara.
Jadi jangan heran, jika berkaitan dengan uang orang tak segan menghalalkan segala cara. Dalam kenyataan sehari-hari, orang mengejar uang dengan saling jilat, sikut dan penuh warna kekerasan, merupakan hal yang telah dianggap biasa-biasa saja. Kenyataan ini telah memberi isyarat, bahwa kita tengah mulai menyuburkan ciri-ciri dari sikap dan watak plutokrasi, yakni mereka yang memiliki modal/uang atau alat produksi untuk tujuan-tujuan pribadi. Inilah yang oleh Otto Fenichel memberi argumentasi, “kita akan menemukan bahwa dorongan untuk memupuk kekayaan adalah bentuk khusus dari naluri kepemilikan yang dimungkinkan oleh fungsi sosial uang dalam sebuah masyarakat kapitalis”. Ya, kapitalis adalah sesuatu yang di benci tapi dirindukan di tengah keterpurukan semua sendi kehidupan. Kita adalah kapitalis yang sok moralis.
Apa yang disinyalir oleh Fenichel di atas boleh jadi benar, karena akhir-akhir ini, berbagai fasilitas maupun dana yang diperuntukan bagi masyarakat kecil telah tertelan bulat-bulat oleh watak kapitalis kita. Di sekitar kita, korupsi dan sejumlah dana-dana bantuan telah mulai menyebarkan aroma busuk. Karena didalamnya bermain para kapitalis.
Benarkah kita mulai bersikap dan bertindak seperti sang plutokrasi dengan model kapitalis? Jelang Pemilu nanti, banyak bertebaran watak plutokrasi di sekitar kita dengan berdalih untuk membantu kaum miskin, bantuan sosial dan lain-lain. Dapatkah kita menjemput semua nilai-nilai kebaikan, kemanusiaan, keadilan dan kebenaran dengan watak yang selalu ditutupi perilaku yang menghalalkan segala cara? Entahlah...[]
Teruskan baca - Plutokrasi

CALON WAKIL RAKYAT


Oleh : Herman Oesman

“Orang terkuat tak mungkin terus mempertahankan kekuasaannya
kecuali jika ia mengubah kekuatan menjadi kebenaran,
dan kepatuhan menjadi kewajiban”
(J.J. Rousseau, The Social Contract)



ADALAH Pemilihan Umum 2009 yang tinggal menunggu waktu. Namun, cara, taktik dan strategis kini tengah dimainkan para caleg untuk meraih dan mempertahankan kekuasaannya. Lalu? Politik hanyalah nafsu merebut dan mempertahankan kekuasaan. Mungkin itu definisi per se yang diciptakan masyarakat awam. Tak bisa disalahkan memang, karena masyarakat mendefinisikan itu dari fakta-fakta yang mereka amati dan rasakan.
Saat ini --mungkin hingga tiba pemilihan nanti-- terang-terangan atau sembunyi-sembunyi, para politisi mulai memasang jerat, menawarkan “gula-gula”, “obat penawar” dan apa saja bagi masyarakat. Masing-masing mulai meng-klaim sebagai caleg (atau parpol) dengan visi dan misi terbaik demi rakyat dan bangsa ini. Saksikan bagaimana baliho, spanduk dan sticker para caleg yang telah menjadi sampah publik di mana-mana, menawarkan mantra dengan kata-kata sakti. Padahal, sejak Orba dan era reformasi, caleg dan parpol kurang mampu merealisir janji-janjinya secara baik. Semua terjebak pada aroma kekuasaan lima tahunan. Dan, masyarakat pun terlena usai pemilu.
Pemilu, sebagaimana diyakini dan menjadi adagium selama ini, merupakan sebuah prasyarat bagi demokrasi. Tapi bagi Juan J. Linz dan Alfred Stephen (1996) ini merupakan pandangan yang keliru. Menurut Linz dan Stephen, pemilu bukanlah satu-satunya faktor dalam konsolidasi demokrasi. Demokrasi amat berkaitan dengan faktor-faktor non-politik seperti; komunikasi dan kebebasan berkumpul (civil society), konstitusi (rule of law), norma-norma birokrasi yang sah-rasional (state apparatus) dan tradisi pasar (economic society).
Memang, Pemilu 2004 lalu telah dinilai ’demokratis’, baik kalangan dalam maupun luar negeri. Namun, ternyata gagal dalam melakukan konsolidasi demokrasi. Faktor-faktor non politik sama sekali terabaikan. Ujung-ujungnya, sikap tak terpuji yang ditunjukkan wakil rakyat bermain-main di mata publik. Money politics kian merebak di daerah-daerah, studi banding tak karuan tanpa hasil, pemanfaatan dan penggunaan fasilitas yang berlebihan, kualitas wakil rakyat (terutama di daerah) begitu rendah. Ini merupakan indikator paling kentara yang seringkali muncul. Terangkut kepermukaan satu per satu.
Tidak hanya itu, kontrol wakil rakyat atas pihak eksekutif juga amat longgar yang hanya melahirkan korupsi, kolusi dan monopoli tak terkendali. Wakil rakyat juga tak mampu mewujudkan representasi kebutuhan rakyat yang diwakilinya. Pemilu 2004 lalu, ternyata tak memberikan apa-apa bagi rakyat. Menjelang Pemilu 2009, saatnya fungsi kontrol rakyat harus ditingkatkan sehingga pasca Pemilu nanti, konsolidasi demokrasi dapat berjalan sesuai harapan.
Pemilu 2009 kian dekat, bagaimana wajah calon wakil rakyat kita? Masih kabur, banyak yang belum teruji kapasitasnya dan sekadar ”numpang lewat” ataupun meramaikan bursa kandidat sebagai caleg.
Disinilah, dukungan peran konstituen menjadi signifikan untuk terus menjaga nafas dan ruh demokrasi sebelum dan pasca Pemilu. Elemen civil society bersama rakyat akan menjadi “pengontrol” terhadap wakil rakyat juga parpol. Bila perlu janji-janji yang diucapkan saat caleg berkampanye, dicatat dan didata. Janji-janji itu perlu ditagih lalu akhirnya dievaluasi melalui laporan akuntabilitas tahunan wakil rakyat, sejauh mana janji-janji itu telah direalisasikan sejak caleg itu terpilih.
Saatnya, harus dipaksakan agar wakil rakyat dapat membuat laporan akuntabilitasnya bagi konstituen. Tanpa laporan ini, siapa yang akan mengontrol wakil rakyat? Jangan-jangan kita hanya memilih –meminjam istilah Juan J. Linz, dkk -para ’penjahat’ demokrasi. Yang nanti lima tahun mendatang akan tampil lagi dengan manis, dengan senyum penuh racun.
Dengan mendata dan menagih janji-janji juga mengontrol wakil rakyat, berarti masyarakat telah ikut mendorong sekaligus melatih wakil rakyat untuk melakukan hasrat mengakui kinerjanya selama ia dipilih. Itu berarti, wakil rakyat harus selalu diawasi oleh rakyat yang telah memilihnya. Tanpa diawasi, wakil rakyat akan merasa sebagai “orang kuat” yang seenaknya berbuat apa saja. Politik dan demokrasi harus berada dalam jalur kontrol ekstra ketat, sehingga tidak menjadi ajang kontestasi elit untuk kepentingan dirinya sendiri.
Di dalam demokrasi menurut Slavoj Zizek, dengan menggunakan Claude Lefort (1988), instansi kekuasaan tertinggi (sovereign power) adalah rakyat. Isi dari demokrasi adalah kedaulatan rakyat. Pemilu demokratis adalah perayaan dan pernyataan simbolis bahwa ’kedaulatan’ itu dimiliki oleh yang banyak (rakyat) yang dipinjamkan kepada politisi.
Demokrasi itu, menurut Claude Lefort lebih lanjut, adalah ruang kosong yang setiap tahun dipinjamkan kepada partai/suatu pemerintahan yang akan berkuasa. Dengan demikian, setiap rejim kekuasaan yang memimpin dalam suatu periode, berstatus tidak lebih dari sekadar mampir meminjam ruang kosong (demokrasi) yang dimiliki rakyat. Dengan status semacam itu, maka jelas tidak ada yang benar-benar ’murni, utuh, dan final’ di dalam demokrasi. Karena semua kompartemen yang dibangun demi ’yang utuh, final dan murni atau sejati’ adalah kompartemen pinjaman.
Untuk itu politik, demikian Mochtar Pabottingi (1999), adalah kegiatan menyimak suara-suara. Politisi yang arif senantiasa mendengarkan aneka suara, menerjemahkannya atau memberinya kesempatan mengartikulasikan dan berusaha mencari jalan keluar atas dasar kepedulian yang luas. Dengan demikian, kepedulian itu harus terus berada dalam ruang demokrasi bagi sebuah kedaulatan.
Memang, selama ini masyarakat dinilai lemah dan tak punya kuasa. Padahal masyarakat itu tidak berarti tanpa kekuasaan. Masyarakat itu, mengutip Vaclav Havel, adalah mereka yang punya kuasa, atau dalam ungkapan James Scott (1990) kuasa orang-orang papa. Meskipun tidak terorganisasi, kaum papa juga punya kuasa, ujar Scott.
Demikian juga, akibat karena terjadinya iklim politik, struktur ekonomi atau perangkat tekanan budaya, masyarakat dapat “berkuasa” untuk tidak memilih wakil rakyat. Dan, bila masyarakat tak lagi memilih wakilnya berarti akhir dari karier seorang politisi segera tiba. Untuk itu, menjaga hati nurani masyarakat amatlah penting dalam sebuah demokrasi yang berdaulat.
Menyambut Pemilu 9 April 2009 nanti, saatnya kita mulai belajar mengontrol para wakil rakyat, atas segala janjinya, keterpilihan dan kerja-kerja publiknya, agar para wakil rakyat tidak sesuka hati mengabaikan kedaulatan rakyat, pemilik sejati demokrasi. []
Teruskan baca - CALON WAKIL RAKYAT

Minggu, 20 Desember 2009

ADAKAH JAMINAN MASA DEPAN GURU BANTU?


Oleh Rahmat Abd Fatah*

Presiden Mahasiswa BEM Universitas Muhammadiyah Malang 2007


Drs Amin Mahmudi, Kasubag Kepegawaian Dinas Pendidikan Nasional Kabupaten Malang, pernah membuat pernyataan cukup menarik seputar guru bantu atau guru kontrak yang diselenggarakan Kabupaten Malang. Menurutnya, para calon guru yang bakal diterima nanti masih akan mendapatkan evaluasi perenam bulan sekali. Misal dalam enam bulan ternyata tidak layak untuk diteruskan. Bisa jadi statusnya diputus ditengah jalan, atau sebaliknya jika memiliki prestasi yang bagus, besar kemungkinan akan dinaikkan statusnya (Malang Post, 18/02/2003).

Pernyataan ini sepintas dianggap biasa. Karena dalam organisasi manapun, evaluasi mutlak dilakukan. Dalam proses kegiatan belajar mengajar misalnya, evaluasi mutlak diperlukan sebagai proses akhir penilaian. Evaluasi dalam sebuah perusahaan misalnya, setidaknya berguna untuk menilai proses fluktuasi pengeluaran dan pemasukan. Dan menjadi mutlak pula bahwa evaluasi yang baik mestinya berkorelasi dengan kualitas yang dihasilkan.

Evaluasi yang dilakukan dalam enam bulan sekali dapat berkorelasi positif manakala tujuannya jelas, misalnya dengan evaluasi itu dapat dijaring guru-guru yang baik, profesional dan berkualitas. Atau dengan kata lain, adanya evaluasi itu dapat menjadi magnet bagi para guru untuk bersaing secara sehat tanpa ada unsur-unsur lain, misalnya kedekatan family atau suap sana-sini.

Pernyataan Kasubag Kepegawaian Dinas Pendidikan Nasional Kabupaten Malang, kini telah berlalu tujuh tahun. Mestinya evaluasi yang dilakukanpun telah mencapai kualitas-kualitas tertentu yang akhirnya dapat dinikmati secara kongkrit oleh para guru, termasuk guru bantu tersebut. Namun kenyataannya sampai sekarang, tidak saja di kabupaten malang bahkan nyaris sama di indonesia guru bantu mengalami suatu situasi yang tidak nyaman. Bahkan, di Halmahera selatan Maluku utara jaminan terhadap mereka, para guru bantu terus dipertanyakan. Pasalnya gaji sudah lima bulan belum dibayar.
Mereka, para guru bantu menilai pernyataan tersebut dengan sikap berbeda.

Pertama, secara mental, guru-guru bantu merasa tidak tenang dalam menjalankan tugasnya. Mereka bahkan bisa merasa khawatir, hatinya buntu dengan masa depannya. Setiap hari mereka terus menerus menghitung hari, bulan dan tahun. Ketika menginjak masa semester pertama atau enam bulan pertama, mereka menjalankan tugas dengan serba salah, diperpanjang atau diputus kontraknya sampai di sini. Kondisi ini akan terus berlanjut sampai masa kontrak selesai.

Kedua, dari segi ekonomi, status guru bantu tidak menjanjikan jaminan masa depan. Selama ini keluhan guru adalah gajinya rendah, bahkan sangat minim, untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari tidak cukup. Sehingga tidak heran kemudian, banyak guru yang berprofesi ganda. Pagi pergi ke sekolah, siangnya pergi menawarkan dagangan bahkan ngojek. Ironis memang, tapi itulah kondisi guru-guru di Indonesia.

Ketiga, adanya benturan struktural antara guru berstatus guru bantu dan guru negeri. meneguhkan kenyataan bahwa guru bantu sewaktu-waktu dapat diputus dengan mudah.
Ketiga kenyataan di atas mengakibatkan proses belajar mengajar menjadi tidak nyaman. Guru tidak mempunyai gairah mengajar, siswa menjadi korbannya. Guru tidak dapat bekerja profesional karena dihantui batas waktu yang sulit dihilangkan dari ingatan, enam bulan, satu tahun atau sampai kontrak selesai.

Apalah artinya memasuki dunia baru sebagai guru bantu, tapi pikiran masih buntu. Tidak ada jaminan Masa depan , maka jangan berharap lembaga pendidikan kita akan maju. Jika pemerintah tidak mempunyai keinginan politik yang kuat dan cakap dalam mengoperasionalkannya. Wallahualam.
***
Teruskan baca - ADAKAH JAMINAN MASA DEPAN GURU BANTU?

Salah Paham: Pungli Di Desa Duewet Kabupaten Malang Dan Janji Politisi


(http://malangraya.web.id/category/malang-raya/page/109/)
Malang, Ratusan warga mendatangi Balai Desa Duwet Krajan, untuk memprotes pungli yang dilakukan Kasun Krajan, Sulton Abadi, saat pembagian konversi
Setelah ratusan warga miskin (gakin) Desa Wiyurejo Kecamatan Pujon menjadi sasaran pungli (pungutan liar) Raskin oleh aparatur desa setempat kemarin giliran ratusan warga Dusun Krajan, Desa Duwet Krajan, Kecamatan Tumpang. Bahkan kemarin siang mereka melurug Balai Desa Duwet Krajan.
Mereka memprotes pungli sebesar Rp 5 Ribu yang dilakukan Kepala Dusun (Kasun) Krajan, Sulton Abadi, saat pembagian konversi elpiji. Padahal program pemerintah itu seharusnya gratis.

Salah Paham

Bermula dari keputusan rapat Dusun, bahwa akan di minta sumbangan dari masyarakat seikhlasnya untuk persiapan 17 agustusan dan perayaan Isra'miraj. dan keputusan itu disampaikan kepada masyarakat. masyarakatpun antusias menyambut untuk Gawe besar itu. Sayapun kebetulan sedang pendampingan pemberdayaan disana dan turut membantu Gawe itu. eh..tanpa diduga 3 hari kemudian ratusan Masa. mendatangi Balai Desa dengan "tensi" yg tinggi. setelah diberi penjelasan duduk persoalannya merekapun berbalik pulang dan terlihat pergi kekebun masing-masing...

Janji Politisi

Desa duwet termasuk salah satu daerah yg memiliki potensi Agro Wisata di Kabupaten Malang,Ia pun memiliki Air Terjun Sumber Pitu, dan GOA. terletak di desa Duwet Krajan. masyarakat selalu bercerita bahwa disaat kampanye desa ini selalu dijanjikan akan dijadikan sebaga tempat Wisata di malang Raya setelah Batu. namun tahukah anda, di desa ini anak2 yg melanjutkan SLTP apalgi SMU masi bisa dihitung dg "Jari" begitupun transportasi masi sangat terbatas..

Ket.Gambar:Samping Kanan Saya, Pak ngatiman (Imam Musallah Duwet K) dan Kiri Pak Sultoh (Kasum)
Teruskan baca - Salah Paham: Pungli Di Desa Duewet Kabupaten Malang Dan Janji Politisi

JELANG PILKADA HALMAHERA SELATAN 2010



Siapa yang berhak menentukan masa depan Halmahaera Selatan ? Apakah akan kita serahkan begitu saja nasib Kabupaten ini hanya pada "segelintir" orang yang karena legalitas politik dan kekuasaan " bertanggungjawab terhadap masa depan HALSEL ini?


Mari bersama-sama duduk untuk saling bicara sebagai orang "HALSEL" mengenai apa yang terbaik bagi kabupaten ini, karena itu tanggungjawab kita bersama ! Jangan sampai semua proses yang terjadi berlalu begitu saja tanpa kita sempat membangun pondasi yang kuat bagi terbangunnya tatanan masyarakat, pemerintahan dan proses demokrasi yang berkeadilan. Kita bersama tentunya tidak menginginkan suatu saat semakin merebanya penyakit-penyakit sosial, hegemonik kapitalisme Global dalam masyarakat, penyakit-penyakit birokrasi yang korup dan demokrasi yang memasung partisipasi kita sebagai orang HALSEL dalam proses-proses pengambilan kebijakan.

mari bersama-sama, kita suarakan bahwa pemimpin dan birokrasi harus mengabdi pada kepentingan publik, termasuk representasi wakil-wakil kita yang harus benar-benar menjadi corong bagi suara-suara kita dan bukan mewakili suara pribadinya ataupun kepentingan golongannya!
Saatnya bersama-sama kita awasi jalannya semua proses politik, jangan sampai proses politik yang terjadi "hanya" sekedar menjadi monopoli para pelaku politik yang hanya mementingkan kelompoknya saja!

Mari bersama- bersama wujudkan Pemerintahan yang benar-benar mengabdi pada kepentingan masyarakat dalam rangka menciptakan masyarakat HALSEL yang sejahtera dan berkeadilan, sehingga kita betul-betul merasakan bahwa "KITA JUGA TURUT MEMILIKI HALMAHERA SELATAN".

BANGKITLAH HALSEL TERCINTA...HARAPA ITU MASIH ADA..
Teruskan baca - JELANG PILKADA HALMAHERA SELATAN 2010

Kamis, 17 Desember 2009

Absennya Etika Politik.


SKANDAL Bank Century (Centurygate) yang diduga merugikan uang negara 6,7 triliun telah menyeret orang-orang terdekat Presiden SBY. Tidak hanya Wapres Boediono dan Menkeu Sri Mulyani yang dituding terlibat, tetapi juga beberapa orang anggota Tim Sukses SBY pada Pemilu Legislatif dan Pilpres 2009 lalu.

Kontan, tudingan itu membuat SBY geram. Setidaknya, dalam tiga kali kesempatan SBY membantah tudingan yang mengarah kepada fitnah tersebut.

Untuk mengungkap skandal itu, DPR akhirnya mengajukan hak angket dan membentuk Panitia Khusus (Pansus), sehingga diharapkan kebenaran bisa terkuak dan semua aktor yang terlibat dapat bertanggungjawab serta dihukum seadil-adilnya.

Menilik sejarah, skandal ini mengingatkan kita pada skandal Watergate yang melibatkan Presiden Amerika Serikat, Richard M Nixon, dan berujung pada mundurnya Nixon dari tampuk kekuasaan. Memori saya pun berlabuh pada film lawas yang berjudul “All the President’s Men” produksi Warner Bros tahun 1976 yang dibintangi Dustin Hoffman dan Robert Redford serta disutradarai oleh Alan J Pakula.

Film itu menceritakan bagaimana dua orang wartawan Washington Post yakni Carl Bernstein (Hoffman) dan Bob Woodward (Redford) membongkar kasus terbesar sepanjang sejarah AS. Watergate, adalah skandal politik terhebat di abad 20.

Nixon mundur guna menghindari impeachment oleh House of Representatives dan pemeriksaan mendalam dari Senat. Penggantinya yang notabene adalah wakil presidennya sendiri yaitu Gerald Ford kemudian memberikan maaf dan pengampunan secara resmi.

Maka, ia terhindar dari pemeriksaan lebih lanjut yang jelas berpotensi menghancurkan reputasinya dan ada pula kemungkinan ia akan dipenjara, walau skandal Watergate-nya sendiri sebenarnya sudah menamatkan karier politiknya.

Mundurnya Nixon telah menunjukkan kepada kita pentingnya tanggung jawab dan etika politik dalam mengelola pemerintahan. Meski yang terlibat secara langsung dalam skandal itu adalah tim sukses Nixon, tetapi secara legowo Nixon berani mengambil alih tanggung jawab itu dengan mengundurkan diri dari kursi kepresidenan. Lantas, bagaimana dengan skandal Centurygate? Di tengah ramainya orang berpolitik dengan menghalalkan segala cara, masih adakah etika politik di negeri ini?

Etika politik mengandung misi kepada setiap pejabat dan elit politik untuk bersikap jujur, amanah, sportif, siap melayani, berjiwa besar, memiliki keteladanan, rendah hati, dan siap untuk mundur dari jabatan publik apabila terbukti melakukan kesalahan dan secara moral kebijakannya bertentangan dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat.

Etika ini diwujudkan melalui sikap bertata krama dalam perilaku politik yang toleran, tidak berpura-pura, tidak arogan, jauh dari sikap munafik yang dibungkus kesantunan, tidak melakukan kebohongan publik, tidak manipulatif dan pelbagai tindakan tidak terpuji lainnya.

Malangnya, para elit politik di negeri ini acap mengedepankan intrik-intrik kotor guna memeroleh dan atau mempertahankan kekuasaan. Etika politik nyaris absen. Secara spesifik, etika politik yang dimaksud di sini adalah tiadanya kerelaan bagi pucuk pimpinan di negeri ini untuk mau bertanggung jawab atas perbuatan yang dilakukan bawahannya.

Sebagai contoh, masih segar dalam ingatan kita bagaimana Kapolri bertindak merespons tuntutan Tim 8 dan presiden dalam perseteruan Cicak Vs Buaya yang melibatkan Kabareskrim dan pimpinan KPK. Meski sudah melakukan pembenahan ke dalam institusi Polri dengan mengganti Kabareskrim, tetapi dari aspek tanggung jawab hierarki dan etika jabatan, mestinya yang paling bertanggung jawab adalah Kapolri.

Dalam konteks ini, Dennis F Thompson dalam bukunya Political Ethics and Public Office (1987) sudah mengingatkan, kalau sebuah sistem organisasi atau pun pemerintahan rusak, maka yang paling bertanggung jawab adalah posisi puncak.

Jika pucuk pimpinan tidak mengundurkan diri, maka sejatinya pucuk pimpinan itu lebih buruk daripada pelaku di lapangan. Jika saja Pansus Hak Angket di DPR nanti berhasil mengungkap kebenaran dan membuktikan orang-orang lingkaran istana benar-benar terlibat Centurygate, saya membayangkan, SBY akan berlaku seperti Presiden Nixon. Kala itu, Nixon meminta rumusan tentang ritualistik tanggung jawab dalam bentuknya yang paling murni: Siapa yang harus dipersalahkan atas apa yang terjadi dalam skandal ini?

Secara ksatria Nixon berkata, “Jalan paling mudah bagi saya adalah mempersalahkan mereka yang kepadanya saya mendelegasikan tanggung jawab untuk menjalankan kampanye. Tetapi itu pengecut. Dalam organisasi mana pun, pemimpin puncak harus berani memikul tanggung jawab.

Oleh karena itu, all American, saya berdiri di sini, bukan karena tangan saya kotor karena Watergate, melainkan karena ulah tim sukses saya. Saya bertanggung jawab secara moral dan politik bahwa saya yang diuntungkan. Maka, dengan ini saya mundur dari jabatan presiden.”

Alih-alih berkelit, saya bermimpi, presiden kita berdiri dan berbicara seperti itu. Sebab, hal itu adalah konsekuensi logis dari sebuah pemerintahan yang tidak dikelola dengan bajik.***

Mohammad Ilham A Hamudy, Pemerhati pemerintahan pada Pusat Penelitian Otonomi Daerah Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Dalam Negeri

Oleh: Mohammad Ilham A Hamudy
http://www.riaupos.com/berita.php?act=full&id=10651&kat=11
Teruskan baca - Absennya Etika Politik.

Etika Politik; Sebuah Keharusan


Apakah selamanya politik itu kejam? Apakah selamanya dia datang tuk menghantam? Ataukah memang itu yang sudah digariskan? Menjilat, menghasut, menindas, memperkosa hak-hak sewajarnya..! Demikian catatan Iwan Fals dalam “sumbang”nya.

Beragam penolakan, kecaman, kritikan pun muncul terhadap realitas politik. Mulai dari talkshow, film, penelitian, penulisan opini, sajak, opera, hingga syair bertemakan politik. Semua merupakan bentuk keprihatinan atas sikap mayoritas pelaku politik yang sudah kehilangan arah dan makna.

Realitas politik yang banyak dipertontonkan sering tak mengenal etika, keras, jahat, penuh perjudian, pengkhianatan, bahkan lebih tragis lagi, pembunuhan. Maka tak heran, politik yang dipahami sebagian masyarakat, juga demikian. Tak jarang dunia politik dijauhi, atau malah didekati untuk satu tujuan, yaitu kekuasaan semata dengan kualitas moral yang minim sementara kelompok yang berbeda harus dilawan, bahkan, dimusnahkan. Sesuatu yang juga dikonotasikan dengan dunianya laki-laki.

Politik sering dilihat sebagai sebuah pertarungan kekuatan dan kepentingan. Kecenderungannya adalah untuk mencapai tujuan dengan menghalalkan segala cara, sehingga tujuan politik yang menghasilkan kesejahteraan rakyat itu hanya sebatas mimpi. Dunia politik juga dapat merubah kawan menjadi lawan, dan sebaliknya, musuh menjadi teman untuk kepentingan individu dan golongan. Bahkan, rakyat pun bisa menjadi sasaran permainan politik, martabat bangsa digadaikan, dan harga diri dipertaruhkan.

Lantas, apakah demikian politik pada tataran substantif? Politikkah yang jahat atau manusia yang tengah mengkambinghitamkan politik itu sendiri? Mengapa politik jadi tak beretika? Sebelum menjawab pertanyaan ini, mari kita lihat konteks politik sesungguhnya.

Secara etimologi, politik adalah strategi. Ia dapat dimaknai sebagai sebuah penggalian kemampuan manusia untuk menggunakan kemampuan daya pikirnya dalam upaya proses perubahan. Secara terminologi, politik berarti memerdekakan manusia dari segala bentuk ketidakadilan, penindasan, kemiskinan, dan kebodohan. Maka, pada tataran substansi, politik tentu tidak kejam, ia juga tidak berisi permusuhan, apalagi penghancuran manusia. Politik mengenal etika, justru peduli terhadap kaum minoritas, kaum tertindas, dan berbicara atas kepentingan kolektif (masyarakat) secara jujur dan sungguh-sungguh.

Makna politik sesungguhnya tidaklah sempit, tidak hanya sekedar menjadi anggota dewan, anggota partai politik, dan duduk di jajaran eksekutif. Makna politik itu lebih luas dari itu, bahkan menyangkut ruang privat sekalipun. Dalam teori personal is political, gegap ruang privat ini makin nyata menyentak. Ia memperkenalkan bahwa yang privat itu sama pentingnya dengan yang public. Kehidupan rumah tangga juga politik. Persoalan perempuan jelas urusan politik, begitu sebaliknya, ketika bicara politik, artinya (juga) tengah membincangkan persoalan perempuan.

Politik bicara strategi, kepedulian, dan keadilan. Karena itu, sudah sepatutnya kepedulian terhadap urusan domestic (rumah tangga) menjadi kepedulian bersama laki-laki dan perempuan. Adapun strategi menyejahterakan keluarga itu adalah, berkolaborasinya dua jenis manusia tersebut dengan mengedepankan nilai-nilai penghargaan dan kesempatan, dan memberi hak atas pilihan pribadi perempuan sebagai manusia yang mandiri. Bahkan, bagaimana suara anak pun menjadi sesuatu yang penting untuk didengar.

Sedangkan politik dalam urusan public sering dimaknai dengan strategi untuk mengutamakan dan mewujudkan kepentingan dan kesejahteraan rakyat. Di dalamnya berisikan orang-orang yang berfikir tentang kondisi masyarakat, menganalisa permasalahan yang membelenggu masyarakat, serta berupaya mencari solusi yang terbaik bagi permasalahan tersebut. Ia mengurusi urusan rakyat, bukan urusan diri dan golongan (partai). Kalau ini tidak dikedepankan, jelaslah para politikus akan mengatasnamakan rakyat untuk tujuan-tujuan kekuasaannya.

Eric Weil mendefinisikan politik sebagai suatu gerak yang berangkat dari moral dan melampauinya dalam suatu teori tentang Negara. Tentu saja ini sangat berbeda dengan realitas politik yang tengah dipertontonkan banyak politikus hari ini, seperti pertengkaran anggota dewan di depan konstituennya, money politic yang telah mendarah daging, pembunuhan karakter yang merajalela, penghamburan uang Negara yang dilegalkan dalam undang-undang atau kebijakan, penghambaan terhadap penguasa, pengabaian hak korban dan kelompok minoritas -–terutama kaum perempuan, intimidasi yang tak terkendali, serta cara-cara yang tidak sehat lainnya.

Bagi orang yang mencoba mencari makna di dalam politik, maka politik beranjak dari moral. Moral inilah yang kemudian harus mengakar dalam cara pandang pelaku politik yang diorganisir oleh negara agar bisa diterjemahkan dalam realitas politik yang santun, adil, setara dan bermartabat, serta mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan.

Politik tak beretika, salah satunya adalah karena makna politik tidak lagi dipahami sebagai sebuah distribusi kekuasaan yang salah satu agendanya adalah kesejahteraan rakyat. Berbicara politik lebih berorientasi untuk mengejar materi yang jembatannya adalah kekuasaan itu sendiri. Politik pun akhirnya bicara soal mata pencaharian yang instant. Kekuasaan politik dikejar tak lebih untuk memperoleh pekerjaan dan jabatan.

Budaya politik yang cendrung antagonis itu, pada akhirnya sering membenarkan kekerasan sebagai panglima digjaya. Ketamakan dan kehausannya berwujud dalam sikap korupsi, pengabaian kemiskinan, kesenjangan sosial, keberagaman, impunity dan feodalisme kekuasaan yang mengangkangi hukum, dan pengabaian pada sejarah kekerasan di masa lalu dengan mengubur ingatan sosial.

Untuk konteks ingatan sosial, terutama dalam situasi Aceh yang tengah membangun perdamaian, etika politik berperan penting untuk membangun masa depan Aceh yang lebih adil, yaitu mengungkap kebenaran di masa lalu dan tidak menutupnya dengan kemandulan hukum terhadap kekerasan tersebut, karena ini hanya akan mengantar masyarakat untuk melihat sebuah upaya sistematik yang mencoba mengubur ingatan sosial. Sebagaimana pesan moril Paul Ricoeur dalam Oneself as Another (1992): We must remember because remembering is a moral duty. We owe a debt to the victims. And the tiniest way of paying out debt is to tell and retell what happened, by remembering and telling, we not only prevent forgetfullness from killing the victims twice; we also prevent their life stories from becoming banal, and the events from appearing as necessary.

Lebih lanjut, ia berhujjah, dalam etika politik ada 3 tuntutan yang harus dipenuhi, pertama, upaya hidup baik bersama dan untuk orang lain, yaitu dengan menghargai keberagaman manusia (suku, usia, dan jenis kelamin). Kedua, upaya memperluas lingkup kebebasan. Ketiga, membangun institusi-institusi yang adil. Insititusi-institusi yang adil bisa melalui insitusi formal (pemerintahan) dan non-formal, seperti lembaga adat dan agama. Institusi ini diharapkan mampu menjembatani persoalan sosial yang berbasiskan kesetaraan dan keadilan.

Mengingat tantangan etika politik ke depan adalah, soal kemiskinan, ketidakpedulian, korupsi, kekerasan sosial, terutama terhadap perempuan, maka banyak strategi yang harus dilakukan. Pertama, meretas etika politik itu sedini mungkin melalui lingkungan keluarga: membiasakan pola relasi yang seimbang antara dua jenis manusia, menghargai keberagaman, dan perbedaan pendapat, terutama sejak anak-anak masih kecil.

Kedua, memperkuat lembaga-lembaga strategis seperti pemerintahan daerah hingga gampong, lembaga adat dan lembaga agama dengan mengintegrasikan etika politik di dalamnya, juga terhadap peraturan-peraturan internal partai baik AD/ART, program dan peraturan-peraturan partai lainnya. Ketiga, memperkuat komunitas di tingkat akar rumput, terutama perempuan agar melek politik, serta adanya peraturan yang tegas dan dijamin dalam hukum (berupa sangsi) yang ketat terhadap proses-proses pengambilan kebijakan yang tidak menyertakan perempuan di setiap institusi.

Keempat, perlu memotivasi perempuan untuk bersedia mengambil peran dalam kancah politik melalui sosialisasi, advokasi dan fasilitasi bagi kader politik perempuan, pematangan konsensus bersama untuk mewujudkan keadilan bersama, perempuan dan laki-laki. Kelima, yang lebih signifikan adalah, membangun proses penyadaran akan pentingnya etika politik dalam setiap lapisan masyarakat.

Terakhir, ingatan sosial terhadap kekerasan di masa lalu membutuhkan pertanggungjawaban sebagai wujud dari sebuah etika politik, karena itu, perlu tindakan kongkrit seluruh instansi, terutama pemerintah dalam menyikapi situasi ini yang juga melibatkan komponen perempuan di dalamnya. Tidak ada yang tidak mungkin untuk sebuah politik yang beretika![] Zubaidah Djohar | Peneliti Aceh Institute

Kolom ini Kerjasama antara Aceh Institute dengan Harian Aceh Independen | Artikel ini sudah pernah dimuat di Koran Harian Aceh Independen, Senin 250509
Teruskan baca - Etika Politik; Sebuah Keharusan

Politik Demi Kesejahteraan Rakyat


Komentar Mayjen TNI (Purn) Basofi Sudirman tentang politik di Indonesia, dalam diskusi di Kantor Redaksi Surya, patut dicermati. Menurutnya, mulai Orla, Orba, sampai sekarang, politik yang dibicarakan hanya politik membangun kekuasaan. Hal ini sudah menjadi watak, bukan watuk (batuk). Watuk bisa diobati, kalau watak tidak. Ia menambahkan, meskipun pemilu sudah selesai, masih saja ingin membangun kekuatan kekuasaan (Surya, 17/1/2007).

Sebagai contoh, ketika rakyat menjerit menghadapi kesulitan memenuhi kebutuhan sehari-hari, para wakil rakyat justru sibuk mengusulkan kenaikan gaji dan menuntut fasilitas yang lebih baik bagi diri sendiri. Ketika keprihatinan bangsa ini terarah pada masalah pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme, orang belajar dari media massa, justru KKN itu sekarang semakin parah dilakukan oleh orang-orang yang dulu berteriak berantas KKN. Ketika bangsa ini sedang prihatin mempertanyakan masa depan anak-anak mereka, para politikus sibuk berebut lahan basah dan menjajaki kemungkinan aliansi atau membentuk kaukus untuk menyiapkan masa depan kemenangan partai masing-masing. Ketika para pencuri ayam, dan para penjahat kelas teri tewas di tangan massa, para koruptor kelas kakap, konglomerat pengemplang uang negara, dan provokator pengadu domba rakyat dibiarkan hidup tenang menikmati hasil kejahatan mereka. Kriminalitas rakyat kecil digunakan untuk menutupi ilegalisme penguasa.

Maka, komentar mantan Gubernur Jatim tersebut bisa diartikan sebagai ungkapan kekecewaan sekaligus sebuah peringatan untuk menafsir ulang kembali makna politik. Ungkapan kekecewaan tersebut dilatarbelakangi sebuah pemahaman, bahwa politik sebenarnya bukan pertama-tama untuk membangun kekuasaan, melainkan untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat. Makna politik yang asali harus dikembalikan, yaitu politik seharusnya menjadi sarana untuk memperjuangkan kesejahteraan bersama.

Realitas Politik
Selama ini politik menjadi isu yang marak diperbincangkan. Masalah politik lebih mendominasi dan seakan-akan masalah politik sajalah persoalan terpenting dalam hidup berbangsa. Perhatian sebagian besar masyarakat disedot untuk masalah-masalah politik. Bahkan ada penilaian negatif, politik sudah menjadi salah satu mata pencaharian dan sumber nafkah. Makna politik tidak lagi dipahami sebagai persoalan distribusi kekuasaan yang salah satu agendanya menciptakan kesejahteraan rakyat.

Rakyat bisa menilai bahwa para elite politik kita sebenarnya tidak memahami substansi politik. Politik dipahami hanya sebagai ajang meraih tangga kekuasaan dan jabatan belaka. Pendapat yang muncul di kalangan masyarakat pun negative. Politik itu kotor, politik itu penuh kekerasan, politik itu ajang melakukan korupsi, kolusi dan nepotisme, tidak lain disebabkan oleh oknum-oknum pelaku politik yang menyalahgunakan dunia politik demi kepentingan sendiri.

Realitas politik justru menjadi realitas yang tidak sehat di masyarakat. Sering praktek yang ada menunjukkan bahwa partai-partai politik yang ada memiliki tingkat keserakahan dan korupsi yang tidak bisa lagi ditoleransi, pula pelaku politik yang memiliki track record yang buruk.

Sebagai contoh, negara lebih boros membiayai kepentingan-kepentingan lembaga politik, untuk gaji anggota DPR dan iuran partai politik, tetapi sangat pelit untuk menaikkan gaji guru. Kalau untuk membayar anggota DPR, negara seperti berlimpah uang, tetapi untuk gaji guru selalu mengeluh kekurangan uang. Alokasi anggaran pendidikan 20% dari APBN tidak terwujud. Tampak jelas bahwa, politik anggaran dan politik kesejahteraan tidak saling menunjang. Kesejahteraan selalu dikalahkan politik anggaran. Sementara itu, korupsi dan kebocoran APBN terjadi di mana-mana.

Ada berbagai produk hukum yang tidak berpihak kepada kesejahteraan rakyat. Sebagai contoh, PP No. 37/2006, tentang tunjangan komunikasi dan dana operasional kepada legislatif yang dinilai banyak kalangan sangat memberatkan anggaran daerah. Selain itu, penolakan peraturan pemerintah tersebut akan mengerogoti belanja untuk rakyat, membuka peluang terjadinya korupsi dan perampasan uang rakyat secara legal oleh para anggota DPRD, merusak distribusi belanja daerah yang diamanatkan dalam UU No. 32/2004, yang hendak meningkatkan pelayanan dasar, pendidikan, penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan, fasilitas sosial dan fasilitas umum yang layak, serta pengembangan sistem jaminan sosial. Jelaslah bahwa pemberian tunjangan tersebut tidak pantas dengan kondisi masyarakat sekarang.

Di masa lalu, reaksi keras kaum buruh berkaitan dengan revisi UU No 13/2003 tentang ketenagakerjaan, mengingatkan wakil rakyat untuk memikirkan kesejahteraan buruh. Protes kalangan pendidikan muncul berkaitan dengan pemberlakuan UU No. 14/2005 yang mengatur masalah penghasilan, karena para guru dan dosen pun belum mendapat penghasilan sebagaimana mestinya. Saat ini nasib guru masih jauh di bawah standar, terutama guru bantu dan guru tidak tetap.

Buruknya realitas politik, menunjukkan dari kuatnya posisi birokrasi dalam sistem dan proses politik. Hal ini terjadi akibat tumbuhnya persepsi bahwa pembangunan adalah prakarsa pemerintah (state sponsored). Salah satu wujud dari persepsi itu dalam pembangunan politik adalah munculnya pembinaan hubungan patron-client antara negara dengan masyarakat. Budaya patron-client ini juga tumbuh di kalangan pelaku politik. Mereka lebih memilih mencari sponsor dari atas, daripada menggali dukungan dari basisnya. Akibatnya, kesejahteraan rakyat terabaikan.

Politik Kesejahteraan
Dari sudut pandang filsafat politik, berdasarkan realitas politik yang sedemikian memprihatinkan itu maka perlu pengambilan jarak dan kritis terhadap realitas politik. Artinya perlu sebuah perspektif tertentu dan pengujian nilai-nilai, termasuk nilai-nilai moral serta perlu suatu ideal yang melibatkan suatu konsepsi tentang manusia dan kesejahteraannya.

Politik yang maknanya dipersempit hanya untuk kekuasaan terjadi ketika ruang publik direduksi menjadi pasar. Ketika tekanan adalah hasil, maka ekonomi menjadi perhatian utama. Penyelenggaraan negara direduksi menjadi manajemen kepentingan kelompok-kelompok tertentu atau individu-individu tertentu. Akibatnya, politik menjadi arena untuk mempertaruhkan kepentingan kelompok dan pribadi serta untuk mendapatkan pengakuan. Politik bukan lagi seperti dikatakan Hannah Arendt sebagai seni untuk mengabadikan diri dengan menjamin kebebasan setiap individu dan mengupayakan kesejahteraan bersama serta keadilan.

Penyempitan makna itu terjadi juga dalam lingkup etika politik. Bila pluralitas ditolak dan diskriminasi dipraktekkan maka bertentangan dengan etika politik. Paul Ricoeur mendefinisikan etika politik sebagai hidup baik bersama dan demi orang lain untuk semakin memperluas lingkup kebebasan dan membangun institusi-institusi yang adil. Pendekatan pragmatisme yang menjadi ideologi teknokrasi cenderung mengabaikan proses partisipasi dan prosedur parlementer yang menjadi tulang punggung demokrasi.

Tuntutan pertama politik adalah hidup baik bersama dan untuk orang lain. Pada tingkat ini, politik dipahami sebagai perwujudan sikap dan perilaku politikus atau warganegara demi kesejahteraan dan kebaikan bersama. Politikus yang baik adalah jujur, santun, memiliki integritas, menghargai orang lain, menerima pluralitas, memiliki keprihatinan untuk kesejahteraan umum, dan tidak mementingkan kekuasaanya. Jadi, politikus yang menjalankan etika politik adalah negarawan yang mempunyai keutamaan-keutamaan moral.

Eric Weil mengatakan, politik merupakan suatu gerak yang berangkat dari moral dan melampauinya dalam suatu teori tentang negara Tentu saja politik bukan seperti yang dipahami politikus, tetapi bagi orang yang mencoba mencari makna di dalam politik. Maka politik beranjak dari moral. Cara pandang moral ini harus mengakar dalam cara pandang politikus yang diorganisir oleh negara agar bisa diterjemahkan dalam relitas politik.

Dengan demikian, semua gerak yang berangkat dari moral harus membawa kepada pernyataan berikut ini: Negara adalah organisasi suatu komunitas yang menyejarah, dengan diorganisir dalam bentuk negara, komunitas itu mampu mengambil keputusan-keputusannya. Moral sebagai titik tolak politik menjadi penting karena politik akan mengetuk nurani. Orang-orang yang mampu memasuki dimensi moral dalam kehidupannya akan menyesuaikan dengan etika politik dalam praktik-praktik politik.

Penutup
Saat ini, banyak orang pesimis dengan realitas politik yang ada. Teriakan yang muncul seakan-akan: politik yang baik itu omong kosong. Realitas politik adalah pertarungan kekuatan dan kepentingan. Politik dibangun bukan dari yang ideal, tidak tunduk kepada apa yang seharusnya. Dalam politik, kecenderungan umum adalah tujuan menghalalkan segala cara. Dalam konteks ini, politik demi kesejahteraan seolah-olah hanya menjadi mimpi yang tak akan pernah menjadi kenyataan.

Terbukti bahwa realitas politik yang terjadi di negara ini sangat memprihatinkan. Karena itu perbaikan politik menyangkut tiga tuntutan, ialah upaya hidup baik bersama dan untuk orang lain, upaya memperluas lingkup kebebasan dan membangun membangun institusi-institusi yang adil. Tiga tuntutan itu saling terkait. hidup baik bersama dan untuk orang lain tidak mungkin terwujud kecuali bila menerima pluralitas dan dalam kerangka institusi-institusi yang adil. Hidup baik tidak lain adalah cita-cita kebebasan: kesempurnaan eksistensi atau pencapaian keutamaan. Institusi-institusi yang adil memungkinkan perwujudan kebebasan dengan menghindarkan warganegara atau kelompok-kelompok dari saling merugikan. Sebaliknya, kebebasan warganegara mendorong inisiatif dan sikap kritis terhadap institusi-institusi yang tidak adil. Pengertian kebebasan yang terakhir ini yang dimaksud adalah syarat fisik, sosial, dan politik yang perlu demi pelaksanaan kongkret kebebasan, berupa democratic liberties seperti: kebebasan pers, kebebasan berserikat dan berkumpul dan kebebasan mengeluarkan pendapat.

Salah satu hal yang sangat penting ialah politik, politikus dan produk politik harus ditujukan demi kesejahteraan bersama, utamanya demi mereka yang paling tidak beruntung; Politik perlu dimengerti sebagai kontrol penggunaan kekuatan-kekuatan dalam masyarakat, mobilisasi sumber-sumber daya dan pewujudan berbagai tujuan kolektif. Politik dengan segala distribusi jabatan, pengambilan keputusan, undang-undang, dan partisipasi warga negara dalam pengambilan keputusan perlu diarahkan demi kesejahteraan bersama. (A. Luluk Widyawan, Pr, dosen di STKIP Widya Yuwana, Madiun)
Teruskan baca - Politik Demi Kesejahteraan Rakyat

Pembangunan Politik dan Kesejahteraan Rakyat


NEGARA kita memiliki potensi untuk menjadi bangsa yang sejahtera dan maju.
Pengalaman dari banyak negara lain meyakinkan kita bahwa tidaklah lama waktu
yang diperlukan untuk menjadi negara bangsa yang sejahtera. Hanya dalam waktu
30 tahun, Korea Selatan yang semula bangsa feodal dan tradisional yang sistem
ekonomi, politik, dan hukumnya runtuh akibat perang saudara di tahun 1950-1953,
telah mampu menjadi negara modern yang sejahtera terutama sejak pemerintahan
Presiden Park Chung Hee, dan telah memperoleh penghormatan dunia dengan menjadi
tuan rumah Olimpiade.

Malaysia yang secara sosial budaya mirip kita, dan baru merdeka di tahun 1957,
sekarang telah menjadi bangsa dengan GNP/kapita/tahun 4.000 dolar AS. Selain
itu, untuk lebih mengangkat prestise bangsanya di mata dunia internasional,
Malaysia telah membangun gedung yang beberapa tahun yang lalu merupakan gedung
yang tertinggi di dunia.

Negara-negara yang mampu dalam waktu singkat membangun kemajuan dan kemakmuran
bagi warganya itu, beberapa di antaranya harus melalui perubahan politik yang
mendasar, semisal RRC sejak kepemimpinan Deng Xiao Ping dan Jiang Zemin.
Pelajaran dari keberhasilan negara-negara di dunia ini, meyakinkan kita bahwa
untuk membangun kesejahteraan yang tinggi di negara kita, diperlukan hadirnya
kehidupan politik yang sehat dan penegakan hukum yang tegas.

Salah satu unsur amat penting dalam pembangunan politik adalah pengembangan
kehidupan demokrasi. Loncatan kemajuan demokratisasi di negara kita ditengarai
oleh proses Pemilu 2004 yang diwarnai oleh beberapa hal. Pertama, menyusutnya
jumlah parpol peserta pemilu legislatif dari 48 partai di Pemilu 1999 menjadi
24 partai di Pemilu 2004, melalui mekanisme yang demokratis, berupa persyaratan
yang diperketat yang berlaku bagi semua parpol. Berkurangnya jumlah parpol
tersebut, diharapkan akan dapat mengembangkan proses politik yang lebih efisien.

Kemajuan kedua, ditandai dengan diselenggarakannya pemilihan anggota Dewan
Perwakilan Daerah secara langsung memilih orang, meskipun masih banyak yang
mempersoalkan penetapan jumlah perwakilan yang sama untuk setiap provinsi
sebanyak empat orang; tanpa mempersoalkan besarnya jumlah penduduk dan luasnya
wilayah masing-masing provinsi. Kemajuan juga ditandai dengan pemilihan
presiden dan wakil presiden secara langsung oleh rakyat, yang telah berlangsung
dengan damai.

Loncatan kemajuan demokratisasi di negara kita yang ketiga, ditandai dengan
munculnya kreativitas dan aktivitas masyarakat luas untuk ikut membendung
munculnya politikus bermasalah di lembaga-lembaga politik kita. Walaupun
efektivitasnya belum optimal, proses politik ini, merupakan kemajuan yang ke
depan diharapkan akan dapat menghasilkan tokoh-tokoh yang duduk di
lembaga-lembaga politik di negara kita merupakan primus interpares, yang
terbaik di antara yang baik-baik. Hanya dengan cara itu lembaga-lembaga politik
kita akan dapat menghasilkan produk-produk politik yang berkualitas tinggi.
Pengawasan yang aktif oleh rakyat dalam setiap proses politik termasuk pemilu,
akan dapat menyehatkan berbagai penyimpangan yang telah lama terjadi dalam
berbagai kegiatan politik di Indonesia, yang berupa proses seleksi kader yang
tidak berdasarkan merit system dan diwarnai nepotisme serta kolusi, pros
es politik yang diwarnai money politics; dan produk-produk hukum yang diwarnai
kepentingan kelompok dengan mengorbankan kepentingan nasional.

***

Usaha untuk membangun sistem politik yang baik di setiap negara, di mana pun,
mahal, karena dia adalah harga yang harus dibayar untuk menciptakan kemantapan
sistemik atas seluruh jalinan sistem ekonomi, sosial, politik, dan budaya suatu
masyarakat modern. Politik juga mahal karena dia adalah harga yang harus
dibayar untuk membangun demokrasi, lebih-lebih bagi suatu masyarakat yang pada
status naturalisnya berkultur feodal dan paternalistik, seperti Indonesia.

Betapa banyak rakyat di dunia ini yang belum bisa keluar dari jeratan
otoritarianisme dan diktatorisme menuju demokrasi secara damai. Kita saksikan
banyak negara yang masih terjerat pada proses politik yang sentralistik dan
represif; juga begitu banyak negara yang belum memiliki mekanisme pergantian
kepemimpinan secara damai.

Perubahan kekuasaan di Indonesia sejak zaman Tunggul Ametung-Ken Arok,
Amangkurat I, sampai sekarang jarang terjadi secara mulus. Di era Indonesia
merdeka ada Orde Lama, Orde Baru, dan Orde Reformasi. Penggantian Presiden
Soekarno ke Presiden Soeharto, lalu ke Presiden Habibie, selanjutnya ke
Presiden Abdurrahman Wahid dan lalu ke Presiden Megawati, telah berlangsung
melalui suatu cara yang khusus. Kita dapat membayangkan betapa menyesalnya
rakyat Afghanistan yang mencintai negerinya, terhadap keputusan para elite
politiknya yang telah melakukan perubahan melalui suatu proses politik yang
tidak tepat.

Afghanistan pada awalnya adalah sebuah negara kerajaan yang tenang dan damai
meskipun miskin, diperintah oleh raja Zahir Shah. Kemudian para elite
politiknya mengubahnya menjadi sebuah negara republik, dengan harapan ingin
membangun negara modern yang sejahtera. Namun, dalam prosesnya telah
menciptakan ketidakstabilan oleh perebutan kekuasaan antarpemimpinnya yang juga
mengundang kekuatan dari luar, yang lalu membuka celah intervensi negara-negara
besar; seperti Amerika Serikat, Rusia, RRC, India, Pakistan, dan Iran. Hingga
saat ini Afghanistan masih terjebak dalam kekacauan sosial, ekonomi, dan
politik berkepanjangan, yang telah berlangsung lebih dari 30 tahun lamanya.

Proses penggantian kepemimpinan itu di negara mana pun di dunia ini, akan dapat
berlangsung lebih damai melalui mekanisme pemilu yang demokratis, di mana
benih-benih keinginan perubahan terwadahi secara sistemik. Perjalanan umat
manusia memang sepatutnyalah semakin membuatnya dewasa dalam berbangsa; juga
dalam mengantarkan perubahan secara damai.

Politik juga mahal karena dia adalah harga yang harus dibayar untuk membangun
kesejahteraan dan keberlanjutan pembangunan.

***

Dalam membiayai kegiatan politik yang mahal itu, salah satu gejala negatif di
tanah air kita adalah begitu banyaknya pembiayaan politik yang tertutup, tidak
transparan, bahkan banyak elite politik yang tidak mengindahkan lagi cara-cara
yang halal untuk mencapai tujuan-tujuan politiknya. Lumpen borjuasi yang berupa
bandar-bandar judi, penyelundup, koruptor pengemplang uang negara, banyak yang
ikut membiayai kegiatan politik yang tentu imbalannya berupa payung
perlindungan. Dalam rangka ikut menyehatkan kehidupan politik dan
lembaga-lembaga politik di Tanah Air kita, selayaknyalah sumber pembiayaan
politik semua warga negara yang hendak maju menjadi pemimpin politik di semua
tingkatan, dilakukan dengan transparan.

Agar Indonesia dapat memperoleh kemajuan dan kesejahteraan yang tinggi dalam
waktu yang relatif pendek, diperlukan hadirnya kepemimpinan di berbagai
jenjang, di tingkat nasional dan regional, yang unggul, yang mampu mengelola
perubahan sekaligus diterima rakyat, yang mampu memobilisasi dan mengoptimalkan
berbagai potensi yang tersedia, mampu menyusun program yang visioner yang tepat
untuk masanya, dan melakukan langkah-langkah yang konsisten di bawah
kepemimpinan yang bukan hanya berwibawa, tetapi juga tepercaya, amanah, dan
mampu menumbuhkembangkan kematangan dan kesiapan rakyat untuk berubah. Untuk
itu, pada setiap jenjang pemilihan pemimpin, perlu dibuka seluas-luasnya pintu
bagi masuknya kader-kader bangsa yang terbaik untuk dapat dipilih langsung oleh
rakyat secara demokratis. Selain itu, DPR juga harus tepercaya dalam mewakili
aspirasi rakyat dan mampu mengawasi pemerintahan, karen
a pemerintahan dan kekuasaan tanpa pengawasan yang efektif cenderung akan
menyimpang.

Bukti-bukti empirik di seluruh dunia, mengajarkan kepada kita bahwa betapa pun
baiknya suatu sistem, untuk membawa rakyat mencapai tujuan bersama dalam
membangun bangsa yang sejahtera; negara yang semakin kukuh, kuat, dan bersatu;
bangsa yang semakin rukun, damai, setara, saling percaya dan saling
menghormati; peranan pemimpin sangat menentukan. Kong Hu Cu mengajarkan bahwa
kearifan seorang pemimpin bagaikan angin, dan kearifan rakyat bagaikan rumput.
Ke mana angin berhembus, ke sana rumput merebah.

Semoga meningkatnya partisipasi seluruh rakyat Indonesia dalam berbagai proses
politik, akan membuahkan lahirnya sebuah kekuatan dan semangat baru bernegara
sehingga dapat mengubah bangsa Indonesia yang saat ini berada dalam terpaan
berbagai masalah, dapat menjadi bangsa yang sejahtera dan berperadaban tinggi,
sejajar dengan bangsa-bangsa maju lainnya di dunia.
***
Siswono Yudo Husodo, Mantan Menakertrans http://osdir.com/ml/culture.region.indonesia.ppi-india/2005-01/msg00594.html
Teruskan baca - Pembangunan Politik dan Kesejahteraan Rakyat