Kamis, 17 Desember 2009

Etika Politik; Sebuah Keharusan


Apakah selamanya politik itu kejam? Apakah selamanya dia datang tuk menghantam? Ataukah memang itu yang sudah digariskan? Menjilat, menghasut, menindas, memperkosa hak-hak sewajarnya..! Demikian catatan Iwan Fals dalam “sumbang”nya.

Beragam penolakan, kecaman, kritikan pun muncul terhadap realitas politik. Mulai dari talkshow, film, penelitian, penulisan opini, sajak, opera, hingga syair bertemakan politik. Semua merupakan bentuk keprihatinan atas sikap mayoritas pelaku politik yang sudah kehilangan arah dan makna.

Realitas politik yang banyak dipertontonkan sering tak mengenal etika, keras, jahat, penuh perjudian, pengkhianatan, bahkan lebih tragis lagi, pembunuhan. Maka tak heran, politik yang dipahami sebagian masyarakat, juga demikian. Tak jarang dunia politik dijauhi, atau malah didekati untuk satu tujuan, yaitu kekuasaan semata dengan kualitas moral yang minim sementara kelompok yang berbeda harus dilawan, bahkan, dimusnahkan. Sesuatu yang juga dikonotasikan dengan dunianya laki-laki.

Politik sering dilihat sebagai sebuah pertarungan kekuatan dan kepentingan. Kecenderungannya adalah untuk mencapai tujuan dengan menghalalkan segala cara, sehingga tujuan politik yang menghasilkan kesejahteraan rakyat itu hanya sebatas mimpi. Dunia politik juga dapat merubah kawan menjadi lawan, dan sebaliknya, musuh menjadi teman untuk kepentingan individu dan golongan. Bahkan, rakyat pun bisa menjadi sasaran permainan politik, martabat bangsa digadaikan, dan harga diri dipertaruhkan.

Lantas, apakah demikian politik pada tataran substantif? Politikkah yang jahat atau manusia yang tengah mengkambinghitamkan politik itu sendiri? Mengapa politik jadi tak beretika? Sebelum menjawab pertanyaan ini, mari kita lihat konteks politik sesungguhnya.

Secara etimologi, politik adalah strategi. Ia dapat dimaknai sebagai sebuah penggalian kemampuan manusia untuk menggunakan kemampuan daya pikirnya dalam upaya proses perubahan. Secara terminologi, politik berarti memerdekakan manusia dari segala bentuk ketidakadilan, penindasan, kemiskinan, dan kebodohan. Maka, pada tataran substansi, politik tentu tidak kejam, ia juga tidak berisi permusuhan, apalagi penghancuran manusia. Politik mengenal etika, justru peduli terhadap kaum minoritas, kaum tertindas, dan berbicara atas kepentingan kolektif (masyarakat) secara jujur dan sungguh-sungguh.

Makna politik sesungguhnya tidaklah sempit, tidak hanya sekedar menjadi anggota dewan, anggota partai politik, dan duduk di jajaran eksekutif. Makna politik itu lebih luas dari itu, bahkan menyangkut ruang privat sekalipun. Dalam teori personal is political, gegap ruang privat ini makin nyata menyentak. Ia memperkenalkan bahwa yang privat itu sama pentingnya dengan yang public. Kehidupan rumah tangga juga politik. Persoalan perempuan jelas urusan politik, begitu sebaliknya, ketika bicara politik, artinya (juga) tengah membincangkan persoalan perempuan.

Politik bicara strategi, kepedulian, dan keadilan. Karena itu, sudah sepatutnya kepedulian terhadap urusan domestic (rumah tangga) menjadi kepedulian bersama laki-laki dan perempuan. Adapun strategi menyejahterakan keluarga itu adalah, berkolaborasinya dua jenis manusia tersebut dengan mengedepankan nilai-nilai penghargaan dan kesempatan, dan memberi hak atas pilihan pribadi perempuan sebagai manusia yang mandiri. Bahkan, bagaimana suara anak pun menjadi sesuatu yang penting untuk didengar.

Sedangkan politik dalam urusan public sering dimaknai dengan strategi untuk mengutamakan dan mewujudkan kepentingan dan kesejahteraan rakyat. Di dalamnya berisikan orang-orang yang berfikir tentang kondisi masyarakat, menganalisa permasalahan yang membelenggu masyarakat, serta berupaya mencari solusi yang terbaik bagi permasalahan tersebut. Ia mengurusi urusan rakyat, bukan urusan diri dan golongan (partai). Kalau ini tidak dikedepankan, jelaslah para politikus akan mengatasnamakan rakyat untuk tujuan-tujuan kekuasaannya.

Eric Weil mendefinisikan politik sebagai suatu gerak yang berangkat dari moral dan melampauinya dalam suatu teori tentang Negara. Tentu saja ini sangat berbeda dengan realitas politik yang tengah dipertontonkan banyak politikus hari ini, seperti pertengkaran anggota dewan di depan konstituennya, money politic yang telah mendarah daging, pembunuhan karakter yang merajalela, penghamburan uang Negara yang dilegalkan dalam undang-undang atau kebijakan, penghambaan terhadap penguasa, pengabaian hak korban dan kelompok minoritas -–terutama kaum perempuan, intimidasi yang tak terkendali, serta cara-cara yang tidak sehat lainnya.

Bagi orang yang mencoba mencari makna di dalam politik, maka politik beranjak dari moral. Moral inilah yang kemudian harus mengakar dalam cara pandang pelaku politik yang diorganisir oleh negara agar bisa diterjemahkan dalam realitas politik yang santun, adil, setara dan bermartabat, serta mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan.

Politik tak beretika, salah satunya adalah karena makna politik tidak lagi dipahami sebagai sebuah distribusi kekuasaan yang salah satu agendanya adalah kesejahteraan rakyat. Berbicara politik lebih berorientasi untuk mengejar materi yang jembatannya adalah kekuasaan itu sendiri. Politik pun akhirnya bicara soal mata pencaharian yang instant. Kekuasaan politik dikejar tak lebih untuk memperoleh pekerjaan dan jabatan.

Budaya politik yang cendrung antagonis itu, pada akhirnya sering membenarkan kekerasan sebagai panglima digjaya. Ketamakan dan kehausannya berwujud dalam sikap korupsi, pengabaian kemiskinan, kesenjangan sosial, keberagaman, impunity dan feodalisme kekuasaan yang mengangkangi hukum, dan pengabaian pada sejarah kekerasan di masa lalu dengan mengubur ingatan sosial.

Untuk konteks ingatan sosial, terutama dalam situasi Aceh yang tengah membangun perdamaian, etika politik berperan penting untuk membangun masa depan Aceh yang lebih adil, yaitu mengungkap kebenaran di masa lalu dan tidak menutupnya dengan kemandulan hukum terhadap kekerasan tersebut, karena ini hanya akan mengantar masyarakat untuk melihat sebuah upaya sistematik yang mencoba mengubur ingatan sosial. Sebagaimana pesan moril Paul Ricoeur dalam Oneself as Another (1992): We must remember because remembering is a moral duty. We owe a debt to the victims. And the tiniest way of paying out debt is to tell and retell what happened, by remembering and telling, we not only prevent forgetfullness from killing the victims twice; we also prevent their life stories from becoming banal, and the events from appearing as necessary.

Lebih lanjut, ia berhujjah, dalam etika politik ada 3 tuntutan yang harus dipenuhi, pertama, upaya hidup baik bersama dan untuk orang lain, yaitu dengan menghargai keberagaman manusia (suku, usia, dan jenis kelamin). Kedua, upaya memperluas lingkup kebebasan. Ketiga, membangun institusi-institusi yang adil. Insititusi-institusi yang adil bisa melalui insitusi formal (pemerintahan) dan non-formal, seperti lembaga adat dan agama. Institusi ini diharapkan mampu menjembatani persoalan sosial yang berbasiskan kesetaraan dan keadilan.

Mengingat tantangan etika politik ke depan adalah, soal kemiskinan, ketidakpedulian, korupsi, kekerasan sosial, terutama terhadap perempuan, maka banyak strategi yang harus dilakukan. Pertama, meretas etika politik itu sedini mungkin melalui lingkungan keluarga: membiasakan pola relasi yang seimbang antara dua jenis manusia, menghargai keberagaman, dan perbedaan pendapat, terutama sejak anak-anak masih kecil.

Kedua, memperkuat lembaga-lembaga strategis seperti pemerintahan daerah hingga gampong, lembaga adat dan lembaga agama dengan mengintegrasikan etika politik di dalamnya, juga terhadap peraturan-peraturan internal partai baik AD/ART, program dan peraturan-peraturan partai lainnya. Ketiga, memperkuat komunitas di tingkat akar rumput, terutama perempuan agar melek politik, serta adanya peraturan yang tegas dan dijamin dalam hukum (berupa sangsi) yang ketat terhadap proses-proses pengambilan kebijakan yang tidak menyertakan perempuan di setiap institusi.

Keempat, perlu memotivasi perempuan untuk bersedia mengambil peran dalam kancah politik melalui sosialisasi, advokasi dan fasilitasi bagi kader politik perempuan, pematangan konsensus bersama untuk mewujudkan keadilan bersama, perempuan dan laki-laki. Kelima, yang lebih signifikan adalah, membangun proses penyadaran akan pentingnya etika politik dalam setiap lapisan masyarakat.

Terakhir, ingatan sosial terhadap kekerasan di masa lalu membutuhkan pertanggungjawaban sebagai wujud dari sebuah etika politik, karena itu, perlu tindakan kongkrit seluruh instansi, terutama pemerintah dalam menyikapi situasi ini yang juga melibatkan komponen perempuan di dalamnya. Tidak ada yang tidak mungkin untuk sebuah politik yang beretika![] Zubaidah Djohar | Peneliti Aceh Institute

Kolom ini Kerjasama antara Aceh Institute dengan Harian Aceh Independen | Artikel ini sudah pernah dimuat di Koran Harian Aceh Independen, Senin 250509