Selasa, 18 Desember 2012

SILABUS PERKULIAHAN SOSIOLOGI POLITIK



Pengajar:
PROF. M. MAS’UD SAID, PhD
MAGISTER SOSIOLOGI
PASCASARJANA
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
2011

 Bahan Bacaan Wajib:

  • Duverger, Maurice; Sosiologi Politik, Terjemahan Daniel Dakhidae, Raja   Grafindo Persada, Jakarta, 1998.
  • Rush, Michael and Philip Althoff, Pengantar Sosiologi Politik, Terjemahan Kartini Kartono, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1997
  • Francis E. Rourke, Bureaucratic Power In National Politics, Little, Brown And Company, Boston,1978
  • Said, M. Mas’ud, Birokrasi di Negara Birokratis, UMM Press, 2007.
·         MATERI SOSIOLOGI POLITIK , PASCA SARJANA UMM MALANG, M.Mas’ud Said, 2011.


MATERI KULIAH 1

WHAT IS SOCIOLOGY?
Ilmu sosiologi adalah ilmu yang mempelajari tentang struktur sosial, pranata sosila, perilaku masyarakat dan proses interaksi, integrasi dan konflik dalam masyarakat.

Why Does Sociology Matter?
Mengapa ilomu sosiologi penting dalam kaitan dengan proses PENCAPAIAN, PENGGUNAAN DAN MEMPERTAHANKAN KEKUASAAN?

Hal itu karena KEKUAASAAN ADALAH KEKUATAN UNTUK MEMPENGARUHI MAUPUN MEMAKSA SESEORANG YANG BERKAITAN DENGAN ORANG ORANG ATAU SEKELOMPOK ORANG.

 Lembaga NEGARA, KEKUASAAN DAN DINAMIKA SOSIAL pasti memiliki konteks sosiologis, karena mereka selalu berada dalam lingkungan sosial. Demikian juga dalam hal pengGUNAAAN KEKUASAAN.

POSISI KEKUASAAN DAN  NEGARA DALAM KACAMATA SOSIOLOGIS
Selama ini orang sering melihat bahwa NEGARA adalah INSTITUSI yang dekat dengan kekuasaan yang melekat.
Padahal Secara Sosiologis dapat dipahami dengan mencaraii asal muasal kekuasaan yang berjalan dalam koridor konteks sosial.


POWER DOESN’T TAKE PLACE IN A VACUUM

PENGGUNAAN KEKUASAAN ITU itu selalu konteks dengan lingkungannya Baik lingkungan sosial, lingkungan politik dan lingkngan alamiah.



MATERI KULIAH 2


ILMU NEGARA MEMBUTUHKAN SOSIOLOGI

Negara Dalam Teori Sosiologis
Negara. Negara merupakan pengertina yang cukup kompleks. Dalam pengertina hukum international negara adalah lembaga yang memiliki ppemerintahan yang berdaulat, rakyat yang menjadi warga negara dan iwlayah tempat berlakunya kedaulatan pemerintahan itu.  Hegel seorang filsuf idealisme Jerman abad ke 19 merumuskan pengertina negara berdassarkan metode berpikir dialektis. Denag berpikir secara dialektis dia sampai ke suatu pendapat negara adalah akhir dari proses sosial, negara adalah idea ilahi yang ada dibumi. Makna negara adalah kondisi morakl kita, negara merupakan sintesisi antara kemerdekaan universal dan kemerdekaan individual, maka negara yang baik bukan negara itu mempertahankan tertib hukum, tetapi karena mengusahakan penyatuan yang universal dan yang partikular. Dia mengatakan negara berkuasa kalau tidak menyeleweng dari prinsip-prinsip negara yang asli dengan kualitasnya sebagai negara kesejahteraan yang makmur baik material maupun absolut. Teori ini dalam praktek pernah diterapkan secara menyimpang menjadi negara fascisme di Itali oleh Mussolini dan nasisme di Jerman oleh Hitler.

Teori bahwa negara itu penjelamaan dari idea illahi itu di kembangkan oleh sarjana-sarjana Swiss dan Jerman pada abad ke 19. Mereka menyamakan negara seperti manusia yang hidup dengan organ-organnnya yang di gunakanuntuk memenuhi kebutuhannya. Diantara mereka itu adalah Otto Von Gierke dan Pail Laband. Jasa teori ini memperkenalkan organ-organ negara seperti sampai sekarang masih di kenal orang aitu alata perkembangan begara yang bergerak dan bertindak untuk keppentngan negara.

            Karl Max menggunakan metode dialektis Hegel, tetapi berlawanan dengan Hegel dia menggunakan metode dialektis ini untuk menjelaskan perkembangan masyarakat, sehingga teorinya terkenal dengan histors materialisme.masyatakat berkembang dari masyarakat komunal yang tidak mengenal hak pribadi, kemudian setalah pengertina hak milik pribadi masyarakat berkembang sesuai dengan metode dialektis yang berupa pertentangan kelas. ( P. J Suwarno ; 2003 ; 5, 7 )


MATERI KULIAH 3

SUMBER KEKUASAAN MENURUT WEBER
‘Otoritas karismatik’,
‘Otoritas tradisional’
’Otoritas legal’

Otoritas Kharismatik

“yaitu suatu kepatuhan yang dibenarkan karena orang yang memberikan tatanan memiliki beberapa kesucian atau semua karakteristik yang dikenal.”[1]

Di sini, pemimpin menggerakkan yang dipimpin atas dasar kharisma atau wibawa yang dimilikinya, dan wibawa atau kharisma ini merupakan sebuah kualitas diri yang batiniah yang tak bisa diberikan atau dibagikan kepada pihak yang lain. Kharisma atau wibawa merupakan sebuah kualitas diri yang tak kasat mata, namun auranya terasakan oleh mereka yang dipimpin dan aura kharisma atau wibawa inilah yang sanggup menggerakkan mereka yang dipimpin. Dalam kehidupan kita sehari-hari, tipe otoritas yang demikian barangkali terepresentasikan dalam kepemimpinan sebagian tokoh agama.


Otoritas tradisional’.
Dalam otoritas yang sedemikian ini, ‘semua perintah mungkin dipatuhi karena adanya rasa hormat terhadap pola-pola tatanan lama yang telah mapan.’[2]  Tipe otoritas ini barangkali tak sulit untuk kita temukan dalam kehidupan sehari-hari kita. Kita bisa lihat tipe otoritas ini semisal dalam bagaimana masih kuatnya tradisi pernikahan yang mengikuti adat tradisional.
           
Otoritas legal’

dimana ‘manusia mungkin percaya bahwa seseorang yang memberikan tatanan adalah berbuat sesuai dengan tugas-tugasnya sebagaimana yang di dalam suatu kitab undang-undang dan peraturan.”[3] “Kategori ketiga ini berciri rasional, dan merupakan tipe otoritas yang menandai organisasi modern, yang berkaitan dengan membesarnya staf administrasi birokratis.”[4]
           


MATERI KULIAH 4

1.        Tipe Otoritas Kharismatik

            Dalam tipe ini, orang-orang bersedia untuk menaati atau mematuhi sebuah kepemimpinan tertentu atas dasar keyakinan mereka akan kharisma atau wibawa yang dimiliki oleh sang pemimpin. Karena kharisma atau wibawa itu diyakini bersumber dari kekuatan yang sakral, maka tidak sembarang orang yang bisa mendapatkannya. Jadi, seorang yang memilikinya akan dianggap sebagai pertanda bahwa dia telah memiliki kualifikasi untuk menjadi pemimpin mereka. Kepemimpinan di sini dibangun di atas landasan keyakinan orang-orang akan kesakralan sang pemimpin yang tak boleh dipertanyakan.
            Termasuk yang diyakini dalam kesakralan itu ialah kemampuan sang pemimpin untuk mengetahui segala-galanya atas perkehidupan dari mereka yang dipimpin, dan karena maha tahu, maka sang pemimpin bagi orang-orang yang dipimpinnya merupakan pembimbing mereka menuju ke surga bersama. Jadi, menjadi tugas sang pemimpin untuk memberikan kompas panduan ke arah mana masyarakat itu akan melangkah dan bergerak sekaligus bagaimana cara menuju ke sana. Tugas dari orang-orang yang dipimpin ialah tinggal menunggu titah dari sang pemimpin. “Sabda sang raja adalah sabda Tuhan,” menjadi kesadaran kolektif masyarakat tersebut.
            Konsekuensi dari tipe otoritas yang demikian ialah bahwa mereka yang dipimpin akan mudah sekali kehilangan arah tujuan hidupnya manakala sang pemimpin tak lagi berada di antara mereka. Kematian sang pemimpin identik dengan matinya kompas pemandu tujuan hidup mereka. Masyarakat akan kehilangan pegangan hidup sehingga biasanya kemudian terjadi disintegrasi atau perpecahan dalam masyarakat tersebut karena tak ada sosok yang bisa menyatukan kemauan dan gerak langkah masyarakat tersebut. Di sisi lain, ketergantungan terhadap sosok sang pemimpin juga menjadikan kemampuan-kemampuan menentukan arah tujuan hidupnya tak berkembang dalam diri yang dipimpin. Mereka yang dipimpin tak terlatih untuk mengembangkan kemampuan memilih tujuan hidupnya sendiri maupun cara bagaimana mencapai tujuan tersebut.
            Maka, tipe otoritas yang demikian berfungsi ideal pada situasi-situasi dimana kehidupan yang melingkupi sebuah masyarakat masih begitu sederhana dan problem-problem yang muncul bisa diselesaikan dengan cara-cara yang sederhana. Dengan kesederhanaan situasi dan problem itu, maka sosok pemimpin akan bisa menjalankan fungsinya sebagai yang maha tahu. Sang pemimpin-lah yang bertugas memberikan jawaban atas banyak persoalan yang dialami oleh mereka yang dipimpin.
            Tipe ini akan menjadi problematik manakala kehidupan telah menjadi sedemikian kompleks, ruang kehidupan semakin saling terkait secara luas dan dinamika kehidupan semakin cepat. Jika semua problem lantas harus menunggu jawaban dari sang pemimpin, maka akan ada banyak energi dan waktu yang terbuang percuma hanya untuk menunggu. Organisasi pemerintahan yang ada pun lantas menjadi lamban dan tak responsif terhadap tantangan-tantangan yang terus muncul. Secara keseluruhan, bangunan sosial politik yang didasarkan pada tipe otoritas semacam ini akan menjadi rapuh justru karena ketergantungannya kepada satu figur karismatik.    

 MATERI KULIAH 5

2. Tipe Otoritas Tradisional

            Dalam tipe otoritas yang kedua ini, ketaatan dan kepatuhan orang-orang didasarkan pada adat kebiasaan yang telah dijalankan secara generasi bergenerasi. Kesetiaan pada adat kebiasaan menjadi nilai yang diutamakan. Di sini, sang pemimpin mendapatkan legitimasinya sebagai seorang pemimpin karena perannya sebagai penjaga dan penerus tradisi.
            Jika dalam tipe pertama, sang pemimpin masih berkewajiban untuk mengembangkan kualitas dirinya karena keharusan untuk maha bisa memberikan arah dan jawaban bagi persoalan-persoalan yang dialami oleh mereka yang dipimpin, dalam tipe kedua ini sang pemimpin tak harus menjadi maha tahu karena telah ada adat tradisi yang menjadi landasan bagi arah gerak aktivitas yang harus dijalankan. Tatanan lama yang telah mapan menjadi dasar patokan penilaian bagi tepat atau tidak tepatnya sebuah tindakan. Sebagai konsekuensinya, tak mudah untuk melakukan sebuah perubahan sosial dalam tatanan yang sedemikian karena kesetiaan pada tradisi menjadi keutamaan. Setiap usaha untuk melakukan perubahan pada adat kebiasaan maupun struktur yang telah ada, akan selalu berhadapan dengan resistensi yang kuat. Baik sang pemimpin maupun aparatur yang menjalankan roda pemerintahannya akan menjalankan peran-perannya atas dasar adat kebiasaan yang telah berlangsung selama generasi bergenerasi. Tentu saja, hal ini menjadikan baik sang pemimpin maupun aparaturnya rendah motivasinya untuk mengembangkan kualitas-kualitas terbaik dalam dirinya karena toh adat kebiasaan pada akhirnya yang menentukan. Apa gunanya mengembangkan kecerdasan dan kreativitas jika pada akhirnya yang dihargai ialah senioritas dan kepatuhan pada tradisi? Apa gunanya berinovasi jika pada akhirnya yang dihargai ialah apa yang selaras dengan adat tradisi? Insentif bagi munculnya inovasi-inovasi dalam menjalankan kewenangannya lemah.
Seperti halnya tipe otoritas yang pertama, tipe otoritas yang kedua ini juga hanya akan berfungsi dengan baik dalam situasi-situasi dimana cara-cara tradisional bisa menjawab problem-problem yang muncul. Dengan kata lain, ini berarti bahwa problem-problem yang muncul haruslah juga merupakan problem-problem yang memiliki karakteristik yang sama atau serupa dengan problem-problem yang dulu pernah berhasil dengan cara-cara tradisional. Persoalannya ialah apakah kita masih berada dalam sebuah dunia dimana problem-problem yang muncul tak lain dari pengulangan problem-problem yang pernah ada.
            Jika kita menyaksikan betapa begitu cepatnya semua berubah, kita akan paham betapa kita tengah hidup dalam dunia dimana inovasi demi inovasi terus-menerus membayangi kehidupan kita setiap hari. Selalu ada barang baru, model baru, jenis baru yang ditawarkan ke hadapan kita, dan ini berarti bahwa ada cara-cara baru dan pengalaman-pengalaman baru yang ditawarkan kepada kita. Ini berarti juga problem-problem baru. Apakah cara-cara dan kebiasaan lama bisa menghadapi semua itu? Dalam kasus birokrasi, cara-cara dan kebiasaan lama malah menjadikan kita tertinggal. Kerja birokrasi yang didasarkan cara-cara dan adat kebiasaan yang lama seringkali malah lebih suka mempermasalahkan bagaimana melestarikan cara dan kebiasaan lama ketimbang pada bagaimana menghadapi problem-problem baru. Sebagai akibatnya, setiap kali berhadapan dengan problem-problem yang memiliki karakteristik yang berbeda dari yang dulu pernah dihadapi dengan cara-cara lama, birokrasi mengalami kegagapan. Secara luas, perilaku ini malah akan menghancurkan daya cipta masyarakat. Lemah motivasi dan miskin inovasi menjadi potret umum dari birokrasi maupun masyarakat yang masih mendasarkan diri pada tipe otoritas kedua ini.   

  
MATERI KULIAH 6

3 . Tipe Otoritas Legal Formal

            Pada tipe otoritas yang ketiga ini, kepatuhan dan kesediaan orang-orang lebih didasarkan pada aturan-aturan yang disusun berdasarkan pada prinsip-prinsip dan cara-cara rasional. Di sini, bukan karisma pemimpin atau adat kebiasaan yang menjadi dasar ketaatan, namun hukum-hukum yang dibentuk secara tertulis dan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan rasional. Yang mungkin menarik untuk dipertanyakan ialah: “Mengapa orang-orang bersedia untuk patuh pada aturan-aturan dan hukum-hukum yang tertulis yang mungkin sama sekali tak pernah dia ketahui bagaimana dan darimana bisa terbentuk?”
            Kepatuhan ini sesungguhnya berkaitan dengan perkembangan rasionalitas masyarakat itu sendiri. Ketika pemimpin yang ada maupun struktur dan kultur tradisi yang ada dianggap tak lagi memadai untuk bisa mewadahi dan mewujudkan aspirasi-aspirasi masyarakat, maka pada saat itulah muncul pertanyaan: “Jika kharisma pemimpin atau tradisi yang ada tak lagi bisa diandalkan sebagai jawaban untuk mencapai tujuan hidup bersama, namun malah digunakan sebagai dalih untuk melanggengkan ketidakadilan dan diskriminasi sosial politik yang ada, maka apalagi yang bisa dijadikan sebagai dasar landasan bagi suatu otoritas?”
            Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang menghasilkan berbagai penemuan yang luar biasa dan berhasil memecahkan berbagai kebutuhan manusia telah memperkuat keyakinan manusia Barat akan kemampuan rasio atau akal budi manusia untuk membantu manusia mencapai tujuan kehidupan bersamanya. Dengan rasio, manusia bisa membaca realitas empiris, mendeskripsikan pola yang ada di balik pengalaman empirisnya, dan untuk kemudian menemukan cara untuk memodifikasi realitas empiris tersebut. Termasuk realitas empiris yang bisa dimodifikasi itu ialah realitas sosio-politik dan ekonomi. Realitas empiris sosio-politik maupun ekonomi bukanlah suatu tatanan yang tinggal diterima begitu saja tanpa ada kemampuan manusia untuk mengintervensi ataupun memodifikasinya. Kesadaran akan kemampuan rasionalitas manusia menumbuhkan kesadaran historis bahwa manusia bisa mengintervensi dan memodifikasi realitas sesuai dengan citanya. Kesadaran fatalisme yang menopang peradaban feodalisme pun runtuh secara perlahan namun pasti. Kepercayaan terhadap kharisma maupun terhadap tatanan dan adat kebiasaan yang lama, yang tumbuh dari alam kesadaran yang fatalis, surut secara pasti. Usaha membangun kehidupan bersama tak lagi bisa diserahkan kepada kharisma atau cara-cara lama. Usaha itu harus didasarkan pada pembacaan dan analisis empiris atas keseluruhan situasi yang ada, dan kemudian merumuskan, merencanakan serta menjalankan cara-cara yang dinilai paling efektif untuk mencapai tujuan yang diinginkan, yang untuk kemudian dievaluasi apakah cara tersebut telah menghasilkan realitas empiris yang diinginkan. Siklusnya lalu kembali ke pembacaan realitas empiris yang baru dimodifikasi tersebut.
            Agar usaha membangun tujuan bersama itu berhasil, maka dibutuhkan kerjasama kolektif dari seluruh anggota kehidupan bersama. Harus ada gerak langkah yang serempak dan harmonis satu sama lain. Kalau sebelumnya, penyelarasan gerak langkah dari seluruh elemen masyarakat itu dilakukan oleh seorang pemimpin atau oleh penjaga adat kebiasaan yang lama, maka dalam dunia yang rasional, penyelarasan itu dilakukan oleh aturan-aturan yang ditetapkan secara eksplisit dalam artian tertulis dan disebarluaskan ke seluruh masyarakat. Dengan kata lain, hukum-lah yang menjadi alat penyelaras dari seluruh gerak langkah guna mencapai tujuan bersama. Ini berarti bahwa masyarakat pun harus dididik untuk menjadi masyarakat yang rasional agar bisa menginternalisasi hukum tersebut dan membentuk perilaku dan karakternya sesuai dengan hukum tersebut sehingga keselarasan antar gerak langkah seluruh elemen masyarakat tercapai dan tujuan bersama pun tercipta. Inilah yang dimaksud dengan otoritas yang didasarkan atas aturan-aturan hukum atau otoritas legal.
        
           

MATERI KULIAH
7
Masyarakat, Bangsa, dan Negara Indonesia
(Kajian Sosiologis)

Negara Terbentu Dengan ProseS Sejarah Dan Sosial

Negara Indonesia di bentuk atas bangsa Indonesia dan masyarakat Nusantara diketahui oleh sejarawan sejak abad ke-4 Masehi setelah di temukan prasasti kerajaan Mulawarman di Kutai ( Kalimantan Timur ), kemudian disusul dengan penemuan-penemuan batu tertulis di Jawa Barat ( Kerajaan Tarumanagara ), Jawa Tengah ( Kerajaan Kalingga dan Mataram Kuno ), di Sumatera , Kerajaan Sriwijaya, di Jawa Timur Kerajaan Watan Emas dengan rajanya Airlangga, Kerajaan kediri, Singasari, dan Majapahit. Bersamaan mundurnya kerajaan Samudra pasai di Aceh, Kasultana Demak di jawa Tengah utara, Kasultanan dan akhirnya Mataram islam. Di susul berkembangnya kekuasaan Belanda di Batavia yang akhirnya berhasil menyebarkan pengaruhnya ke seluruh Nusantara. (  P.J Suwarno; 2003:1 )

Akhirnya jepang yang menjajah sesudah Belanda berhasil meletakkan dasar-dasara birokrai modern di tingkat pusat, memanfaatkan birokrasi itu untuk menggerakan rakyat dalam mencapai tujuannnya menguras bahan  mentah secara efektif. Bersama militer jepang itulah kelompok Nasionalis Indonesia mendapat pengalaman mengoperasikan birokrasi pemerintahan untuk mencapai tjuan Negara yang sedang berperang. Denga pelajaan yang diperoleh dari Jepang itu bangsa Indonesia menata Indoesai sebagai Negara modern yang wilayahnya mencapai seluruh wilayah Hindia belanda dan mencoba untuk mempertahankannya di tengah-tengah dunia yang sudah berkkembang menjadi puluhan bahkan ratusan Negara-negara kebangsaan yang masing-masing berusaha mempertahankan dirinya sendiri ( P. J Suwarno : 2003 : 4)

            Dalam sejarah Indonesia yang mulai abad ke 4, adda proses integrasi negara ( state integration) yang silih berganti sampai akhirnay muncul integrasi negara Indonesia. Di samping itu sejak awal abad ke 20 juga tampak adanya proses integrasi bangsa ( national integrtion ) yang mencapai puncaknya pada tahun 1945-1950. Proses integrasi negara menunujukkan gejala munculnya kelompok penguasa yang menugasai wilayah secara bertahap. Pertama, menundukkan saingan-saingannya, kedua menentukan batas-batas wilayah kekuasannya, ketiga menciptakan polisi dan pengadilan untuk menciptakan ketertiban dan keempat tahap penetrasi administratif, yaitu pembentukan birokrasi untuk melaksanakan undang-undang dan mengumpulkan pajak. ( P. J Suwarno; 2003; 17 )

 NEGARA DAN KEKUASAAN BIROKRASI
Birokrasi pemerintahan daerah dalam wilayah kerajaan Majapahit terdiri atas
  1. birokrasi pemerintahan yang di pimpin oleh keluarga yang kawin dengan penguasa-penguasa daerah terutama raja
  2. birokrasi pemerintahan yang di pimpin oleh penguasa-penuasa daerah yang mengakui kedaulatan Majapahit, terutama daerah-daerh di luar Jawa. Birokrasi pemerintahan daerah yang pertama integrasinya dengan pusat lebih erat daripada yang kedua.
 Integrasii birokrasi pemerintahan pusat-daerah merupakan pola yang sudah lama terbentuk oleh kerajaan-kerajaan pendahulu Majapahit. Integrasi birokrasi pemerintahan pusat-daerah lewat jalur jalur berikut :
  1. Pada zaman Hayam Wuruk Pahon Narendra merupakan pengikat yang sangat erat antara pemerintahan pusat dan daerah-daerah. Seperti telah diuraikan anggota-anggota Pohan Narendra adalah penguasa-penguasa daerah yang kecuali di beri jabatan resmi sebagai anggota Pohan Narendra, mereka masing-masing raja-raja daerah yang di ikat dengan tali perkawinan dengan anggota-anggota keluarga raja.
  2.  Patih, baik Apatih Mangkubumi yang di pusat maupun apatih yang di daerah –daerah merupakan pejabta raja yang melaksanakan tugas di tengah-tengah rakyat. Maka dari itu salah satu syarat  untuk menjabat patih ialah pernah menjelajahi seluruh daerah. Sebagai penghubung raja dan rakyat apatih mempunyai tiga tugas pokok yaitu : a. Melaksanakan sejumlah pelayanan untuk raja pada saat ada perkawinan di keraton. b. Mengurusi terlaksananya kebaktina di tempat-tempat suci setiap tahun untuk keselamatan raja. c. Melindungi keselamatan rakyat dalam hal ini harus ada kerjasama dengan juru pengalasan.
  3. Pegawai-pegawai raja yang mengurus pemasukan pajak ke bendahara kerajaan jua menimbulkna sutau ikatan antara birokrasi pemerintahan pusat-daerah. Jenis pajak yang di tarik oleh pusat yaitu pajak tanah/hasil bumi pajak perdagangan/penjualan pajak atas usaha kerajinan dan denda-denda atas segala tindak pidana yang di jatuhkan di dalanm sidang  pengadilan. Semua itu di sebut drawyahaji yang secara harfiah berarti milik raja. Kecuali itu raja juga berhak atas buat aji atau gawal yaitu persembahan yang lain. ( P. J Suwarno; 2003 ; 35-36 ).


Materi  Perkuliahan
8
PARTISIPASI POLITIK

Political Participation = Taking part in politics.
The general level of participation in a society is the extent to which the people as a whole are active in politics: the number of active people multiplied by the amount of their action, to put it arithmetically.
But the question of what it is to take part in politics is massively complex and ultimately ambiguous. It raises the question of what constitutes politics. An activity within a political party or an organization which regarded itself as a pressure group should count as political participation.
Although not overtly political, these organizations set the context of politics, give their active members administrative experience and are capable of overt political action if their interests or principles are threatened.
There is an opposite problem about political losers: if people act, but ineffectively, perhaps because they are part of a permanent minority in a political system, can we say they have participated in the making of decisions?
One implication of this doubt is that possessing power is a necessary condition or logical equivalent of true political participation. If one is merely consulted by a powerful person who wants one's views for information, or if one is mobilized or re-educated within the control of another, one has not participated in politics in any significant sense.
Partisipasi secara harafiah berarti keikutsertaan, dalam konteks politik hal ini mengacu pada pada keikutsertaan warga dalam berbagai proses politik. Keikutsertaan warga dalam proses politik tidaklah hanya berarti warga mendukung keputusan atau kebijakan yang telah digariskan oleh para pemimpinnya, karena kalau ini yang terjadi maka istilah yang tepat adalah mobilisasi politik.
Partisipasi politik adalah keterlibatan warga dalam segala tahapan kebijakan, mulai dari sejak pembuatan keputusan sampai dengan penilaian keputusan, termasuk juga peluang untuk ikut serta dalam pelaksanaan keputusan.
Konsep partisipasi politik ini menjadi sangat penting dalam arus pemikiran deliberative democracy atau demokrasi musawarah.
Pemikiran demokrasi musyawarah muncul antara lain terdorong oleh tingginya tingkat apatisme politik di Barat yang terlihat dengan rendahnya tingkat pemilih (hanya berkisar 50 - 60 %). Besarnya kelompok yang tidak puas atau tidak merasa perlu terlibat dalam proses politik perwakilan menghawatirkan banyak pemikir Barat yang lalu datang dengan konsep deliberative democracy.
Di Indonesia saat ini penggunaan kata partisipasi (politik) lebih sering mengacu pada dukungan yang diberikan warga untuk pelaksanaan keputusan yang sudah dibuat oleh para pemimpin politik dan pemerintahan. Misalnya ungkapan pemimpin "Saya mengharapkan partispasi masyarakat untuk menghemat BBM dengan membatasi penggunaan listrik di rumah masihng-masing". Sebaliknya jarang kita mendengar ungkapan yang menempatkan warga sebagai aktor utama pembuatan keputusan.

Materi  Perkuliahan
9
PERILAKU POLITIK

Perilaku Politik =  political behaviour
The term refers to any form of (individual or collective) involvement in the political process, or any activity which has political consequences in relation to government and policy. This broad definition embraces both legitimate forms of political participation (such as voting in elections, activism in interest groups, or social movements) and illegitimate political activities (including coups d'état, terrorism, and revolutions (see REBELLIONS)).
While formal participation aims at containing social conflict within the extant political system, so that the political order remains stable, dissent which cannot be channelled via existing political structures is likely, not only to pursue changes in policy, but also to challenge the political order itself.
The study of political behaviour also embraces the study of inactivity and apathy, as well as the analysis of political ideologies, values, and attitudes as the basis of participation and non-participation in the political sphere.


Materi  Perkuliahan
10
Tinjauan sosiologis
TIGA PARADIGMA KEKUASAAN DAN NEGARA


          Pemerintahan sebagai seni pengelolaan kekuasaan sudah hadir sejak awal kehidupan manusia. Ketika kepentingan yang berbeda dalam kehidupan kelompok sudah cenderung menciptakan disharmoni, kehadiran seseorang yang kuat yang bisa memelihara berlakunya sesuatu aturan main yang harus ditaati oleh semua pihak, merupakan pertanda dari lahirnya sebuah pemerintahan.

          Bentuk awal dari pemerintahan itu bisa bermacam-macam, namun cirinya yang pokok, setelah tercapainya kesepakatan tentang aturan hukum, adalah kehadiran seorang pemimpin yang ditaati, secara tulus atau terpaksa, oleh orang-orang dalam suatu kelompok masyarakat. Dari sini sudah jelas bahwa kepemimpinan merupakan inti dari wujud pemerintahan di awal kelahirannya, dan penonjolan wibawa pribadi pemimpin merupakan modal awal dari pemerintahan itu sendiri.

Pandangan tentang pemerintahan yang berdasarkan kepada wibawa, kecendikiaan, dan kebijaksanaan sang penguasa itulah yang menjadi acuan Plato ketika ia mempersyaratkan bahwa penguasa seyogianya berasal dari kalangan filosof (the Philosopher King), baik buruknya pemerintahan, dalam konteks ruling ini, sangat tergantung pada kualitas kepribadian dan kemampuan sang penguasa.
         
Dalam perkembangan lebih lanjut, dominasi kekuasaan yang terletak pada penguasa tadi (the ruler) tidak dapat terus dipertahankan terutama karena dua alasan.
          Pertama, kehadiran seorang penguasa yang dekat dengan rakyat, memiliki kepekaan dan kepedulian atas aspirasi dan kebutuhan rakyat, bijaksana, dan karena itu setia kepada kebenaran, sangat jarang menyertai keberadaan sebuah pemerintahan. Idealisme tentang pemimpin pemerintahan yang sekaligus filosof, yang mengabdi kepada kebenaran, sangat sulit hadir dalam kenyataan. Dalam banyak kasus, kasus telah semakin identik dengan kesewenang-wenangan. Akibatnya, masyarakat yang pada mulanya terbiasa untuk taat akan gradual mempertanyakan keabsahan dri sebuah kekuasaan yang menyeleweng dan sewenang-wenang itu.
          Kedua, keadaan di atas melahirkan kesadaran masyarakat akan arti penting kekuasaan, seiring dengan kemajuan tingkat kesejahteraan mereka yang berimplikasi pada tingkat pendidikan dan peradaban masyarakat secara keseluruhan. Pada gilirannya terbentuklah kutub-kutub baru sebagai akibat dari semakin lemahnya ketergantungan ekonomi, sosial, dan peradaban masyarakat kepada kekuasaan formal. Apa yang lazim disebut sebagai civil society atau “masyarakat madani” merupakan produk dari kemajuan di bidang ekonomi, sosial dan peradaban itu, yang gerak langkahnya sudah cenderung berada di luar lingkaran pengaruh kekuasaan formal.
             Kenegarawanan penguasa dan tokoh masyarakat di luar kekuasaan merupakan kualitas yang cocok dan dibutuhkan bagi kehidupan pemerintahan yang baik. Di sini kenegarawanan harus dilihat sebagai himpunan dari kapasitas kepribadian, kecendikian, dan komitmen moral dari beberapa orang yang selalu menempatkan kepentingan bangsa dan negara sebagai acuan bagi setiap segi dari pengabdiannya di bidang sosial, politik, dan ekonomi.
          Di dalam konteks negara hukum itu, pemerintahan tidak lagi terbatas sebagai sebuah proses governing, tetapi sudah menjadi proses administering. Efektivitas pemerintahan tidak lagi tergantung semata-mata kepada kapasitas pribadi seorang penguasa, juga tidak kepada kemampuan para pemimpin untuk membangun konsensus-konsensus, tetapi lebih kepada sistem administrasi yang baku dan absah, di mana prosedur, persyaratan, dan aturan main untuk pengambilan keputusan di bidang pemerintahan sudah dengan sendirinya menjadi acuan oleh semua pihak: pemerintah dan masyarakat. Pengawasan atas tingkat ketaatan kepada konstitusi dan hukum sudah menjadi tanggung jawab bersama, karena keduanya memang merupakan milik bersama.
         

Berdasarkan ulasan singkat di atas, dapatlah disepakati adanya tiga paradigma pemerintahan yaitu:
          Pertama, pemerintahan sebagai a ruling process yang ditandai oleh ketergantungan pemerintahan dan masyarakat kepada kapasitas kepemimpinan mendominasi hampir seluruh interaksi kekuasaan. Kualitas pemerintahan tergantung mutlak pada kualitas si pemimpin. Kalau pemimpin pemerintahan adalah seorang yang baik, maka baiklah pemerintahan itu. Demikian pula sebaliknya. Seluruh pengambilan keputusan dalam proses pemerintahan ditentukan oleh, atau tidak boleh bertentangan dengan, keinginan pemimpin. Ia adalah pembawa kemakmuran dan kebahagiaan. Sebaliknya, ia juga dapat menjadi sumber dana.
          Dalam situasi ruling, pemimpin yang mendiktekan nilai-nilai, bahkan juga hukum yang diformulasikan secara pihak dan karena itu mengabdi kepada kepentingan kekuasaan. Artinya, pemimpin memiliki keleluasaan untuk tunduk kepada nilai-nilai dan hukum yang berlaku, atau melanggarnya jika tindakan itu dipandang lebih menguntungkan kekuasaannya. Seperti dikatakan oleh Machiavelli dalam the Prince, ketaatan kepada hukum  bagi seorang penguasa adalah perbuatan yang terpuji, tetapi jika hal itu diketahuinya secara pasti akan merugikan stabilitas dan kelanggengan itu diketahuinya secara pasti akan merugikan stabilitas dan kelanggengan kekuasaannya, maka ketaatan telah menjadi kebodohan yang harus dihindari. Dalam konteks historis, proses ruling ini terlihat baik dalam sistem kerjaan absolut (zaman kuno) maupun sistem dictatorial/authortitarian (zaman modern).
          Kedua, pemerintahan sebagai a governing process, yang ditandai oleh praktek pemerintahan yang berdasarkan pada konsensus-konsensus etis antara pemimpin dengan masyarakat. Pemerintahan dijalankan berdasarkan kesepaktan-kesepakatan yang terbentuk melalui diskusi dan diskursus (wacana) yang berlangsung dalam ruang publik (public sphere). Dalam proses ini, walaupun sistem hukum yang ada belum lengkap, kekurangan itu ditutupi oleh tradisi membuat konsensus tadi. Kedaulatan rakyat sebagai sebuah konsep dasar tentang kekuasaan telah menemukan bentuknya di sini.
          Ketiga, pemerintahan sebagai an administering process, yang ditandai oleh terbangunnya suatu sistem hukum yang kuat dankomprehensif, melalui mana seluruh interaksi kekuasaan dikendalikan oleh suatu sistem administrasi yang bekerja secara tertib dan teratur. Di dalam sistem ini, setiap konsensus yang dicapai akan tertuang ke dalam aturan-aturan hukum yang mengikat, dan setiap tindakan serta peristiwa pemerintahan dan kemasyarakatan terekam ke dalam suatu administrasi yang dapat sewaktu-waktu diacu dalam proses pengambilan keputusan. Kalau sistem ini sudah terbangun, masalah kepribadian pemimpin tidak lagi menjadi faktor determinan. Siapapun yang masuk ke dalam posisi kepemimpinan akan dipaksa oleh sistem yang berlaku untuk tunduk pada aturan main dan nilai-nilai yang sudah baku. Aparatur dan warga negara yang secara aktif menaati aturan-aturan hukum itu berperan sebagai pengawas atas kejujuran dan konsistensi proses kepemimpinan yang berlaku.
          Ketiga paradigma ini sekaligus merupakan tahapan-tahapan dalam pembangunan sebuah pemerintahan. Pemisah atas ketiga konsep ini hanya untuk menggambarkan bahwa nilai-nilai yang melekat dan meneyertai proses pemerintahan berubah berdasarkan dinamika masyarakat di mana pemerintahan itu mengambil tempat. Kalau kita menerima ketiga konsep itu sebagai nilai atau norma yang berdiri sendiri dan penghayatan atas masing-masing nilai itu bersifat bulat, maka pergeseran dari ruling ke governing ke administering seyogianya dilihat sebagai isyarat kemajuan. Dalam kenyataan, setiap pemerintahan memiliki karakter yang membaurkan lebih dari satu sifat dasar dari paradigma yang dikemukakan di atas. Perbedaan antara satu pemerintahan dengan yang secara dominan. Pergeseran dalam paradigma mana yang secara dominan mewarnai keberadaan mereka masing-masing. Pergeseran dalam paradigma itu, dalam kenyataan, juga tidak berlangsung secara linear dan positif. Suatu praktek pemerintahan yang semula sudah lebih dekat kepada proses governing bisa saja mundur kembali ke proses ruling. Contohnya yang paling konkrit bagi masyarakat modern adalah Jerman sebelum dan sesudah naiknya Hitler sebagai Kanselir.
          Jika dikaitkan dengan demokrasi, maka proses governing merupakan awal dari kelahiran pemerintahan yang demokratis, dan proses administering merupakan wujud  yang lebih menjamin kelangsungan pemerintahan yang demokratis itu.
          Konsep tentang paradigma itu bertolak dari asumsi bahwa penghayatan masyarakat tentang makna sebuah pemerintahan berkembang seiring dengan peningkatan kualitas peradaban yang mereka bangun. Jika pada suatu masa tertentu terbentuk kepercayaan yang luas bahwa proses goberning lebih baik daripada ruling,  dan administering lebih baik dari pada governing, maka ketiga konsep nilai dan norma itu bisa dianggap sebagai paradigma. Jadi, walaupun dalam kenyataan unsur-unsur dari dua atau tiga konsep itu dapat saja ditemukan bersama dalam sosok sebuah pemerintahan, tetap bisa diamati konsep dan nilai mana yang dominan. Keberadaan bersama itu seyogianya dilihat sebagai proses transisi yang sangat mungkin akan berlangsung lamban.
          Keberadaan tiga konsep itu sebagai paradigma bisa diragukan jika kita menganggap bahwa ketiganya selalu diterima secara luas sebagai kebenaran yang mutlak menyertai keberadaan sebuah pemerintahan. Dalam konteks ini, ketiganya tidak memenuhi syarat sebagai paradigma, tetapi lebih menampil sebagai spektrum pemerintahan.



Materi  PERKULIAHAN 11

Tugas

Tugas Membuat Makalah individual

Persyaratan:
·         Makalah diketik 1 ½ spasi, Times New Roman.
·         Makalah membahas sebuah studi kasus.
·         Makalah dilengkapi data data lapangan.
·         Tema makalah: bebas tapi isinya harus terkait dengan teori  SOSIOLOGI KEKUASAAN yang telah diperdalam dalam petemuan SEBELUMNYA
·         Tidak boleh sama dengan MAHASISWA lainnya ( apabila sama = nilai 0)
·         Dikumpulkan dalam waktu 1 minggu


MATERI KULIAH

12

Sistem Politik  Dan Lingkungan SOSIOLOGISNYA

Dalam kenyataan kita dapat menjumpai perbedaan-perbedaan esensial Sistem Politik di Indonesia dari periode yang satu ke periode yang lain, misalnya Sistem Politik Demokrasi-Liberal, Sistem Politik Demokrasi-Terpimpin dan Sistem Politik Demokrasi-Pancasila sedangkan falsafah negara tetap tidak berubah.

      Falsafah tidak banyak berpengaruh terhadap sistem politik, artinya juga tidak berpengaruh terhadap aktor (pelaku) politik, atau Belum ditemukan standar dan model Sistem Politik Indonesia yang sesuai dan menyangga (mendukung) cita-cita tadi. Jelasnya, Sistem Politik Indonesia masih dipertanyakan masih dicari model pokoknya, baik berlandaskan falsafah maupun berlandaskan kenyataan serta fenomena sosial Indonesia.

          Untuk memperlengkap rangkuman uraian tentang peristilahan Sistem Politik Indonesia ini dapat diambil analogi dari sistem pemasangan jaringan elektronika. Dalam bidang ini, bila dipergunakan prinsip “trial and error” tanpa keceramtan dan ketelitian yang dikehendaki sistem, akan terjadi sirkuit pintas yang dapat merusak seluruh sistem.

Bagaimanakah hubungan system politik dengan mekanisme negara dan kestabilan./ 
         
          Sebagaimana kita ketahui negara baru akan berjalan kakau kita memiliki kesepakan yang dihormati dan dilaksanakan. Ia erat hubungannya dengan stabilitas negara. Ada unsur lain yaitu kondisi struktur dan infrasruktur politiknya. Juga kedewasaan (maturity). Mengapa beberapa masyarakat politik tertentu berhasil sedangkan yang lain sama sekali tidak mampu menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapinya.

Adakah konsep yang sama di tiap negara.? . Ada beberapa kesamaan dan ada pula seslau perbedaannya. Hal itu karena unsur unsur atau sub system sebuah negara berbeda beda. Begitu pula tujuan tujuan yg ingin dicapai.


          Sebuah system politik merupakan suatu GUIDANCE negara, unsure negara, masyarakat dan tercermin dalam kebijakan yang diambil oleh lembaga negara. Aapablika ia dilanggar atau diingkari akan terjadi konflik dan bias menyebabkan instabilitas.

          Adalah sebuah sistem yang terbangun atas unsur-unsur internal di sebuah mansyarakat berupa lingkungan fisk, lingkungan sosial, bahkan kepercayaan dan keyakinan mereka lalu mereka menjadi semacam cara bernegara yang dilembagakan.

          Dalam perkembangannya sebuah sistem politik tidak berdiri sendiri dan tidak lepas dari pengaruh luar (external) baik itu lingkungan regional, internasional bahkan lingkungan “arus ideologi ideologi besar seperti globalisasi ekonomi, kebudayaan.



Materi  Perkuliahan

13

NEGARA DAN PEMERINTAHAN  SEBAGAI
SISTEM
          Kalau kita membahas tentang sistem pemerintahan, maka perhatian seyogianya diarahkan pada tiga komponen utamanya yaitu aturan main (konstitusi, hukum, etika), lembaga-lembaga (konstitusi, hukum, etika), lembaga-lembaga (yang berwenang melaksanakan aturan main),d an pelaku (khususnya pemimpin-pemimpin yang bertanggungjawab atas pelaksanaan kewenangan-kewenangan yang melekat pada lembaga-lembaga).

Suatu sistem pada tingkat pertama memerlukan aturan main tentang proses dan prosedur pengambilan keputusan yang disepakati. Sekali aturan main ditetapkan, semua pihak harus tunduk kepadanya, senang atau tidak senang. Sebagai konsekuensi dari adanya aturan main yang disepakati, diterima, dan harus ditaati itu, diperlukan lembaga-lembaga yang memiliki otoritas yang cukup untuk melaksanakan aturan main tadi, serta mengawasi perilaku dari pihak-pihak yang dirujuk oleh aturan itu untuk mematuhinya. Jadi, lembaga-lembaga yang dan dibangun untuk melaksanakan, mengawasi, dan bahkan menindak mereka yang tidak mematuhi sesuatu aturan main itulah yang memberi makna pada keberadaan sesuatu aturan.
Selanjutnya, aturan main dan lembaga itu memerlukan orang-orang yang akan berperan sebagai pelaku dan penanggungjawab atas bekerjanya suatu sistem yang terbangun melalui aturan main dan lembaga-lembaga. Bukanlah aturan dan lembaga akan tetap tidak berdaya tanpa orang-orang yang diberi kewenangan sebagai pelaksana? Ringkasnya, suatu sistem akan dapat bekerja secara efektif jika ia didasarkan pada seperangkat aturan main yang disepakati dan diterima, memiliki lembaga-lembaga pendukung yang berwenang melaksanakan aturan main itu, serta pelaku-pelaku (dengan penekanan khusus pada kepemimpinan) yang setia melaksanakan kewenangan yang dilekatkan pada lembaga-lembaga di mana ia mengabdi.
          Dalam hubungan-hubungan kekuasaan, konsep tentang sistem politik, atau lebih khusus lagi sistem pemerintahan, sudah diperkenalkan sejak lama. Pemerintahan selalu dilihat sebagai perpaduan antara aturan main, lembaga-lembaga yang berwenang mengelola serangkaian kekuasaan (eksekutif, legislatif dan judikatif), serta sejumlah birokrat dan pejabat politik sebagai pelaku dari, dan penanggung jawab atas pelaksanaan kewenangan-kewenangan itu.
          Dipandang dari sudut aturan main, pemerintahan memiliki tiga acuan pokok yaitu konstitusi, hukum, dan etika. Masyarakat pun terikat pada tiga acuan ini. Bagi pemerintah, acuan-acuan itu bukan sekedar terkait dengan tingkah laku aparatnya atau sebagai pedoman untuk pembuatan dan pelaksanaan kebijakan, tetapi juga mengawasi apakah masyarakat senantiasa menaatinya. Bagi masyarakat ketaatan pad acuan itu akan terlihat dari pelaksanaan hak dan kewajiban mereka sebagai warga negara. Kebebasan masyarakat untuk melaksanakan berbagai hak dan kewajibannya, dibatasi oleh tiga acuan ini. Pada saat yang sama, mereka juga berhak menilai tingkat ketaatan pemerintahan kepada tiga acuan itu pemerintahan sebagai rangkaian dari lembaga-lembaga memiliki banyak komponen organisasi dengan berbagai kewenangan yang satu sama lain berbeda namun saling berhubungan. Diantara tiga cabang kekuasaan pemerintahan yang ada, kekuasaan pemerintahan yang ada, kekuasaan eksekutif memiliki paling banyak lembaga-lembaga.
          Tiga karakter dasar dari sistem (consistency), transparency, dan certainty) hanya dapat diamati melalui cara kerja dari sistem atau sub-sistem yang menjadi obyek perhatian kita. Barangkali subsistem kepemimpinan pemerintahan di daerah dapat dilihat sebagai ilustrasi yang menarik tentang realitas sistem pemerintahan Indonesia. Yang realitas sistem pemerintahan Indonesia. Dari sudut rekrutmen, masa pengabdian, dan promosi, misalnya, maka konsistensi antara aturan main dengan lembaga yang berwenang dan kualitas pribadi yang dipersyaratkan seyoggianya terpelihara secara baku.
            Contoh lain yang lebih gamblang tentang subsistem kepemimpinan pemerintahan yang bekerja dengan baik, bisa diamati melalui pola rekruitmen Perdana Menteri dalam sistem politik parlementer yang dipraktekkan di Jepang, Inggris, dan Malaysia. Di sana, seorang pemimpin partai yang menang dalam pemilihan umum, atau seorang pemimpin koalisi mayoritas dalam parlemen, akan secara otomatis menjabat sebagai perdana Menteri. Dalam kasus ini, konsistensi, transparansi, dan kepastian sudah menyatu.
          Di tiga negara itu telah terbangun suatu tradisi politik bahwa kompetisi untuk kepemimpinan pemerintahan berlangsung di dua medan laga. Pertama, kongres partai dimana seleksi kepemimpinan secara individual mengambil tempat. Seseorang harus memenangkan proses seleksi kepemimpinan partai sebelum ia membangun harapan untuk memimpin pemerintahan. Kedua, pemilihan umum yang menghadapkan satu partai yang lain di dalam kontestasi merebut kepercayaan dan dukungan rakyat. Pemimpin tertinggi dari partai yang menang dalam suatu pemilihan umum akan secara otomatis memperoleh kesempatan membentuk dan memimpin pemerintahan. Kalau pemilihan umum tidak menghasilkan satu partai mayoritas yang berhak membentuk pemerintahan, maka peluang untuk membentuk koalisi partai-partai adalah jalan keluar umum. Secara etis, tetap saja pemimpin partai terbesar dalam koalisi partai-partai adalah jalan keluar yang umum. Secara etis, tetap saja memperoleh kesempatan memimpin pemerintahan. Rule yang seperti ini sudah diketahui oleh semua warga masyarakat politik di negara-negara yang disebutkan di atas (transparency).


[1] Martin Albrow. Ibid. Halaman 38.
[2] idem
[3] idem
[4] idem
Teruskan baca - SILABUS PERKULIAHAN SOSIOLOGI POLITIK

Pengertian Sosiologi Politik


Terdapat beberapa definisi tentang sosiologi yang dikemukakan oleh berbagai tokoh sosiologi. Benang merahnya adalah bahwa sosiologi pada dasarnya memusatkan perhatiannya pada masyarakat dan individu, karena menurut sosiologi, masyarakat sebagai tempat interaksi tindakan-tindakan individu di mana tindakan tersebut dapat mempengaruhi masyarakat. Sosiologi juga memahami tentang lembaga sosial dan kelompok sosial yang merupakan bagian dari masyarakat sebagai unit analisis sosiologi. Selain itu sosiologi juga mempelajari tentang tatanan sosial serta perubahan sosial.

Politik berkaitan pelaksanaan kegiatan dan sistem politik untuk tercapainya tujuan bersama yang telah ditetapkan, dalam hal ini adanya penggunaan kekuasaan agar tujuan tersebut dapat terlaksana. Perlu untuk dipahami bahwa tujuan yang telah ditentukan tersebut merupakan tujuan publik dan bukannya tujuan individu. Sedangkan sosiologi politik dasarnya berhubungan dengan penggunaan kekuasaan dan wewenang dalam pelaksanaan kegiatan sistem politik, yang banyak dipengaruhi oleh berbagai faktor sosial budaya.

Sumbangan Pemikiran Teori Klasik pada Sosiologi Politik
Dari beberapa tokoh teori klasik sosiologi ada beberapa tokoh yang dianggap banyak memberikan kontribusi dalam hal teori yang sampai sekarangpun masih digunakan sebagai dasar berpikir dalam menjelaskan sosiologi politik. Tokoh tersebut antara lain adalah Karl Marx, Max Weber dan Emile Durkheim. Ketiganya dapat dianggap sebagai tokoh yang utama dalam teori klasik.

Meskipun ketiganya tidak secara jelas menjelaskan tentang sosiologi politik tetapi teori-teori dan konsep-konsep mereka tersebut dapat memberikan suatu pemahaman yang mendalam tentang sosiologi politik dengan berdasarkan teori sosiologi klasik.
Persamaan ketiga tokoh tersebut dalam menjelaskan teorinya adalah:
a.      Memberikan analisis secara makro
b.      Penjelasan bersifat komparasi sejarah
c.       Mengemukakan adanya perubahan sosial
d.      Teorinya dapat diterapkan di semua tipe masyarakat
e.       
Setiap tokoh mempunyai pendekatan dan konsep yang berbeda dalam memberikan kontribusi dalam sosiologi politik. Marx dengan pendekatan materialisme historis dengan konsep tentang kelas, eksploitasi, alinasi, negara serta ideologi. Pendekatan Weber adalah analisis tipe ideal dan sosiologi intepretatif, dengan konsep rasionalisasi, otoritas, kelompok status serta partai politik. Sedangkan pendekatan Durkheim adalah fungsionalisme sosiologis melalui konsepnya solidaritas sosial, anomie dan kesadaran kolektif. Konsep kekerabatan, agama, ekonomi, stratifikasi dan sistem nilai dan kepercayaan bersama merupakan faktor-faktor sosial budaya yang banyak memberikan pengaruh pada pelaksanaan sistem politik, di mana masing-masing tokoh akan mengemukakan hipotesisnya dalam pelaksanaan kegiatan politik.

Faktor-faktor Berpengaruh Terhadap Sikap Perilaku Politik Individu
Keluarga
Dari urain di atas nampak bahwa peranan kehidupan keluarga dalam mendorong partisipasi politik seseorang cukup signifikan. Setidaknya dalam keluarga yang memiliki minat politik yang tinggi, cenderung homogen dalam pilihan politik, ditambah dengan tingkat kohesi keluarganya yang cukup tinggi, kecenderungan seorang anak untuk berpartisipasi dalam politik sebagaimana kehidupan politik keluargannya relatif tinggi.
Aspek-aspek kehidupan keluarga yang secara langsung maupun tidak langsung dapat mempengaruhi partisipasi politik seorang anak, diantaranya karena:
a.       Tingkat daya tarik keluarga bagi seorang anak
b.       Tingkat kesamaan pilihan (preferensi) politik orang tua
c.        Tingkat keutuhan (cohesiveness) keluarga
d.       Tingkat minat orang tua terhadap politik
e.      Proses sosialisasi politik keluarga


Agama dan Ekonomi
Selain keluarga faktor yang mempengaruhi perilaku politik individu adalah agama yang dianutnya. Dalam kenyataan pendidikan anak dalam keluarga antara lain mengajarkan tentang otoritas, yaitu otoritas orang tua. Otoritas ini merupakan perpaduan antara otoritas politik dan agama. Sementara organisasi keagamaan di luar rumah pada kenyataannya juga mensosialisasikan ajaran yang mengandung pendidikan politik. Dengan demikian agama yang memuat nilai-nilai dan ajaran-ajaran juga dapat mendorong individu untuk berpartisipasi dalam kegiatan politik.

Selain itu secara ekonomi melalui partisipasi dalam serikat-serikat pekerja juga dapat mendorong individu untuk ikut serta dalam kegiatan politik. Organisasi pekerja merupakan ajang kampanye dan mobilisasi massa untuk dapat ikut berpolitik.

Stratifikasi serta Sistem Nilai dan Kepercayaan
Perbedaan kelas sosial dalam suatu masyarakat akan berpengaruh pada perbedaan keyakinan dan pola perilaku individu di berbagai bidang kehidupan, termasuk kehidupan politik. Perbedaan kelas akan tercermin pada praktik sosialisasi, aktivitas budaya, dan pengalaman sosialnya. Tingkat partisipasi individu dalam voting dilukiskan dipengaruhi oleh tingkat pendidikan, pendapatan, ras, jenis kelamin, umur, tempat tinggal, situasi, dan status individu tersebut.

Perilaku politik individu juga dipengaruhi oleh sistem nilai dan kepercayaan yang dianut oleh masyarakat dimana individu tersebut tinggal. Pada masyarakat Indonesia dijumpai sistem nilai dalam bermusyawarah. Sementara itu di Amerika Serikat sistem sekolah dianggap sebagai agen sosialisasi politik.

Pengertian Sosialisasi Politik
Terdapat berbagai macam definisi untuk mengartikan pengertian sosialisasi politik. Secara singkat dapat dikatakan bahwa sosialisasi politik adalah proses internalisasi nilai, pengenalan dan pemahaman, pemeliharaan dan penciptaan, serta proses eksternalisasi nilai-nilai dan pedoman politik dari individu/kelompok ke individu/kelompok yang lain. Sosialisasi politik ini dapat dilakukan secara langsung dan tidak langsung.

Agen-agen Sosialisasi Politik
Dalam suatu proses sosialisasi nilai dan perilaku politik diperlukan agen-agen sosialisasi yang merupakan pihak yang melakukan transfer nilai. Agen pertama adalah keluarga dimana individu menerima warisan nilai-nilai pada tahap awal dalam hidupnya. Sosialisasi ini dapat terjadi secara represi atau partisipatoris. Sekolah juga merupakan agen sosialisasi politik sebab sekolah menjalankan fungsi transformasi ilmu pengetahuan, nilai dan sikap yang di dalamnya juga termasuk ilmu, nilai, dan sikap politik. Sosialisasi politik juga dapat melalui teman sebaya (peer group) yang sifatnya informal. Agen sosialisasi terakhir adalah media, dimana berita yang dilihat atau dibaca setiap hari merupakan sosialisasi yang efektif.

Pengertian Partisipasi Politik
Bertitik tolak dari beberapa definisi di atas, maka partisipasi politik secara umum bisa dikatakan merupakan kegiatan seseorang atau sekelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik, dengan jalan memilih pemimpin negara dan secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi kebijakannya.

Di sisi lain, partisipasi politik pun diarahkan untuk memperkuat sistem politik yang ada. Dalam tataran ini partisipasi politik dipandang sebagai bentuk legitimasi dari sistem politik yang bersangkutan. Atau dengan kata lain partisipasi politik menjadi salah satu indikator signifikan atas dukungan rakyat baik terhadap pemimpinnya, kebijakan-kebijakan yang diambil oleh pemimpinnya maupun bagi sistem politik yang diterapkannya.


Bentuk dan Model Partisipasi Politik
Partisipasi pada dasarnya merupakan kegiatan warga negara dalam rangka ikut serta menentukan berbagai macam kepentingan hidupnya dalam ruang lingkup dan konteks masyarakat atau negara itu sendiri. Karena itu partisipasi itu sendiri bisa beragam bentuk kegiatannya. Bagaimana pun, ekspresi orang dalam mengemukakan atau dalam merespon berbagai macam permasalahan dan kepentingan politiknya, satu sama lain akan berbeda-beda. Uraian di atas memperlihatkan bahwa partisipasi politik sebagai suatu bentuk kegiatan atau aktivitas dapat dilihat dari beberapa sisi. Ia bisa dilihat sebagai bentuk kegiatan yang secara sadar maupun tidak sadar atau dimobilisasi. Ia bisa dilakukan secara bersama-sama ataupun sendiri. Kemudian dapat pula dilakukan langsung ataupun tidak langsung, melembaga ataupun tidak melembaga sifatnya, dan seterusnya.

Faktor-faktor yang mempengaruhi tinggi rendahnya partisipasi politik seseorang adalah berdasarkan tinggi rendahnya dan kombinasi kedua faktor tersebut menghasilkan model partisipasi politik.

Sumber Buku Sosiologi Politik Karya Arie Soesilo
Teruskan baca - Pengertian Sosiologi Politik