Selasa, 22 Desember 2009

NEGERI TERTINDAS


Oleh Herman Oesman

Negeri ini, tengah mengumpulkan sisa-sisa kebanggaan masa lalunya. Mencoba berdiri sambil membingkai kepingan mozaik yang hampir pupus warnanya. Aneh, kepingan mozaik itu dibingkai justeru tidak tepat. Sejarah kita sebagai negeri yang memeluk otonomi semakin centang perenang. Dan, di samping itu, ada dua kutub yang saling berlawanan.

Titik kutub pertama, ditindih oleh ketidak-mampuan mengakses kesempatan, karena memang sistem tidak berpaling pada kutub ini. Sementara pada kutub kedua, kutub yang lain, memiliki kemampuan lebih besar dalam mengakses kesempatan, karena memang sistem tengah digenggam. Jadilah otonomi daerah bagai kesempatan emas untuk menelikung apa saja bagi mereka yang memiliki kesempatan dan kekuasaan.

Lihatlah, sementara kita tengah menampung keluhan mereka yang tengah babak-belur akibat penderitaan. Justeru masih ada sebagian orang yang menikmati keluhan dan penderitaan itu dengan menjadikannya obyek sambil mengabainya. Negeri ini, sepertinya tak lagi memiliki sedikit empati akan rasa penderitaan yang terjadi.

Negeri ini tak lagi memiliki “pakem” humanitas expleta et eloquens, kemanusiaan yang penuh dan sanggup mengungkapkan diri. (Wendelin Rauch, humanismus, 1952).

Gaya hidup yang membalikkan logika kesadaran masyarakat kini tengah bergerak serentak. Demikian halnya dengan titik imbang pembangunan yang harus dijaga agar tidak berat sebelah, seakan-akan menjadi kata-kata sakti di atas konsep. Proses pembohongan demi pembohongan begitu mudah hadir dalam wilayah wacana publik.

Kita justeru tengah bergelut dengan sesuatu yang tak pasti. Lalu berderet pertanyaan kian kencang menghantam bilik akal sehat dan nurani kita. Untuk apa pembangunan? Ada apa dengan otonomi daerah? Mengapa suburnya kolusi, korupsi dan monopoli?

Kita tak tahu pasti bagaimana wajah negeri ini ke depan. Kita bukanlah Michel de Nostradamus, sebagaimana digambarkan dalam film The Man Who Saw Tomorrow (The Prophecies Nostradamus) yang kemampuan ramalannya terhadap arah suatu negeri tak diragukan. Kita saling bertatap muka dengan kebodohan masing-masing.

Kita sedang larut dalam kepedihan yang ada, tapi sedikit pun tak ada kekuatan untuk melawan kebodohan dan kepedihan itu. Kita tandas dalam kekakuan. Kita seolah menjalani “hidup” apa adanya. Tanpa dikaji. Tanpa makna. Tanpa arah. Dan negeri ini bagai penjara untuk mereka yang dipinggirkan. Di mana setiap senti waktu adalah ruang untuk menumpahkan “ideologi” amarah dan rasa gusar yang tertekan. Di sisi lain, negeri ini menjadi sorga untuk mereka yang tak memiliki idiom moralitas dalam meraup dan menguras apa saja.

Termasuk secara absah merawat kepedihan yang ada, agar praktek tipu-menipu dapat berjalan lancar. Semua itu bermain di sekitar kita. Di depan mata kita. Acap kali pembicaraan dan diskusi kita selalu bermuara pada persoalan eksistensialis, ontologis dan epistemologis seperti ini : ”Mau kemana negeri ini dibawa?” Kita pun kembali terdiam. Ternyata, masa depan negeri ini telah menjadi keprihatinan bersama. Aksioma yang tepat dipakai, masa depan negeri ini telah menjadi pikiran semua orang.

Hari ini, tanpa ditolak, kita tengah memutar mesin sejarah. Menghadirkannya di negeri berwajah penuh misteri, kusam dan involutif. Yah, sebuah lagu kesedihan tengah kita nyanyikan. Kompak dan bersama-sama. Akankah sejarah itu menjadi kebanggaan anak cucu kelak? Ataukah, sejarah itu menjadi legitimasi anak cucu untuk menggugat rasa bangga selama ini?

Saatnya, memikirkan kembali negeri ini, dengan merubah kata-kata sakti : sejahtera, maju, mandiri, bermartabat, berperadaban dan lain-lain dari sekadar pemanis bibir menjadi kerja-kerja serius mulai saat ini, bukan nanti. Dari cita-cita dan mimpi besar, menjadi harapan untuk dibuktikan bagi generasi mendatang.

Terlalu lama negeri ini terpuruk dalam kubangan ketidak-berdayaan, hanya karena ketololan dan ketidak-pahaman kita akan potensi yang kita miliki. Haruskah dalam ketololan itu kita tampil angkuh dan arogan? Mungkin kita butuh sedikit keberanian untuk menolak yang tolol dan berlagak pintar, atau sedikit legitimasi untuk menggugat berbagai konsep-konsep yang tidak jelas yang hanya membawa arah negeri ini pada kubangan yang lebih dalam.

Harapan masih ada dalam genggaman. Jangan kita lepaskan. Negeri ini harus berani keluar dari berbagai ikatan-ikatan yang membelenggu. Bagaimana nasib negeri ini 5, 10 atau sekian puluh tahun ke depan, sangat ditentukan sikap dan langkah tegas hari ini. Berbagai kegagalan yang telah terjadi akibat salah urus, harus segera diakhiri. []

Notes : Catatan Akhir Tahun untuk Elit se-Maluku Utara