Sabtu, 19 September 2009

Berikan Lebih Banyak Lagi Senyuman Bagi Masyarakat Miskin



Serpong – Tak seperti biasanya, siang itu suasana kantor Koperasi Jasa Keuangan Syariah (KJKS) Ibu Mandiri tampak sepi. Gerbang dan pintu kantor sudah mulai tertutup rapat. Tak ada aktifitas dan kesibukan yang begitu mencolok. Padahal aktifitas saban harinya begitu ramai bahkan berlansung hingga jelang magrib tiba.Ada apa rupanya?

Salah seorang staf KJKS yang tidak mau disebutkan namanya mengatakan bahwa, hari itu, Selasa (7/09) akan diadakan buka puasa bersama yang akan diikuti seluruh staf dan keluarga besar Zulkieflimansyah. Untuk itulah, segala aktifitas dan transaksi keuangan di KJKS sengaja ditutup agak lebih awal. Buka bersama itu berlangsung di Rumah Makan Pondok rizki daerah Kademangan, Serpong.

Sore itu, suasana Rumah Makan Pondok Rizki begitu ramai. Hiruk pikuk pengunjung begitu terasa. Di sudut-sudut Rumah makan tampak sejumlah pria dewasa yang asyik mancing dan sejumlah anak kecil yang asyik bermain. Cuaca cerah dengan semilir angin yang sejuk semakin menambah akrab suasana tempat itu.

Di salah satu pojok areal Pondok Makan Rizki, tampak serombongan staf KJKS Ibu Mandiri yang sibuk mempersiapkan acara. Acara berlangsung cukup sederhana, santai tapi serius. Para staf dan keluarga besar Zulkiefliamsnyah begitu antusias mengikuti rentetan acara dari awal sampai akhir. Silih berganti sambutan dan taujih nyaris tak ada yang terlewati, diikuti secara seksama para hadirin.

Bang zul selaku pendiri KJKS dalam tausiahnya menegaskan pentingnya peran KJKS Ibu Mandiri untuk masa yang akan datang. Dalam suasa bangsa yang pemulihan ekonominya masih tertatih-tatih, KJKS diharapkan mampu memberikan secercah harapan bagi masyarakat yang lebih luas, utamanya kalangan menengah ke bawah untuk mendapatkan akses terhadap modal.

“Ke depan peran KJKS Ibu Mandiri harus lebih progresif guna memberikan senyuman yang lebih banyak lagi kepada masyarakat kecil. Ciptakan semakin banyak senyuman di wajah-wajah mereka,” katanya Doktor lulusan Inggris ini penuh semangat.

Menurut Bang Zul salah satu uapaya yang bisa dilakukan untuk meningkatkan peran KJKS adalah dengan cara menambah etos kerja yang tanpa menyerah. Bahkan, segala sesuatu yang berkaitan dengan pekerjaan harus betul-betul dinikmati tanpa ada unsur paksaan apapun.

“Jika pekerjaan sudah menjadi bagian terpenting dalam hidup kita, maka kerja di hari libur pun akan begitu nikmat. Untuk itulah, sangat penting untuk mencintai semua pekerjaan kita,” tukasnya.

Pria murah senyum ini juga menginginkan, dalam usianya yang sudah cukup matang, kehadiran KJKS di tengah masyarakat semakin dirasakan. Oleh sebab itu, untuk masa yang akan datang, KJKS bukan saja hanya tersebar di seluruh kawasan Tangerang, melainkan juga harus tersebar luas di wilayah Banteng lainnya yang mencakup Lebak, Pandeglang, Serang dan Cilegon.

Untuk Serang dan Cilegon, sejak awal 2009 sudah dibuka kantor kas atau semacam agen KJKS Ibu Mandiri untuk memberikan bantuan permodalan kepada masyarakat. Meski hanya terbilang beberapa bulan, namun kehadiran perwakilan KJKS itu sangatlah nyata.

Rohmat selaku perwakilan KJKS di Serang mengaku, sejak kehadiran KJKS Ibu Mandiri di Serang, manfaat buat masyarakat mulai dirasakan. “Sejak hari pertama KJKS ada di Serang, banyak ibu-ibu yang antusias meminjam modal pada kita,” tutur ketua DPC Binuang itu.

Senada Bang Zul, Direktur Eksekutif KJKS Ibu Mandiri Niken Saptarini menegaskan hal yang sama. Team work dan soliditas tim merupakan sesuatu yang niscaya guna membangun KJKS Ibu Mandiri yang lebih besar. Tanpa adanya tim yang solid, mustahil kerja maksimal bakal tercapai.

Master lulusan Universitas Indonesia itu juga menegaskan pentingnya ukhuwah Islamiyah antar sesama persoanalia di KJKS dengan menjadikan ramadhan sebagai momentumya. “Buka bersama ini semoga menjadi momentum untuk mempererat tali persaudaraan kita yang dapat memupuk motivasi semangat kerja ke depan,” tutur wanita berperawakan kalem ini menambahkan.

Jika dilihat sekilas, memang tak ada yang spesial dalam buka bersama itu. Namun jika diperhatikan secara seksama, buka bersama ini menjadi momentum sangat spesial karena ada komitmen bersama untuk membangun peran KJKS Ibu Mandiri yang lebih luas dengan target utama pemberdayaan masyarakat lemah untuk diberdayakan. Semoga!
Teruskan baca - Berikan Lebih Banyak Lagi Senyuman Bagi Masyarakat Miskin

Ketimpangan Demokrasi Kita



Pesta demokrasi tahap pertama, pemilu legislatif, telah usai. Komisi penyelenggara dan badan pengawas pemilu disibukkan dengan beberapa tugas dan persoalan yang belum terselesaikan. Bak gayung bersambut, politik nasional pun beranjak pada wacana seputar koalisi menghadapi pemilu presiden, 8 Juli 2009. Namun, ada hal yang luput dari perhatian, yakni evaluasi nonteknis berkenaan dengan kualitas yang mengetengahkan demokrasi sebagai sistem beserta nilai-nilai substansial yang terkandung dan dituju dari sistem tersebut.

Secara prosedural, mekanisme demokrasi lewat pemilu telah kesekian kali diselenggarakan. Namun secara substansial masih menjadi pergulatan yang sampai sekarang terus diupayakan. Irama apologetik yang sering diutarakan adalah bahwa untuk mencapai tujuan tidaklah mudah, butuh pengorbanan dengan proses yang cukup panjang. Tentunya, ini bukanlah alasan mendasar karena pencapaian suatu tujuan tergantung pada upaya yang dilakukan.

Selama ini, perhatian terhadap demokrasi banyak diarahkan pada wilayah permukaan seperti mekanisme pemilu demi lahirnya pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Sementara struktur dalam (deep structure) demokrasi menyangkut nilai-nilai di mana masyarakat mampu berpartisipasi secara sadar dalam bingkai kebangsaan dan kenegaraan jarang mendapat perhatian. Akibatnya, pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat beralih ke pemerintahan oleh dan untuk penguasa saja.

Terdapat hubungan asimitris antara sistem dengan kultur masyarakat sehingga penerapan demokrasi terkesan dipaksakan. Apalagi perilaku elit politik memberikan citra negatif seolah demokrasi sebatas kebebasan mencapai kekuasaan dengan mengesampingkan nilai-nilai etika dan estetika. Sehingga asumsi yang timbul saat pesta demokrasi adalah pesta sungguhan layaknya pesta penuh hidangan euphoria lainnya. Maka amat wajar bila masyarakat antusias menyambut pemilu karena semua elit politik berlomba-lomba berbuat “baik” dengan berbagi sembako, duit, sumbangan dan sebagainya.

Perjuangan Kultural
Ketimpangan antara sistem dan kultur masyarakat sangat potensial bagi terjadinya destruksi yang merusak tatanan negara demokratis. Kondisi demikian bisa dimanfaatkan oleh beberapa elit tertentu melalui kekuatan modal (money politic) atau dengan cara melekatkan stigma politiknya pada komunalisme, seperti agama dan ikatan primordial lainnya. Meski untuk yang terakhir tidak terlalu kentara, masyarakat jelas akan menjadi korban permainan elit politik yang jauh dari cita-cita ideal demokrasi.

Oleh karena itu, sebagaimana diungkapkan Francis Fukuyama, harus ada hubungan simbiosis mutual antara sistem dengan budaya masyarakat sebagai nilai kultural demokrasi. Selama masyarakat hidup dalam budaya arsitokrasi atau feodalisme, hampir dipastikan demokrasi akan berjalan tidak efektif, tanpa terkendali. Sebab, demokrasi meniscayakan partisipasi penuh sehingga kualitasnya bergantung pada kualitas modal sosial yang ada di dalamnya. Demikian pula kualitas seorang pemimpin yang bergantung pada kualitas pemilih, bukan pada suara mayoritas.

Karena suatu sistem erat kaitannya dengan budaya masyarakat, maka satu-satunya jalan menyelamatkan kualitas demokrasi adalah melalui perjuangan kultural. Yaitu, perjuangan yang termanifestasi dalam gerakan moral yang mengarahkan masyarakat ke arah nilai sesuai dengan substansi dan tujuan demokrasi. Tentu semuanya harus beroperasi dalam bingkai kebangsaan dan kenegaraan sebagaimana termuat dalam Pancasila.

Perjuangan kultural berbeda dengan perjuangan politik yang bersifat struktural. Jika perjuangan politik-struktural selalu dikaitkan dengan konsep, ide bahkan jabatan, akuisisi kekuasaan (acquisition of power), dan bagi-bagi kue kekuasaan (sharing of power), perjuangan kultural lebih kepada perberdayaan politik (political empowerment) yang menempatkan posisinya sebagai kekuatan kontrol atas proses demokratisasi yang datang dari kelompok civil society dan berperan dalam mencerdaskan dan memberdayakan masyarakat.

Hal itu bisa dilakukan oleh LSM, organsiasi masyarakat, media dan lain sebagainya. Hanya saja, yang hingga kini masih jadi persoalan adalah efektifitas dari kekuatan demokrasi tersebut ketika dihadapkan pada persoalan capital sebagai tulang punggung organisasi. Bila tidak segera dibenahi, persoalan capital dapat melibas independensi atau menggembos eksistensi organisasi sehingga ikhtiar untuk membuat rakyat mampu berpartisipasi serta melaksanakan hak dan kewajiban konstitusional terhambat sama sekali.

Check and Balance
Penguatan peran dan fungsi kultural oleh kalangan sipil diharapkan dapat mengimbangi realitas puncak politik kekuasaan. Dengan demikian mekanisme pengawasan dan pengimbangan bisa terus dilakukan sesuai harapan. Tanpa itu, laju kekuasaan akan selalu mengambil jarak dengan kehendak bersama dan dinamika demokrasi pun akan diwarnai oleh –meminjam istilah Alexis de Tocqueville- “tirani mayoritas”. Sebuah kecenderungan dalam sistem demokrasi untuk melegitimasi kekuasaan dengan memanfaatkan anggapan bahwa “suara rakyat, suara Tuhan”.

Padahal, istilah mayoritas perlu ditelusuri lebih jauh dengan cara mengaitkannya dengan kualitas, baik kualitas pemilih maupun langkah kebijakan yang diambil oleh penguasa. Apalagi dalam sistem demokrasi berlaku adagium “saya memang tidak setuju dengan pendapat Anda, tetapi hak Anda mengajukan pendapat saya bela sepenuhnya”. Artinya, setiap sesuatu yang disandarkan pada ukuran mayoritas tidak sepenuhnya baik untuk kepentingan bersama maupun bagi kualitas demokrasi itu sendiri.

Pada tahap itulah diperlukan peran nyata dari perjuangan kultural dengan mengarahkan masyarakat agar tidak terjebak dalam kesadaran palsu (false of consciousness), terbuai janji manis kaum elit, rayuan dengan iming-iming duit, dan sebagainya. Pengarahan ini dilakukan tidak lain adalah untuk menggapai hukum perubahan yang teratur (orderly change), direncanakan sesuai tujuan bersama. Perubahan yang mengambil bentuk pergerakan buttom up sehingga benar-benar merepresentasikan suara Tuhan.

Akhirnya, Pemilu legislatif 2009 memberikan pelajaran nyata bagi setiap insan demokrasi untuk kembali memperkuat peranan kultural di tengah puncak pragmatisme politik. Sebuah peran sebagai “polisi demokrasi” yang merupakan conditio sin quo noon dari dinamika politik yang timpang.
Teruskan baca - Ketimpangan Demokrasi Kita

TIDAK ADA YANG KALAH


Adagium seperti ; siapa memperoleh apa kapan dan bagaimana, tidak ada teman sejati yang ada hanyalah kepentingan abadi dalam dunia politik telah menjelma menjadi prinsip hidup dalam percaturan politik. Istilah tersebut tidaklah salah. Namun mengutamakan kepentingan pribadi dan kelompok diatas kepentingan umum adalah kesalahn besar. Kesalahan besar tersebut bukan saja menzalimi hak masyarakat saat itu, namun hal tersebut akan terseubjektifikasi menjadi hal wajar bagi generasi berikutnya khususnya, yang terjun dalam dunia politik dan merupakan pendidikan politik “buruk” bagi masyarakat.

Bukankah salah satu fungsi partai politik sebagai kendaraan para politisi itu adalah pendidikan politik pada masyarakat? Lantas apa yang lebih indah dan lebih bermanfaat selain bicara dan berpihak secara kongrit pada masyarakat? Uangkah? Atau…….? Anda yang lebih paham tentang diri anda
Tulisan ini bukan bermaksud mengulas dua istilah diatas, namun konflik pertarungan politik antara dua kandidat dalam pesta demokrasi, menimbulkan pertanyaan besar apa yang dicari?

''Katakanlah, 'Wahai Tuhan yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang-orang yang Engkau kehendaki dan engkau hinakan siapa yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Mahakuasa atas segala sesuatu'.'' (Ali 'Imran: 26). Apa yang dikehendaki Allah SWT jadi dan apa yang tidak dikehendaki Allah tidak akan jadi. Manusia bisa merencanakan tetapi Allah jua yang menentukan.

Silih bergantinya siang dan malam, kemenangan dan kekalahan, dan terjadinya perubahan menunjukkan kuasa Allah Sang Pencipta dan Pengatur Alam Semesta serta keterbatasan kita sebagai manusia. Firman Allah SWT, ''Sesungguhnya keadaan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya, 'Jadilah!' maka terjadilah.'' (Yaa Siin: 82).

Memang, kita bisa memahami bahwa Kekalahan adalah sesuatu yang paling tidak disukai banyak orang dan sulit untuk bisa diterima. Namun bukankah sebelum bertanding kita telah siap segalanya? siap menerima kekalahan dan siap membantu yang menang dalam kontek perjuangan untuk rakyat. Kalaupun tidak terlibat secara struktur bukankah juga bisa dengan cultural “ mencintai tidak selamanya memuji; mengkritik adalah bagian dari mencintai”. Dan memosisikan diri sebagai pengkritik adalah satu diantara cara bijak. Namun ingat..! mengritik yang tidak disertai dengan solusi adalah menghujat.

karena itu, memahami kekalahan dengan jiwa besar, berpikir positif dan bijak dalam menghadapinya. Sesungguhnya anda telah memenangkan peperangan. Memenangkan peperangan dalam seratus pertempuran belum menunjukan kemenangan sesungguhnya. kemenangan sesungguhnya adalah sejauh mana anda merubahnya menjadi energi positif, memanusikan manusia, serta turut terlibat dalam substansi manifestasi terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Dengan hal semacam itu anda akan selamanya dikenang sebagai pemimpin yang baik dan bijaksana.

Itulah hakikat berfastabiqulkhairat; (berlomba-lomba dalam kebajikan) karenya jika kita hanya silau pada kesenangan dan kenikmatan dunia, yang kita jumpai hal yang tidak pasti, semu, utopis, bahkan menyakitkan akan terus menghantui.

Kemenangan lalu diekspresikan dengan kesombongan, congkak, dan bahkan lupa diri kepada yang memberi nikmat. Akan selamanya tidak akan di Ridhoi Allah SWT, berbungkus dengan atas nama agama terhadap kebusukannya, kemunafikannya, kecongkakannya. Namun menerima kemenangan sebagai Amanah, memimpin dengan penuh cinta dan ketulusan hati adalah sebuah kemenangan sempurna. Tidak ada yang kalah bukan? Kalian semua pemenangnya.
Sumber;Politik.com Oleh; Rahmat Abd Fatah
Teruskan baca - TIDAK ADA YANG KALAH

PEMIMPIN DAN RAKYATNYA


Wahai manusia, sesungguhnya aku telah diangkat untuk menjadi pemimpin kalian, sementara aku bukanlah yang terbaik di antara kalian. Karena itu jika aku berbuat baik, maka dukunglah. Dan jika aku berbuat buruk, maka cegahlah. Taatilah aku selama aku menaati Allah dan rasul-Nya. Jika aku bermaksiat kepada Allah dan rasul-Nya, maka kalian tidak perlu menaatiku." (Abu Bakar ash-Shiddiq RA).
Sungguh, bentuk pendidikan politik yang sangat baik. Inilah wujud pemimpin yang sadar akan posisinya sebagai wakil rakyat, tidak congkak, dan tidak pulah bergembira akan kemenangannya, ia bersyukur, meminta perlindungan, menyadari posisinya sebagai amanah yang ahirnya dipertanggungjawabkan. Pemimpin yang siap untuk tidak ditaati jika melakukan kesalahan. (kemungkaran). Membuka ruang komunikasi dengan rakyatnya, menerima masukan selanjutnya dengan ikhlas dan sungguh- sungguh melaksanakannya.

Pemimpin seperti inilah yang dianjurkan Allah SWT. Untuk ditaati.
Namun ketaatan tersebut hanya berlaku dalam konteks ketaatan kepada Allah SWT, bukan dalam konteks kemaksiatan kepada-Nya. Rasulullah SAW menjelaskan : "Tak ada ketaatan kepada orang yang tidak menaati Allah 'azza wa jalla." (HR Ahmad). "Tak ada ketaatan kepada makhluk dalam kemaksiatan kepada Allah." (HR Muslim). Hai orang-orang yang beriman, taatilah oleh kalian Allah, rasul, dan ulil amri (penguasa) di antara kalian...(An-Nisa: 59

Inilah wujud, partisipasi politik yang baik, yang satu menyadari posisinya sebagai pemimpin dan yang lain sebagai yang dipimpin. Inilah bentuk kesadaran politik tertinggi (khalifah, Umar bin Khaththab RA) "Wahai manusia, siapa saja di antara kalian yang melihatku menyimpang, maka luruskanlah aku."

Demikianlah betapa pentingnya sosok pemimpin yang memahami hubungan antara dirinya dengan rakyatnya. Seorang pemimpin adalah yang disukai rakyatnya dan bahkan mendoakannya, begitu pula sebaliknya ketika pemimpin itu menyukai mereka dan juga mendoakan rakyatnya. Dari Auf bin Malik al-Asyja'i, Rasulullah SAW bersabda, "Sebaik-baik pemimpin kalian ialah mereka yang kalian cintai dan mereka pun mencintai kalian; mereka mendoakan kalian dan kalian pun mendoakan mereka." (HR Muslim).

Bagaimana dengan segelintir wakil rakyat kita kini? yang jelas-jelas melakukan kesalahan? Dipastikan muncul kelompok pembela dan penantang. Itulah wajah “sedikit” politisi bangsa ini. InsyaAllah banyak yang masih amanah. Mari dari setiap diri kita terus memperbaiki diri, menginstropeksi dan mengajak bersama orang-orang sholeh yang komit untuk membangun negeri ini. Setiap diri kita adalah solusi terhadap persoaolan bangsa, dan pastikan bukan beban bagi bangsa ini.

Sumber;Rahmat Abd Fatah(berpolitik.com)
Teruskan baca - PEMIMPIN DAN RAKYATNYA