Selasa, 22 Desember 2009

KONTESTASI KUASA


Oleh: Herman Oesman

KEKUASAAN itu dikuasai, direbut, dipertahankan dan sejumlah “jurus” akan dimainkan demi status yang bernama kekuasaan. Apakah “jurus” itu benar-benar sesuai dengan logika permainan (the game of logic), atau harus keluar dari garis normatif sebuah “jurus”. Orang yang terlibat didalamnya tak lagi peduli tentang batasan-batasan itu. Dan, itulah politik. Keras, kasar dan liar tapi ternyata banyak diminati. Politik adalah madu. Tulisan ini lahir dari kegelisahan dalam setiap wacana dan realitas politik, terutama berkaitan dengan kondisi dan struktur politik di Maluku Utara yang belum santun dan tidak dewasa.

Politik memang terbelah dalam dua watak perspektif. Di satu sisi politik merupakan sebuah keharusan untuk menata sistem kekuasaan sehingga berada pada koridor yang semestinya. Tentunya dengan aturan dan kerangka filosofi yang demikian substantif dan standar yang sesuai harapan publik. Sementara di sisi yang lain politik dipasung dalam pemahaman yang demikian sempit, dan muncul prasangka (prejudice) bahwa politik adalah wilayah yang demikian kotor.

Pada konteks inilah, arah politik –-jika berada dalam wilayah perspektif kedua di atas—sekalipun dengan tatacara dan “ritus” yang tidak lazim, dikategorikan sah-sah saja. Bahkan dengan mengingkari hati nurani dan melewati batas demarkasi kemanusiaan publik dari tatacara dan “ritus” politik, masih dianggap sebuah pembenaran (justifikasi).

Makanya, wilayah politik, siapa saja boleh secara emosional terlibat didalamnya. Aktif maupun pasif. Punya pendidikan tinggi atau biasa-biasa saja. Punya harta dan deposito atau orang kere, punya pengalaman atau sama sekali buta politik, serta sejumlah kekontrasan lain menjadi variabel yang demikian kentara. Dari sanalah, terjadi pertarungan untuk menuju ke kekuasaan. Toh, pada akhirnya, terdapat sejumlah kesempatan yang sengaja dibuat longgar untuk siapa saja boleh berada di kursi elit kekuasaan.

Hadirnya banyak figur ”calon pemimpin” dalam Pemilihan Kepala Daerah (Kabupaten/Kota) se-Maluku Utara, menjadi indikasi kuat, betapa kekuasaan tak pernah sepi dari menggelembungnya rasa suka cita para elit. Kita sering terjebak hanya pada tujuan sesaat, yakni demi meraih kekuasaan. Tapi bagaimana memberi penguatan kapasitas sistem pada semua struktur politik yang lebih beretika dan bermoral kadang menjadi sesuatu yang kita abaikan.

Mendorong tumbuhnya modernisasi politik yang lebih beretika adalah sebuah keharusan. Karena pandangan ini lebih mengarahkan aktivitas politik pada sisi etos keadilan dan penguatan kapasitas sistem politik. Untuk itu, diferensiasi politik, prinsip kesamaan dan keadilan serta usaha pembangunan politik yang berkeadilan merupakan elemen-elemen kunci bagi proses modernisasi politik. Tanpa semua itu, James S. Coleman (1990) memberi analisis, akan melahirkan akibat sampingan, yakni berupa ketegangan dan keterpecahan sistem politik.

Untuk menjaring elit di wilayah kekuasaan di masa depan, saat ini dan seterusnya, kita butuh harapan dan kesadaran baru agar berbagai kekeliruan, ketidakmampuan dan ketidakbecusan para elit tidak lagi terulang. Namun, politik adalah soal rebutan kekuasaan. Siapapun akan merebut dan mempertahankan apa yang akan dan telah dimilikinya, sekalipun dengan berbagai cara. Mungkinkah kita berharap banyak bakal hadirnya kualitas demokrasi dan elit politik yang beretika dan bermoral dengan pola laku dan menggunakan cara-cara lama yang lebih santun bagi wajah perpolitikan Maluku Utara ke depan? Waktu yang akan menjawab.

Disinilah menurut kacamata Romo Frans Magnis-Suseno sangat dibutuhkan kejujuran politik yang dapat mewarnai struktur-struktur sosial, ekonomi, politik, budaya dan ideologi. Karena menurut Magnis, ketidakjujuran sangat terkait dan relevan dengan struktur sosial, ekonomi, politik, budaya dan ideologi yang mendukung kekuasaan dan ketidakadilan struktural.

Percuma kita berteriak dan menghimbau nilai-nilai kejujuran, etika dan moral dalam politik, sementara struktur kekuasaan dan struktur politik sendiri tidak jujur. Kejujuran politik adalah landasan dasar kepribadian yang integral dan bertanggungjawab, berlaku sesuai standar-standar yang diharapkan dan menghormati hak orang lain. Olehnya itu, kejujuran dalam politik diperlukan kerangka dan landasan yang dapat dihitung. Kejujuran merupakan batasan untuk menilai para aktor dan elit politik. Sekalipun amat normatif, tapi dapat dikalkulasi/dihitung melalui perilaku dan tindakan politik.

Bila ini dapat dibentangkan dan berkaca atas realitas politik di Maluku Utara selama ini, tentunya kita butuh proses pembelajaran dari setiap kesalahan yang kita lakukan untuk masa datang yang lebih baik. Semoga Pilkada di beberapa kabupaten/kota di Maluku Utara lebih santun, bermartabat sehingga dapat menjadi pelajaran penting untuk generasi akan datang. []