Selasa, 22 Desember 2009

CALON WAKIL RAKYAT


Oleh : Herman Oesman

“Orang terkuat tak mungkin terus mempertahankan kekuasaannya
kecuali jika ia mengubah kekuatan menjadi kebenaran,
dan kepatuhan menjadi kewajiban”
(J.J. Rousseau, The Social Contract)



ADALAH Pemilihan Umum 2009 yang tinggal menunggu waktu. Namun, cara, taktik dan strategis kini tengah dimainkan para caleg untuk meraih dan mempertahankan kekuasaannya. Lalu? Politik hanyalah nafsu merebut dan mempertahankan kekuasaan. Mungkin itu definisi per se yang diciptakan masyarakat awam. Tak bisa disalahkan memang, karena masyarakat mendefinisikan itu dari fakta-fakta yang mereka amati dan rasakan.
Saat ini --mungkin hingga tiba pemilihan nanti-- terang-terangan atau sembunyi-sembunyi, para politisi mulai memasang jerat, menawarkan “gula-gula”, “obat penawar” dan apa saja bagi masyarakat. Masing-masing mulai meng-klaim sebagai caleg (atau parpol) dengan visi dan misi terbaik demi rakyat dan bangsa ini. Saksikan bagaimana baliho, spanduk dan sticker para caleg yang telah menjadi sampah publik di mana-mana, menawarkan mantra dengan kata-kata sakti. Padahal, sejak Orba dan era reformasi, caleg dan parpol kurang mampu merealisir janji-janjinya secara baik. Semua terjebak pada aroma kekuasaan lima tahunan. Dan, masyarakat pun terlena usai pemilu.
Pemilu, sebagaimana diyakini dan menjadi adagium selama ini, merupakan sebuah prasyarat bagi demokrasi. Tapi bagi Juan J. Linz dan Alfred Stephen (1996) ini merupakan pandangan yang keliru. Menurut Linz dan Stephen, pemilu bukanlah satu-satunya faktor dalam konsolidasi demokrasi. Demokrasi amat berkaitan dengan faktor-faktor non-politik seperti; komunikasi dan kebebasan berkumpul (civil society), konstitusi (rule of law), norma-norma birokrasi yang sah-rasional (state apparatus) dan tradisi pasar (economic society).
Memang, Pemilu 2004 lalu telah dinilai ’demokratis’, baik kalangan dalam maupun luar negeri. Namun, ternyata gagal dalam melakukan konsolidasi demokrasi. Faktor-faktor non politik sama sekali terabaikan. Ujung-ujungnya, sikap tak terpuji yang ditunjukkan wakil rakyat bermain-main di mata publik. Money politics kian merebak di daerah-daerah, studi banding tak karuan tanpa hasil, pemanfaatan dan penggunaan fasilitas yang berlebihan, kualitas wakil rakyat (terutama di daerah) begitu rendah. Ini merupakan indikator paling kentara yang seringkali muncul. Terangkut kepermukaan satu per satu.
Tidak hanya itu, kontrol wakil rakyat atas pihak eksekutif juga amat longgar yang hanya melahirkan korupsi, kolusi dan monopoli tak terkendali. Wakil rakyat juga tak mampu mewujudkan representasi kebutuhan rakyat yang diwakilinya. Pemilu 2004 lalu, ternyata tak memberikan apa-apa bagi rakyat. Menjelang Pemilu 2009, saatnya fungsi kontrol rakyat harus ditingkatkan sehingga pasca Pemilu nanti, konsolidasi demokrasi dapat berjalan sesuai harapan.
Pemilu 2009 kian dekat, bagaimana wajah calon wakil rakyat kita? Masih kabur, banyak yang belum teruji kapasitasnya dan sekadar ”numpang lewat” ataupun meramaikan bursa kandidat sebagai caleg.
Disinilah, dukungan peran konstituen menjadi signifikan untuk terus menjaga nafas dan ruh demokrasi sebelum dan pasca Pemilu. Elemen civil society bersama rakyat akan menjadi “pengontrol” terhadap wakil rakyat juga parpol. Bila perlu janji-janji yang diucapkan saat caleg berkampanye, dicatat dan didata. Janji-janji itu perlu ditagih lalu akhirnya dievaluasi melalui laporan akuntabilitas tahunan wakil rakyat, sejauh mana janji-janji itu telah direalisasikan sejak caleg itu terpilih.
Saatnya, harus dipaksakan agar wakil rakyat dapat membuat laporan akuntabilitasnya bagi konstituen. Tanpa laporan ini, siapa yang akan mengontrol wakil rakyat? Jangan-jangan kita hanya memilih –meminjam istilah Juan J. Linz, dkk -para ’penjahat’ demokrasi. Yang nanti lima tahun mendatang akan tampil lagi dengan manis, dengan senyum penuh racun.
Dengan mendata dan menagih janji-janji juga mengontrol wakil rakyat, berarti masyarakat telah ikut mendorong sekaligus melatih wakil rakyat untuk melakukan hasrat mengakui kinerjanya selama ia dipilih. Itu berarti, wakil rakyat harus selalu diawasi oleh rakyat yang telah memilihnya. Tanpa diawasi, wakil rakyat akan merasa sebagai “orang kuat” yang seenaknya berbuat apa saja. Politik dan demokrasi harus berada dalam jalur kontrol ekstra ketat, sehingga tidak menjadi ajang kontestasi elit untuk kepentingan dirinya sendiri.
Di dalam demokrasi menurut Slavoj Zizek, dengan menggunakan Claude Lefort (1988), instansi kekuasaan tertinggi (sovereign power) adalah rakyat. Isi dari demokrasi adalah kedaulatan rakyat. Pemilu demokratis adalah perayaan dan pernyataan simbolis bahwa ’kedaulatan’ itu dimiliki oleh yang banyak (rakyat) yang dipinjamkan kepada politisi.
Demokrasi itu, menurut Claude Lefort lebih lanjut, adalah ruang kosong yang setiap tahun dipinjamkan kepada partai/suatu pemerintahan yang akan berkuasa. Dengan demikian, setiap rejim kekuasaan yang memimpin dalam suatu periode, berstatus tidak lebih dari sekadar mampir meminjam ruang kosong (demokrasi) yang dimiliki rakyat. Dengan status semacam itu, maka jelas tidak ada yang benar-benar ’murni, utuh, dan final’ di dalam demokrasi. Karena semua kompartemen yang dibangun demi ’yang utuh, final dan murni atau sejati’ adalah kompartemen pinjaman.
Untuk itu politik, demikian Mochtar Pabottingi (1999), adalah kegiatan menyimak suara-suara. Politisi yang arif senantiasa mendengarkan aneka suara, menerjemahkannya atau memberinya kesempatan mengartikulasikan dan berusaha mencari jalan keluar atas dasar kepedulian yang luas. Dengan demikian, kepedulian itu harus terus berada dalam ruang demokrasi bagi sebuah kedaulatan.
Memang, selama ini masyarakat dinilai lemah dan tak punya kuasa. Padahal masyarakat itu tidak berarti tanpa kekuasaan. Masyarakat itu, mengutip Vaclav Havel, adalah mereka yang punya kuasa, atau dalam ungkapan James Scott (1990) kuasa orang-orang papa. Meskipun tidak terorganisasi, kaum papa juga punya kuasa, ujar Scott.
Demikian juga, akibat karena terjadinya iklim politik, struktur ekonomi atau perangkat tekanan budaya, masyarakat dapat “berkuasa” untuk tidak memilih wakil rakyat. Dan, bila masyarakat tak lagi memilih wakilnya berarti akhir dari karier seorang politisi segera tiba. Untuk itu, menjaga hati nurani masyarakat amatlah penting dalam sebuah demokrasi yang berdaulat.
Menyambut Pemilu 9 April 2009 nanti, saatnya kita mulai belajar mengontrol para wakil rakyat, atas segala janjinya, keterpilihan dan kerja-kerja publiknya, agar para wakil rakyat tidak sesuka hati mengabaikan kedaulatan rakyat, pemilik sejati demokrasi. []