Kamis, 17 Desember 2009

Absennya Etika Politik.


SKANDAL Bank Century (Centurygate) yang diduga merugikan uang negara 6,7 triliun telah menyeret orang-orang terdekat Presiden SBY. Tidak hanya Wapres Boediono dan Menkeu Sri Mulyani yang dituding terlibat, tetapi juga beberapa orang anggota Tim Sukses SBY pada Pemilu Legislatif dan Pilpres 2009 lalu.

Kontan, tudingan itu membuat SBY geram. Setidaknya, dalam tiga kali kesempatan SBY membantah tudingan yang mengarah kepada fitnah tersebut.

Untuk mengungkap skandal itu, DPR akhirnya mengajukan hak angket dan membentuk Panitia Khusus (Pansus), sehingga diharapkan kebenaran bisa terkuak dan semua aktor yang terlibat dapat bertanggungjawab serta dihukum seadil-adilnya.

Menilik sejarah, skandal ini mengingatkan kita pada skandal Watergate yang melibatkan Presiden Amerika Serikat, Richard M Nixon, dan berujung pada mundurnya Nixon dari tampuk kekuasaan. Memori saya pun berlabuh pada film lawas yang berjudul “All the President’s Men” produksi Warner Bros tahun 1976 yang dibintangi Dustin Hoffman dan Robert Redford serta disutradarai oleh Alan J Pakula.

Film itu menceritakan bagaimana dua orang wartawan Washington Post yakni Carl Bernstein (Hoffman) dan Bob Woodward (Redford) membongkar kasus terbesar sepanjang sejarah AS. Watergate, adalah skandal politik terhebat di abad 20.

Nixon mundur guna menghindari impeachment oleh House of Representatives dan pemeriksaan mendalam dari Senat. Penggantinya yang notabene adalah wakil presidennya sendiri yaitu Gerald Ford kemudian memberikan maaf dan pengampunan secara resmi.

Maka, ia terhindar dari pemeriksaan lebih lanjut yang jelas berpotensi menghancurkan reputasinya dan ada pula kemungkinan ia akan dipenjara, walau skandal Watergate-nya sendiri sebenarnya sudah menamatkan karier politiknya.

Mundurnya Nixon telah menunjukkan kepada kita pentingnya tanggung jawab dan etika politik dalam mengelola pemerintahan. Meski yang terlibat secara langsung dalam skandal itu adalah tim sukses Nixon, tetapi secara legowo Nixon berani mengambil alih tanggung jawab itu dengan mengundurkan diri dari kursi kepresidenan. Lantas, bagaimana dengan skandal Centurygate? Di tengah ramainya orang berpolitik dengan menghalalkan segala cara, masih adakah etika politik di negeri ini?

Etika politik mengandung misi kepada setiap pejabat dan elit politik untuk bersikap jujur, amanah, sportif, siap melayani, berjiwa besar, memiliki keteladanan, rendah hati, dan siap untuk mundur dari jabatan publik apabila terbukti melakukan kesalahan dan secara moral kebijakannya bertentangan dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat.

Etika ini diwujudkan melalui sikap bertata krama dalam perilaku politik yang toleran, tidak berpura-pura, tidak arogan, jauh dari sikap munafik yang dibungkus kesantunan, tidak melakukan kebohongan publik, tidak manipulatif dan pelbagai tindakan tidak terpuji lainnya.

Malangnya, para elit politik di negeri ini acap mengedepankan intrik-intrik kotor guna memeroleh dan atau mempertahankan kekuasaan. Etika politik nyaris absen. Secara spesifik, etika politik yang dimaksud di sini adalah tiadanya kerelaan bagi pucuk pimpinan di negeri ini untuk mau bertanggung jawab atas perbuatan yang dilakukan bawahannya.

Sebagai contoh, masih segar dalam ingatan kita bagaimana Kapolri bertindak merespons tuntutan Tim 8 dan presiden dalam perseteruan Cicak Vs Buaya yang melibatkan Kabareskrim dan pimpinan KPK. Meski sudah melakukan pembenahan ke dalam institusi Polri dengan mengganti Kabareskrim, tetapi dari aspek tanggung jawab hierarki dan etika jabatan, mestinya yang paling bertanggung jawab adalah Kapolri.

Dalam konteks ini, Dennis F Thompson dalam bukunya Political Ethics and Public Office (1987) sudah mengingatkan, kalau sebuah sistem organisasi atau pun pemerintahan rusak, maka yang paling bertanggung jawab adalah posisi puncak.

Jika pucuk pimpinan tidak mengundurkan diri, maka sejatinya pucuk pimpinan itu lebih buruk daripada pelaku di lapangan. Jika saja Pansus Hak Angket di DPR nanti berhasil mengungkap kebenaran dan membuktikan orang-orang lingkaran istana benar-benar terlibat Centurygate, saya membayangkan, SBY akan berlaku seperti Presiden Nixon. Kala itu, Nixon meminta rumusan tentang ritualistik tanggung jawab dalam bentuknya yang paling murni: Siapa yang harus dipersalahkan atas apa yang terjadi dalam skandal ini?

Secara ksatria Nixon berkata, “Jalan paling mudah bagi saya adalah mempersalahkan mereka yang kepadanya saya mendelegasikan tanggung jawab untuk menjalankan kampanye. Tetapi itu pengecut. Dalam organisasi mana pun, pemimpin puncak harus berani memikul tanggung jawab.

Oleh karena itu, all American, saya berdiri di sini, bukan karena tangan saya kotor karena Watergate, melainkan karena ulah tim sukses saya. Saya bertanggung jawab secara moral dan politik bahwa saya yang diuntungkan. Maka, dengan ini saya mundur dari jabatan presiden.”

Alih-alih berkelit, saya bermimpi, presiden kita berdiri dan berbicara seperti itu. Sebab, hal itu adalah konsekuensi logis dari sebuah pemerintahan yang tidak dikelola dengan bajik.***

Mohammad Ilham A Hamudy, Pemerhati pemerintahan pada Pusat Penelitian Otonomi Daerah Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Dalam Negeri

Oleh: Mohammad Ilham A Hamudy
http://www.riaupos.com/berita.php?act=full&id=10651&kat=11