Minggu, 20 Desember 2009

ADAKAH JAMINAN MASA DEPAN GURU BANTU?


Oleh Rahmat Abd Fatah*

Presiden Mahasiswa BEM Universitas Muhammadiyah Malang 2007


Drs Amin Mahmudi, Kasubag Kepegawaian Dinas Pendidikan Nasional Kabupaten Malang, pernah membuat pernyataan cukup menarik seputar guru bantu atau guru kontrak yang diselenggarakan Kabupaten Malang. Menurutnya, para calon guru yang bakal diterima nanti masih akan mendapatkan evaluasi perenam bulan sekali. Misal dalam enam bulan ternyata tidak layak untuk diteruskan. Bisa jadi statusnya diputus ditengah jalan, atau sebaliknya jika memiliki prestasi yang bagus, besar kemungkinan akan dinaikkan statusnya (Malang Post, 18/02/2003).

Pernyataan ini sepintas dianggap biasa. Karena dalam organisasi manapun, evaluasi mutlak dilakukan. Dalam proses kegiatan belajar mengajar misalnya, evaluasi mutlak diperlukan sebagai proses akhir penilaian. Evaluasi dalam sebuah perusahaan misalnya, setidaknya berguna untuk menilai proses fluktuasi pengeluaran dan pemasukan. Dan menjadi mutlak pula bahwa evaluasi yang baik mestinya berkorelasi dengan kualitas yang dihasilkan.

Evaluasi yang dilakukan dalam enam bulan sekali dapat berkorelasi positif manakala tujuannya jelas, misalnya dengan evaluasi itu dapat dijaring guru-guru yang baik, profesional dan berkualitas. Atau dengan kata lain, adanya evaluasi itu dapat menjadi magnet bagi para guru untuk bersaing secara sehat tanpa ada unsur-unsur lain, misalnya kedekatan family atau suap sana-sini.

Pernyataan Kasubag Kepegawaian Dinas Pendidikan Nasional Kabupaten Malang, kini telah berlalu tujuh tahun. Mestinya evaluasi yang dilakukanpun telah mencapai kualitas-kualitas tertentu yang akhirnya dapat dinikmati secara kongkrit oleh para guru, termasuk guru bantu tersebut. Namun kenyataannya sampai sekarang, tidak saja di kabupaten malang bahkan nyaris sama di indonesia guru bantu mengalami suatu situasi yang tidak nyaman. Bahkan, di Halmahera selatan Maluku utara jaminan terhadap mereka, para guru bantu terus dipertanyakan. Pasalnya gaji sudah lima bulan belum dibayar.
Mereka, para guru bantu menilai pernyataan tersebut dengan sikap berbeda.

Pertama, secara mental, guru-guru bantu merasa tidak tenang dalam menjalankan tugasnya. Mereka bahkan bisa merasa khawatir, hatinya buntu dengan masa depannya. Setiap hari mereka terus menerus menghitung hari, bulan dan tahun. Ketika menginjak masa semester pertama atau enam bulan pertama, mereka menjalankan tugas dengan serba salah, diperpanjang atau diputus kontraknya sampai di sini. Kondisi ini akan terus berlanjut sampai masa kontrak selesai.

Kedua, dari segi ekonomi, status guru bantu tidak menjanjikan jaminan masa depan. Selama ini keluhan guru adalah gajinya rendah, bahkan sangat minim, untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari tidak cukup. Sehingga tidak heran kemudian, banyak guru yang berprofesi ganda. Pagi pergi ke sekolah, siangnya pergi menawarkan dagangan bahkan ngojek. Ironis memang, tapi itulah kondisi guru-guru di Indonesia.

Ketiga, adanya benturan struktural antara guru berstatus guru bantu dan guru negeri. meneguhkan kenyataan bahwa guru bantu sewaktu-waktu dapat diputus dengan mudah.
Ketiga kenyataan di atas mengakibatkan proses belajar mengajar menjadi tidak nyaman. Guru tidak mempunyai gairah mengajar, siswa menjadi korbannya. Guru tidak dapat bekerja profesional karena dihantui batas waktu yang sulit dihilangkan dari ingatan, enam bulan, satu tahun atau sampai kontrak selesai.

Apalah artinya memasuki dunia baru sebagai guru bantu, tapi pikiran masih buntu. Tidak ada jaminan Masa depan , maka jangan berharap lembaga pendidikan kita akan maju. Jika pemerintah tidak mempunyai keinginan politik yang kuat dan cakap dalam mengoperasionalkannya. Wallahualam.
***