Selasa, 22 Desember 2009

Elit dan Track Record


(Oleh : Herman Oesman)

"Kekuasaan tak pernah menjadi milik perorangan,ia senantiasa menjadi milik kelompok dan hanya bisa tegak selama orang-orangdalam kelompok bersangkutan menegakkannya secara bersama-sama."(Hannah Arendt, 1972:143)

Kita belum menyadari sungguh, untuk apa dan bagaimana kekuasaan itu dikelola. Kita memang belum terlalu tahu untuk apa “politik kekuasaan” itu. Apa memang semata-mata untuk “kebutuhan” pribadi sang elit? Ataukah? Lantas mengapa kita habis-habisan merebut, pertahankan dan akhirnya menjadi gila dan mati karena kekuasaan. Paranoid, alienasi, trauma dan akhirnya depresi, adalah fenomena kuat dikalangan elit yang tidak lagi berkuasa. Kemana modal sosial politik ketika kekuasaan itu kita genggam. Kekuasaan memang melenakan, dan kadang membuat kita lupa untuk turun ketika berada di puncak. Kekuasaan adalah kegilaan sekaligus kematian.
Yang justru kita abaikan dalam setiap moment kekuasaan adalah melakukan rekaman jajak (track record) sang elit atau mereka yang berkuasa. Track record menjadi sangat penting untuk mengetahui apakah sang elit masih pantas untuk dipilih kembali? Bagaimana selama kepemimpinannya, adakah yang telah diperbuat? Ataukah hanya menggunakan kekuasaannya untuk kepentingan diri, kelompok dan sebagainya. Track record ini harus dicatat. Karena setiap elit, apalagi yang bersinggungan dengan publik, sekecil apapun yang diperbuatnya, harus diketahui publik. Publik bukanlah domain kaku, publik menurut Jurgen Habermas (1991) adalah suatu sistem yang menyediakan ruang otoritas. Elit yang mau diakui, dihargai, dihormati, dilayani seperti raja, harus melalui otoritas ruang publik ini.

Dengan begitu, elit yang hendak berkuasa (termasuk yang mau lagi berkuasa), harus siap di rekam jajaknya oleh publik. Penerimaan publik merupakan jembatan antara kepentingan publik dan kepentingan sistem kekuasaan (termasuk pelanggengan kekuasaan) yang didalamnya terjadi pertarungan hegemoni habis-habisan, dan hanya publik yang cerdas-lah yang dapat mencari solusi terbaik dari pertarungan hegemoni tersebut. Namun, kadang, publik pun dimobilisir, dijadikan broker dan pendukung sikap-sikap dan pandangan politik yang keliru, termasuk menampilkan ragam peran pura-pura dan munafik dalam setiap babak dramaturgi politik.

Kekuasaan mestinya menjadi –modal sosial-- meminjam ungkapan R.D. Putnam (2001)-- yang didalamnya terjaga hubungan antar individu-individu, jaringan sosial dan norma timbal-balik serta saling percaya yang tumbuh di antara mereka. Untuk menjaga modal sosial politik itu, maka tidak ada jalan lain, track record harus jadi ukuran, agar kesalahan, kekeliruan dan ketidak-mampuan elit dalam mengelola kekuasaan tidak jatuh dalam lubang untuk kedua-kalinya. Setiap elit yang berkuasa harus disadarkan atas kekeliruannya, agar publik tidak terperosok pada labirin persoalan yang sama dengan elit.
Nah, persoalannya, sudahkah track record setiap elit yang berkuasa, ataukah mereka yang merasa diri elit --entah di birokrasi, organisasi kemasyarakatan (ormas), partai politik, institusi ekonomi, bahkan sampai institusi terkecil-- sudah kita rinci secara detil “siapa mereka?” Jangan-jangan demokrasi yang kita usung dan teriakkan hanyalah bagian dari pentas muslihat kita. Bukankah politik adalah sebuah permainan ketidak-mungkinan? Ah…kita ternyata banyak bersandiwara…!