Kamis, 17 Desember 2009

Platform Kebijakan Pembangunan Partai Keadilan Sejahtera

Latar Belakang

Kami mencitakan Indonesia menjadi negara kuat yang membawa misi rahmat keadilan bagi segenap umat manusia, agar bangsanya menjadi kontributor peradaban manusia dan buminya menjelma menjadi taman kehidupan yang tenteram dan damai. Wujud dari rasa tanggung jawab politik PK Sejahtera bagi kehidupan
bangsa dan negara, sebagai bagian dari penyelesai masalah bangsa dalam rangka mewujudkan masyarakat madani yang adil, sejahtera dan bermartabat, sebagaimana yang dicita-citakan PK Sejahtera, maka disusunlah Platform Kebijakan Pembangunan PK Sejahtera sebagai arah dan pedoman perjuangan bagi kader sekaligus komitmen politik PK Sejahtera.

Platform Kebijakan Pembangunan PK Sejahtera merupakan dokumen yang merefleksikan visi, misi, program dan sikap partai terhadap berbagai persoalan bangsa. Platform menjadi motivasi dan penggerak utama kegiatan partai dan akan menjadikan segenap aset partai di semua sektor kehidupan --yaitu sektor ketiga, sektor publik dan sektor swasta-- bekerja secara terintegrasi, kontinyu, fokus dan terarah sehingga sumber daya partai yang terbatas bisa dikelola secara baik untuk mendapatkan hasil sesuai dengan yang
diharapkan, dan secara langsung bisa dirasakan oleh konstituen dan masyarakat pada umumnya.

Platform partai dalam berbagai bidang kehidupan yang strategis dipandang penting untuk meraih dua sasaran. Pertama, sebagai instrumen komunikasi kepada massa konstituen sekaligus sebagi
alat untuk meresonansikan persepsi tentang kehidupan bersama yang diperjuangkan. Bagi masyarakat yang skeptis, platform tak ubahnya iklan yang penuh basa-basi. Namun, bagi pihak yang rasional, platform adalah alat ukur untuk menakar kesamaan kepentingan di antara kelompok masyarakat yang berbeda latar belakang. Platform mencerminkan jati diri partai politik yang sebenarnya, isi hati dan kepala, serta komitmen apa yang akan dikerjakan.

Dalam bingkai politik, maka platform adalah proposal pengelolaan negara yang ditawarkan partai kepada konstituen dan masyarakat pemilih dalam rangka menarik perhatian untuk mendulang suara secara obyektif dan bertanggung-jawab. Karenanya platform juga merupakan sikap sekaligus janji politik kepada publik, yang bila tidak dipenuhi atau tidak konsisten dijalani akan mendapat ganjaran negatif, yakni tidak dipilih kembali atau tidak dipercaya mereka.

Dalam bingkai pemilu, maka para juru kampanye sebuah partai wajib menguasai betul pesan utama platform yang ingin diperjuangkannya, kemudian mengkomunikasikan semua pesan itu kepada masyarakat konstituen secara baik. Pilihan kata yang tepat, metoda penyampaian yang menarik, dan pemaparan bukti-bukti yang meyakinkan akan mengarahkan pilihan suara konstituen. Itulah cara rasional dan elegan dalam menjaring suara, bukan dengan sogokan politik uang atau intimidasi kekerasan fisik dan
psikologis.

Dengan modal platform, mekanisme kontrol antara pemilih, partai politik dan lembaga kekuasaan mudah dijalankan. Dan, proses politik nasional berkembang menjadi lebih rasional secara bertahap. Prosedur dan hasil demokrasi dapat lebih dipertanggungjawabkan, bukan “membeli kucing dalam karung”. Dalam bingkai eksternal inilah sasaran pertama platform ditujukan.

Kedua, sasaran yang bersifat internal ke dalam tubuh PK Sejahtera sebagai institusi dakwah, platform adalah cara pandang institusi dakwah terhadap negara, pengelolaan negara dan kehidupan bersama dalam wilayah NKRI. Platform adalah derivasi sekaligus wahana (vehicle) dari ideologi partai. Ini merupakan subyektivitas dakwah, cara pandang dakwah terhadap dunia di sekelilingnya. Platform secara internal merupakan kristalisasi pemahaman akan arah bagaimana negara dan pengelolaan negara ke depan seharusnya dilakukan. Dengan demikian, platform tidak lain adalah
sekumpulan nilai, harapan dan capaian konseptual dari hasil interaksi dan internalisasi institusi dakwah terhadap sejarah panjang dan pengalaman dirinya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, yang dengan itu menumbuhkan pemahaman konseptual dalam tubuh institusi dakwah itu sendiri. Dengan platform, setiap kader dakwah memahami bagaimana gerak-langkah, sikap dan arah institusi dakwah bergulir menembus waktu di dalam ruang publik secara obyektif.

Untuk mencapai dua sasaran di atas, maka platform harus ditulis secara jelas, lugas dan tuntas sebagai sebuah visi dan proposal PK Sejahtera bagi pengelolaan negara. Selain itu, ia mestilah dirumuskan sedemikian rupa sehingga tampak jelas positioning dan differenciation dari PK Sejahtera dibanding partai politik lainnya. Ketika platform dirumuskan dalam bingkai di atas, maka akan muncul koherensi dan sifat rasionalitasnya sebagai sebuah konsep yang akan ditawarkan. Namun bagi publik, kalau hanya sekedar
konsep belum tentu akan menarik hati. Harus ada bukti komitmen partai politik, bahwa mereka benar-benar dan secara sungguhsungguh akan menjalankan konsep politik yang telah dirumuskan.
Artinya, perlu diungkap pula keberhasilan-keberhasilan atau langkah-langkah nyata yang menjadi small success story dari partai politik yang bersangkutan yang menunjukkan garis masa lalu yang akan terus bersambung ke masa depan. Selain itu untuk meyakinkan publik perlu dimunculkan tokoh sebagai ikon dari masing-masing bidang platform.

Untuk merealisasikan tugas berat ini, unsur MPP, DSP, DPP dan Dewan Pakar PK Sejahtera bahu-membahu memobilisasi kreativitas konsepsional melalui serangkaian diskusi dan workshop. Berbagai seminar pun dirancang untuk mengayakan dan sekaligus mendalami substansi platform yang disusun.
Dengan mengikuti alur berfikir sistemik, Platform Kebijakan Pembangunan PK Sejahtera ini dirumuskan.
Teruskan baca - Platform Kebijakan Pembangunan Partai Keadilan Sejahtera

Indonesia Yang Dicita-citakan Partai Keadilan Sejahtera

Visi Indonesia yang dicita-citakan Partai Keadilan Sejahtera

Terwujudnya Masyarakat madani yang adil, sejahtera, dan bermartabat.
Masyarakat Madani adalah masyarakat berperadaban tinggi dan maju yang berbasiskan pada: nilai-nilai, norma, hukum, moral yang ditopang oleh keimanan; menghormati pluralitas; bersikap terbuka dan demokratis; dan bergotong-royong menjaga kedaulatan Negara.

Pengertian genuin dari masyarakat madani itu perlu dipadukan dengan konteks masyarakat Indonesia di masa kini yang merealisasikan Ukhuwwah Islamiyyah (ikatan keislaman), Ukhuwwah Wathaniyyah (ikatan kebangsaan) dan Ukhuwwah Basyariyyah (ikatan kemanusiaan), dalam bingkai NKRI. Perjuangan untuk mewujudkan masyarakat madani, baik secara struktural maupun kultural, sebagai bagian dari dakwah dalam maknanya yang historik, positif dan obyektif bagi umat Islam dalam bingkai NKRI adalah bagian dari upaya merealisasikan tujuan didirikannya PK Sejahtera sebagaimana dicantumkan dalam Anggaran Dasar PK Sejahtera1. Masyarakat Madani sebagai warisan Sunnah Nabawiyah adalah komunitas yang hadir melalui perjuangan yang dipimpin langsung Rasulullah Saw dengan bingkai Piagam Madinah. Piagam Madinah diakui oleh para para pakar studi Islam dari kalangan Muslim atau Non-Muslim sebagai konstitusi tertua di dunia yang sangat modern dan menghadirkan fakta historis tentang pengelolaan negara berbasiskan pada prinsip hukum, moral, dan gotong-royong menjaga kedaulatan negara.
Piagam itu juga menghormati pluralitas dan merealisasikan Ukhuwwah Islamiyyah, Ukhuwwah Wathaniyyah dan Ukhuwwah Basyariyyah sekaligus.Sebagai basis lain berdirinya Masyarakat Madani, Rasulullah telah menegaskan pentingnya melaksanakan nilai-nilai fundamental yang disampaikan secara terbuka, ketika pertama kali menginjakkan kaki di tanah Madinah sesudah hijrah dari kota Mekkah.

Nilai-nilai itu bisa disebut sebagai “Manifesto berdirinya Masyarakat Madani” yang antara lain menetapkan: prinsip memanusiakan manusia dan melibatkan mereka secara keseluruhan dalam risalah dakwah, apapun latar belakangnya; ajakan untuk menyebarluaskan budaya hidup yang aman dan damai; mengokohkan sikap solidaritas sosial dan menguatkan semangat silaturrahim; serta mewujudkan
manusia yang seutuhnya dengan menguatkan kedekatan kepada Allah Swt. Aktualisasi nilai-nilai fundamental itu menjadi dasar kehidupan bermasyarakat dan bernegara sangatlah positif, bahkan
terbukti dalam sejarah Indonesia telah berhasil menggelorakan semangat umat Islam untuk terlibat aktif menghadirkan kebangkitan nasional dengan puncaknya Proklamasi Kemerdekaan NKRI (1945) dan selanjutnya hadir gelombang Reformasi (1998). Islam memang telah masuk ke Indonesia secara damai sejak abad pertama Hijriyah, dan berinteraksi secara dinamis, konstruktif dan positif dengan beragam realita yang sudah ada di Nusantara, baik ideologi, kultural, sosial budaya, profesi politik dan lainnya, dengan semangat agama dakwahnya yang Rahmatan Lil Alamiin, jadilah Islam sebagai agama yang menyebar di Seluruh Nusantara bahkan 1 Anggaran Dasar PK Sejahtera, pasal 5 ayat 2, Jakarta: Sekretariat Jenderal DPP PK Sejahtera, 2007 menjadi agama yang dianut oleh mayoritas bangsa Indonesia.

Sejarah Indonesia pun telah mencatat berdirinya beragam kerajaankerajaan Islam dan hadirnya budaya dan tradisi ke-Islam-an yang tetap hidup dan bahkan menjadi kontribusi yang cerdas sampai hari ini sekalipun. Islamisasi secara kultural seperti tersebut di atas juga mempunyai pijakan historiknya dalam konteks Indonesia, seperti hadirnya wayang, batik, maupun ragam budaya yang diwariskan oleh para
Wali Songo. Ia adalah pengejawantahan kongkret dari Syumuliyyatul Islam dan risalahnya yang Rahmatan Lil Alamin. Karenya agenda ini tentu tidak dimaksudkan untuk menghadirkan konflik budaya
apalagi pembenaran terhadap stigma Islam yang dihubungkan dengan ke-Arab-an apalagi terorisme.
Sementara itu Islamisasi secara struktural dilakukan melalui jalur politik. Islam memang tidak dapat dipisahkan dari politik sebagai bentuk dari pengamalan Syuro, serta Amar Ma’ruf Nahi Munkar,
memperjuangkan keadilan, mengkoreksi kezhaliman dan mendakwahkan amal sholeh. Politik berguna untuk mendekatkan perjuangan kaum Muslimin dalam menjalankan kehidupan serta mendakwahkan kebudayaannya serta solusi-solusi kreatif yang dimilikinya agar mereka dapat mewujudkan nilai-nilai Islami itu sesudah pada tingkat kehidupan individual, keluarga, agar ajaran agama dapat terwujud juga pada lingkungan masyarakat, organisasi bahkan pada penyelenggaraan kehidupan bernegara. Baik melalui
aktifitas kontrol, maupun Legislasi dengan membuat undangundang, peraturan pemerintah maupun kebijakan publik lainnya.

Dalam konteks ini maka pilihannya bukan negara Islam yang menerapkan Syariah atau negara sekuler yang menolak Syariah, tapi yang kita inginkan adalah negara Indonesia yang merealisasikan ajaran agama yang menghadirkan nilai-nilai kemanusiaan yang luhur dan universal, melalui perjuangan konstitusional dan demokratis, agar dapat hadirlah Masyarakat Madani yang dicitakan itu. Memisahkan umat Islam yang merupakan mayoritas penduduk Indonesia dari keterlibatan dalam kehidupan berpolitik dan bernegara adalah hal yang mustahil dan absurd bahkan ahistoric, bahkan tidak sesuai dengan prinsip dasar berdemokrasi konstitusional seperti yang tertera di dalam UUD NRI 1945. Karenanya wajar saja bila pada masa awal pembentukan NKRI ini, Bung Karno telah dengan tegas mempersilahkan umat Islam untuk
memperjuangkan ideologi dan aspirasinya melalui lembaga Parlemen. Dan umat pun memang telah dan akan terus secara rasional-objektif-konstitusional berjuang melalui jalur politik sehingga dapat turut serta menghadirkan kemerdekaan Republik Indonesia, menggagalkan kudeta PKI yang akan menggantikan
ideologi negara dengan Komunisme, dan kemudian turut menghadirkan era Reformasi dan lain-lain.
Agar Masyarakat Madani dapat diwujudkan, dan karenanya umat pun dapat melaksanakan ajaran agama dan menghadirkan Syariah Islam yang Rahmatan Lil Alamin, sangat penting untuk merujuk pada faktor-faktor utama yang dulu menjadi pilar kokoh dan telah sukses menghadirkan Masyarakat Madani seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW yang secara positif dan konstruktif menerima dan menghormati asas pluralitas baik karena faktor suku, agama, asal-usul maupun profesi untuk disinergikan bagi hadirnya masyarakat yang saling menghormati, saling menguatkan, gotongroyong dan bersatu padu bela kedaulatan negara, menegakkan hukum, menjunjung moralitas, menghadirkan masyarakat yang
dinamis dan bersemangat untuk ber-silaturrahim dan ber-ta’awun untuk mewujudkan Ukhuwwah Islamiyyah, Ukhuwwah Wathaniyyah dan Ukhuwwah Basyariyyah, kemudian mengaktualisasikannya
dalam konteks Keindonesiaan kontemporer dengan segala peluang dan tantangannya. Karenanya perjuangan Islamisasi secara struktural tetap harus menghadirkan alternatif solusi yang lebih baik
dan sikap adil dan bijaksana terhadap non-Muslim maupun yang berbeda latar organisasi politik dengan PK Sejahtera, serta mengacu pada prinsip konstitusional, proporsional dan demokratis, agar hadirlah hasil perjuangan yang betul-betul dapat merealisasikan cita-cita berdirinya NKRI dan hadirnya era
Reformasi.

PK Sejahtera sebagai Partai Dakwah akan berjuang secara konstitusional, baik dalam lingkup kultural maupun struktural, dengan memaksimalkan peran berpolitiknya demi terwujudnya Masyarakat Madani dalam bingkai NKRI. Caranya, dengan mempercepat realisasi target PK Sejahtera dari “partai kader”
menjadi “partai kader berbasis massa yang kokoh”, agar dapat memberdayakan komponen mayoritas bangsa Indonesia, yaitu kalangan perempuan, generasi muda, petani, buruh, nelayan dan pedagang. Melalui musyarakah (partisipasi politik) yang aktif seperti itu akan hadir pemimpin negeri serta wakil rakyat yang betul-betul bersih, peduli dan profesional, sehingga bangsa dan rakyat Indonesia dapat menikmati karunia Allah berwujud NKRI yang maju dan makmur. Partisipasi politik secara sinergis dapat
merealisasikan tugas ibadah, fungsi khalifah dan memakmurkan kehidupan, sehingga tampil kekuatan baru untuk membangun Indonesia menjadi negeri yang relijius, sejahtera, aman, adil, berdaulat dan bermartabat.
Adil adalah kondisi dimana entitas dan kualitas kehidupan baik pembangunan politik, ekonomi, hukum, dan sosial-budaya ditempatkan secara proporsional dalam ukuran yang pas dan seimbang, tidak melewati batas. Itulah sikap moderat, suatu keseimbangan yang terhindar dari jebakan dua kutub ekstrem:
mengurangi dan melebihi (ifrath dan tafrith). Islam memandang nilai keadilan dan HAM melekat dengan
penciptaan manusia. Keadilan adalah nilai yang bersifat intrinsik, baik dalam struktur ataupun perilaku manusia. Tuhan Yang Mahakuasa menciptakan manusia dalam keadaan adil dan seimbang. Semenetara itu, Islam ditegaskan sebagai agama fitrah kemanusiaan. Situasi-situasi psikis dan sosiologis manusia, sesuai dengan fitrahnya, memerlukan nilai-nilai keadilan. Sebab, dengan tegaknya keadilan di tengah-tengah situasi kemanusiaannya, setiap individu dapat memerankan dirinya sebagai makhluk moral yang merdeka dalam memilih dan berkehendak. Selain itu, keadilan menjadi tonggak utama bangunan masyarakat, apapun agama dan keyakinan yang mereka anut.
Wujud konkret nilai-nilai keadilan pada dalam aspek kemanusiaan adalah sikap "pertengahan" yang telah menjadi salah satu kekhususan umat Islam dan telah menjadi karakteristik metodologi Islam dalam menyelesaikan berbagai persoalan hidup. Para cendekiawan muslim melukiskan sikap itu dengan istilah moderasi, suatu keseimbangan yang terhindar dari jebakan dua kutub ekstrem. Keseimbangan hidup merupakan buah dari kemampuan seseorang dalam memenuhi tuntutan-tuntutan dasar seluruh dimensi dirinya (ruh, akal, dan jasad). Itulah pangkal kesejahteraan dalam maknanya yang sejati. Kesejahteraan paripurna akan melahirkan kebahagiaan hakiki. Itu sebabnya keseimbangan yang sempurna di antara kualitas-kualitas moral yang tampak bertentangan hanya mungkin diwujudkan dengan keadilan, sesuai
dengan makna asasi keadilan ('adalah) yang berasal dari akar yang sama dengan kata keseimbangan (i`tidal). Oleh sebab itu, para ulama menegaskan nilai keadilan sebagai kebaikan yang paling sempurna.
Posisi keadilan dalam kehidupan manusia dan alam semesta amat fundamental. Sebuah hadits Nabi Saw menyebutkan:
”Sesungguhnya orang-orang yang berbuat adil itu kelak di sisi Allah Swt berada di atas mimbar-mimbar cahaya. Yaitu, mereka yang bertindak adil dalam pemerintahan, terhadap keluarga, dan terhadap bawahan mereka.” Konsekuensinya, setiap ketidakadilan dan kezaliman harus dipandang sebagai tindakan dosa dan kejahatan terhadap manusia dan kemanusiaan. Kezaliman itu kegelapan, sedangkan keadilan itu cahaya. Maka, kewajiban menegakkan keadilan dan menumbangkan segala bentuk kezaliman, penindasan, sikap berlebih-lebihan, merugikan orang lain, kebencian, diskriminasi, dan kesewenang-wenangan harus
menjadi bagian dari ideologi Islam. Semangat ini harus mewarnai setiap aksi dan menjadi pola perjuangan otentik manusia sepanjang sejarahnya. Manusia, baik secara individual maupun kolektif, bertanggungjawab menegakkan keadilan dalam seluruh dimensi kehidupan. Sejahtera secara standar berarti aman dan makmur. Aman adalah situasi kemanusiaan yang terbebas dari rasa takut, secara psikis
sejahtera, sedangkan makmur adalah situasi kemanusiaan yang terbebas dari rasa lapar, secara fisik sejahtera. . Firman Allah Swt menegaskan, “Dan Allah telah membuat suatu perumpamaan (dengan) sebuah negeri yang dahulunya aman lagi tenteram, rezekinya datang kepadanya melimpah ruah dari segenap tempat, tetapi (penduduk)-nya mengingkari nikmat-nikmat Allah; karena itu, Allah merasakan kepada mereka pakaian kelaparan dan ketakutan, disebabkan apa yang selalu mereka perbuat." (QS, al-Nahl 16: 112).
Sejahtera mengarahkan pembangunan pada pemenuhan kebutuhan lahir dan batin, agar manusia dapat memfungsikan dirinya sebagai hamba dan khalifah Allah. Kesejahteraan tidak mencerminkan jumlah alat pemenuhan kebutuhan, tetapi keseimbangan antara kebutuhan dan sumber pemenuhannya. Kesejahteraan dalam artinya yang sejati adalah keseimbangan hidup yang merupakan buah dari kemampuan seseorang memenuhi tuntutan-tuntutan dasar seluruh dimensi dirinya (ruh, akal, dan
jasad). Kesejahteraan seperti itu yang akan melahirkan kebahagiaan hakiki bagi bangsa Indonesia.
Kesejahteraan menuntut pengelolaan ekonomi berbasis sektor riil yang menitikberatkan pada kesempatan berusaha di sektor riil bukan semata sektor finansial. Prinsip itu menyetarakan peran kapital (modal) dan usaha (buruh) serta berbasis ekonomi pasar yang memberi kesempatan berkompetisi secara adil. Ekonomi berkeadilan yang mencitakan kesejahteraan untuk semua warga akan terlepas dari penyimpangan moral (moral hazard) akibat tindak kezaliman terhadap sesama manusia maupun tindakan
eksploitatif yang merusak alam. Hanya dengan sistem perekonomian yang berkeadilan terwujudnya pembangunan yang berkesinambungan (sustainable development) yang menjamin kesetaraan sosial (social equity), kelestarian lingkungan (environmental prudence), dan efisiensi ekonomi (economic
efficiency). Semua itu tidak lain merupakan cita-cita bersama umat manusia sedunia (Our Common Future, World Comittee for Environment and Development, United Nation, 1987). Ekonomi yang maju ialah kondisi yang dibangun di atas kesadaran adanya misi peradaban untuk kesejahteraan manusia. Dalam konteks ini, keterpeliharaan moralitas manusia, baik secara individual maupun kolektif, keseimbangan kemajuan ekonomi, kemandirian, kesatuan ekonomi nasional, dan kelestarian alam
semesta menjadi patokan utama pembangunan bangsa. Oleh karena itu, di tengah dinamika meraih kemajuan ekonomi, maka penyimpangan etika, perilaku eksploitatif, konsumtivisme, dan hedonistik-materialistik harus dapat diminimalisasi. Karena, pembangunan ditujukan bukan untuk kemajuan materi saja, melainkan juga demi tetap terpeliharanya sifat asasi dan martabat seluruh manusia. Pada titik itu, kemajuan ekonomi harus benarbenar dapat dinikmati oleh seluruh komponen bangsa, bahkan umat manusia, secara adil.
Atas dasar itu perlu ditegakkan prinsip penyatuan moralitas dan etik dalam seluruh aktivitas ekonomi guna meminimalisasi, bahkan menghilangkan, berbagai bentuk kezaliman. Memprioritaskan kepentingan umum dan kemaslahatan bersama harus dilakukan di atas keuntungan pribadi dan kelompok, guna menjamin hak-hak ekonomi semua pihak dan menghindari dominasi satu pihak terhadap pihak lain. Pengutamaan ini harus menjadi kebijakan yang dipatuhi bersama. Bermartabat menuntut bangsa Indonesia untuk menempatkan dirinya sejajar dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Bangsa yang
bermartabat adalah bangsa yang mampu menampilkan dirinya, baik dalam aspek sosial, politik, ekonomi, maupun budaya secara elegan sehingga memunculkan penghormatan dan kekaguman dari bangsa lain.

Martabat muncul dari akhlak dan budi pekerti yang baik, mentalitas, etos kerja dan akhirnya bermuara pada produktivitas dan kreativitas. Kreativitas bangsa yang tinggi dapat mewujud dalam karya-karya adiluhung dalam berbagai bidang yang tak ternilai. Dari sana muncul rasa bangga pada diri sendiri dan
penghormatan dari bangsa lain. Martabat memunculkan rasa percaya diri yang memungkinkan kita berdiri sama tegak, dan tidak didikte oleh bangsa lain. Untuk itu semua warga negara dapat mengambil peran dalam membangun negara sehingga menjadi masyarakat madani berdaya dan berkeadilan, masyarakat yang tidak mudah dipatronisasi oleh kekuatan manapun. Sebab, kehidupan sosial manusia di muka bumi akan lebih tertata dengan sistem sosial yang berkeadilan walau masih disertai suatu perbuatan dosa, daripada dengan sistem tirani yang zalim. Kewajiban individu untuk menegakkan keadilan harus dipandang sebagai prosedur regulatif bagi tindakan sosial dan etik, sehingga akhirnya menghasilkan keadilan sosial yang efek kebaikannya akan dirasakan bersama.

Substansi keadilan sosial ialah terciptanya suatu masyarakat yang di dalamnya tidak ada lagi pihak yang dinafikan kebutuhan dasarnya. Setiap individu mendapat hak-hak sosialnya secara penuh dan utuh, memperoleh jaminan sosial secara proporsional, serta manfaat dari sumber-sumber daya alam dan kekayaan negara dapat dinikmati oleh semua elemen masyarakat. Dalam waktu yang sama ia harus melaksanakan segala sesuatu yang menjadi tanggungjawab sosialnya dalam rangka merealisasikan keadilan menyeluruh dalam kehidupan. Hak-hak ini merangkumi semua hakhak individual dan sosial manusia Indonesia yang bermartabat. Tegaknya keadilan sosial akan mewujudkan masyarakat yang
egaliter dan menghargai orang berdasarkan keutamaan dan prestasinya, bukan pada etnisitas, entitas, keturunan, dan faktor bawaan lainnya. Oleh sebab pluralitas kebudayaan merupakan realitas yang melekat dalam sebuah bangsa, masyarakat, atau komunitas, maka perlu kearifan dalam memandang dan
menyikapnya. Islam mengajarkan kepada umatnya untuk berlaku adil kepada setiap komunitas atau bangsa dengan cara menghargai kebudayaannya.

Dalam konteks Indonesia yang mayoritas penduduknya Muslim, maka secara budaya dan agama, Islam dapat tampil memberikan model masyarakat yang bisa mempertemukan nilai-nilai keislaman dengan pluralitas budaya lokal dan sekaligus aspirasi kemodernan dalam sebuah rumah besar bernama Indonesia. Hal itu mensyaratkan pandangan keagamaan yang lebih menekankan aspek substansial yang universal daripada simbolik, dan tumbuhnya sikap saling menghargai serta kearifan di kalangan masyarakat. Dalam kerangka itulah kita memandang dan menyikapi pluralitas kebudayaan hingga pada akhirnya dapat memperkaya kebudayaan nasional menjadi satu sistem yang indah, efektif, dan saling
bersinergi. Pluralitas sebagai karunia Tuhan, baik itu terkait dengan ras, budaya maupun profesi, seharusnya dilihat sebagai suatu kekayaan yang patut dikelola dengan penuh keadilan bagi bangsa
yang bermartabat. Semua itu adalah kondisi yang kita citakan sekaligus, kondisi kehidupan berdakwah yang diharapkan, yang bermuara pada terjaminnya manusia dalam memenuhi lima kebutuhan primer
hidupnya, yakni perlindungan atas: agama, jiwa, akal, harta dan keturunan. Itulah masyarakat Indonesia yang relijius, masyarakat madani, yang seluruh komponennya bekerja sama dalam kebaikan, tolong-menolong dalam mensejahterakan masyarakat dan meningkatkan keimanan. Masyarakat yang adil, sejahtera dan bermartabat, yang melindungi warganya, mewujudkan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan turut menjaga ketertiban dunia. Suatu masyarakat dan bangsa yang dapat berdampingan sejajar dengan bangsa-bangsa lain di dunia, masyarakat dengan budaya khas takwa. Indonesia yang kita citakan adalah masyarakat yang hidup penuh dengan kasih-sayang, yang muda menghormati yang tua, yang tua menghargai yang muda, laki-laki bahu membahu dengan perempuan, dalam pluralitas kebudayaan.

Masyarakat madani merupakan model masyarakat berkeadilan, tatkala keragaman menjadi sumber dinamika bangsa. Para kritikus kreatif-konstruktif memenuhi parlemen, kaum profesional mengisi
kabinet, dan orang-orang bijak yang pemberani menjaga benteng peradilan. Para pengusaha menjadi berkah bagi negara dan rakyat, demikian pula para ulama, cendekiawan dan budayawan berdiri di
garda depan peradaban bangsa. Prajurit dan perwira TNI dan Polri menjadi pengawal negara dan penjaga keamanan yang profesional, sebuah kekuatan yang menyebarkan rasa aman di hati rakyat tanpa
harus kehilangan hak-hak politik yang wajar sebagai warga negara. Kalangan perempuan menjadi saudara kaum lelaki, yang mempunyai hak dan kewajiban yang sama sesuai dengan fitrahnya, dan bekerjasama secara setara bagi kemajuan bangsa. Kaum muda mempunyai peran strategis sebagai pelopor peradaban untuk perbaikan. Setiap kelompok mengembangkan budaya demokrasi produktif, berinteraksi secara positif dengan semangat kebersamaan dalam kerangka persatuan dan kesatuan bangsa. Kami mencitakan Indonesia menjadi negara kuat yang membawa misi rahmat keadilan bagi segenap umat manusia, agar bangsanya menjadi kontributor peradaban manusia dan buminya menjelma menjadi taman kehidupan yang tenteram dan damai.

Misi yang diemban Partai Keadilan Sejahtera

1. Mempelopori reformasi sistem politik, pemerintahan dan birokrasi, peradilan, dan militer untuk berkomitmen terhadap penguatan demokrasi. Mendorong penyelenggaraan sistem ketatanegaraan yang sesuai dengan fungsi dan wewenang setiap lembaga agar terjadi proses saling mengawasi. Menumbuhkan kepemimpinan yang kuat, yang mempunyai kemampuan membangun solidaritas masyarakat untuk berpartisipasi dalam seluruh dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara, yang memiliki keunggulan moral, kepribadian, dan intelektualitas. Melanjutkan reformasi birokrasi dan lembaga peradilan
dengan memperbaiki sistem rekrutmen dan pemberian sanksi-penghargaan, serta penataan jumlah pegawai negeri dan memfokuskannya pada posisi fungsional, untuk membangun birokrasi yang bersih, kredibel, dan efisien. Penegakan hukum yang diawali dengan membersihkan aparat penegaknya dari perilaku bermasalah dan koruptif. Mewujudkan kemandirian dan pemberdayaan industri pertahanan nasional. Mengembangkan otonomi daerah yang terkendali serta berorientasi pada semangat keadilan
dan proporsionalitas melalui musyawarah dalam lembagalembaga kenegaraan di tingkat pusat, provinsi dan daerah. Menegaskan kembali sikap bebas dan aktif dalam mengupayakan stabilitas kawasan dan perdamaian dunia berdasarkan prinsip kesetaraan, saling menghormati, saling menguntungkan, dan penghormatan terhadap martabat kemanusiaan. Menggalang solidaritas dunia demi mendukung bangsa-bangsa yang tertindas dalam merebut kemerdekaannya.
2. Mendorong penciptaan lapangan kerja yang seluas-luasnya serta layak bagi kemanusiaan untuk menghapuskan kemiskinan dan mendorong pemerataan pendapatan dan kesejahteraan melalui program pemberdayaan masyarakat miskin dan sektor informal. Membangun industri nasional yang tangguh dan berdaya saing tinggi, berbasis SDM berkualitas dan kemampuan inovasi teknologi yang memadai dalam rangka mencapai kemandirian bangsa. Mencapai pertumbuhan ekonomi yang bernilai tambah tinggi untuk mewujudjan pembangunan lestari dengan melakukan integrasi antar sektor serta pembangunan
berbasis wilayah dan potensi regional yang berbasis pada masyarakat luas. Membatasi tindakan spekulasi, monopoli dan kriminal ekonomi yang dilakukan oleh penguasa modal dan sumber-sumber ekonomi lain untuk menjamin terciptanya kesetaraan bagi seluruh pelaku usaha demi terwujudnya ekonomi egaliterian.
3. Menuju pendidikan yang berkeadilan dengan memberikan kesempatan yang seluas-luasnya bagi seluruh rakyat Indonesia. Membangun sistem pendidikan nasional yang terpadu, komprehensif dan bermutu untuk menumbuhkan SDM yang berdaya saing tinggi serta guru yang profesional dan sejahtera. Menuju sehat paripurna untuk semua kelompok warga, dengan visi sehat badan, mental spiritual, dan sosial sehingga dapat beribadah kepada Allah SWT untuk membangun bangsa dan negara; dengan cara
mengoptimalkan anggaran kesehatan dan seluruh potensi untuk mendukung pelayanan kesehatan berkualitas. Mengembangkan seni dan budaya yang bersifat etis dan relijius sebagai faktor penentu dalam membentuk karakter bangsa yang tangguh, disiplin kuat, etos kerja kokoh, serta daya inovasi dan kreativitas tinggi. Terciptanya masyarakat sejahtera, melalui pemberdayaan masyarakat yang dapat
mewadahi dan membantu proses pembangunan berkelanjutan.
PK Sejahtera meyakini bahwa pembangunan merupakan hak sekaligus kewajiban masyarakat, bukan hanya negara. Karenanya pemberdayaan masyarakat, baik dalam aspek politis maupun ekonomis, akan mengantarkan rakyat pada posisi sejajar sebagai mitra pemerintah, yang duduk satu meja bersama-sama untuk mencapai situasi saling menguntungkan. PK Sejahtera memandang partisipasi total masyarakat madani, pengusaha, pemerintah serta kerjasama internasional, yang merupakan lintas komponen dan
aktor, adalah sebuah keniscayaan dalam mengelola pembangunan. Semua itu dilaksanakan dalam kerangk yang bersifat integral, global dan universal menuju keadilan dan kesejahteraan.Sektor swasta adalah operator pembangunan utama, sementara pemerintah mengambil peran regulasi. Berbagai kekurangan di
antara kedua sektor itu ditutupi oleh peran sektor ketiga, kelompok masyarakat madani yang berbasis kompetensi. Ketiga komponen negara ini adalah aktor pembangunan nasional yang mesti bekerjasama secara egaliter tanpa ada upaya saling mendominasi.
Dalam bingkai egalitarianisme, pemerintah sedapat mungkin mengambil fungsi minimalis menjadi fasilitator dan dinamisator melalui berbagai regulasi strategis. Pemerintah yang berkuasa sebagai entitas politik adalah produk dari amanat rakyat, karena itu tidak boleh menciderai amanat untuk melayani semua warga dari manapun afiliasi sosial-politiknya. Agar roda pembangunan yang digerakkan rakyat (sektor swasta dan sektor ketiga) dapat terlaksana dengan baik, maka pemerintah menyusun regulasi
melalui seperangkat peraturan perundangan yang non-diskriminatif. Berbagai upaya, program dan kebijakan pemerintah secara prinsip adalah cerminan dari platform partai yang memenangkan Pemilu
secara demokratis. sejahtera dan bermartabat menjadi fasilitator dan dinamisator melalui berbagai regulasi strategis. Sebagai wujud dari rasa tanggung-jawab politik PK Sejahtera bagi kehidupan bangsa dan negara, untuk turut serta berperan aktif sebagai bagian dari penyelesaian masalah bangsa, dalam rangka
mewujudkan Indonesia yang adil, sejahtera dan bermartabat, sebagaimana yang dicitakan PK Sejahtera, maka disusunlah Platform Kebijakan Pembangunan PK Sejahtera sebagai arah dan pedoman perjuangan bagi kader dan sekaligus komitmen politik partai. Komitmen politik ini adalah konsepsi kebijakan
pembangunan yang akan diperjuangkan PK Sejahtera.
Dengan demikian menjadi jelas posisi Platform Kebijakan Pembangunan PK Sejahtera ini dengan peran sektor pemerintah dalam pembangunan melalui berbagai regulasi yang digulirkannya. Platform ini terdiri dari tiga bidang besar, yakni politik, perekonomian dan sosial-budaya yang saling terkait satu sama lain.
MPP PK Sejahtera.#
Teruskan baca - Indonesia Yang Dicita-citakan Partai Keadilan Sejahtera

Paradigma Partai Keadilan Sejahtera (bagian I)

Terminologi yang muncul di tengah kehidupan modern untuk menggambarkan aktivitas perubahan sosial terencana adalah pembangunan. Sejak akhir tahun lima puluhan dan awal tahun
enam puluhan, pembangunan disamakan artinya dengan kemajuan dan modernisasi. Menurut konsep ini, perbaikan lingkungan fisik atau kemajuan material merupakan fokus dari berbagai aktivitas pembangunan. Negara sedang berkembang atau negara terbelakang diartikan sebagai negara yang dalam bidang industri, ekonomi, teknologi, kelembagaan, dan kebudayaan sedang
berusaha untuk maju meniru model negara maju di Barat. Implementasi konsep pembangunan semacam itu akan menihilkan perlindungan terhadap lima aspek utama kebutuhan dasar manusia
(agama, jiwa, akal, harta dan keturunan). Karena itu, perlu dilakukan kajian mendalam atas konsep pembangunan yang akan diterapkan. Urbanisasi dan industrialisasi melahirkan masalah
kebodohan, kemiskinan, pengangguran, kelaparan dan rasa tidak tenteram. Berbagai analisis mutakhir atas dampak ideologi developmentalisme Barat memperlihatkan suatu simpulan, bahwa
pembangunan telah menyeret manusia kepada enam ancaman serius: industri yang tak terkendali; mengeringnya sumber-sumber alam (seperti energi, hutan, pangan dan air); tekanan per kapita
yang telah melampaui titik kritis atas tanah dan lingkungan; limbah industri dan rumah tangga yang terus bertambah; perlombaan senjata nuklir, kimia dan biologi; dan pertumbuhan serta
penyebaran penduduk dunia secara tidak terkendali.

Dalam semua itu manusia lebih diposisikan sebagai alat pembangunan.Bangsa Indonesia harus segera merumuskan ulang paradigma pembangunannya dengan menyaring konsep yang datang dari luar secara kritis dan tepat, dan berani mengungkapkan gagasan – gagasan orisinalnya. Penyusunan Platform Kebijakan pembangunan PK Sejahtera melandaskan diri pada paradigma nasional (konsensus nasional), peraturan perundangan yang berlaku, AD/ART, Renstra, serta Falsafah Dasar Perjuangan Partai.
Secara obyektif dalam bingkai negara, maka Platform Kebijakan Pembangunan PK Sejahtera ini didasarkan pada paradigma dan konsensus nasional. Pancasila sebagai Dasar Negara secara
konsepsional mengandung nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa (tauhid), Demokrasi (syura), Hak Asasi Manusia (maqashid syari’ah), Pluralitas Persatuan dan Kesatuan, dalam semangat kekeluargaan dan kebersamaan yang harmonis serta untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Nilai-nilai tersebut menjadi landasan idiil kehidupan bersama; serta nilai-nilai dalam UUD digunakan sebagai landasan konstitusional Platform Kebijakan Pembangunan ini.

Tujuan didirikannya PK Sejahtera, sebagaimana tertuang dalam Anggaran Dasar PK Sejahtera pasal 5, yaitu:
(1) Terwujudnya cita-cita nasional bangsa Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia tahun 1945; dan
(2) Terwujudnya masyarakat madani yang adil dan sejahtera yang
diridlai Allah subhanahu wa ta'ala, dalam Negara Kesatuan
Republik Indonesia.

PK Sejahtera menyadari pluralitas etnik dan agama masyarakat Indonesia yang mengisi wilayah beribu pulau dan beratus suku yang membentang dari Sabang hingga Merauke, yang dilalui garis
khatulistiwa. Berdasarkan atas pemahaman tersebut, maka butir - butir pemikiran dalam Platform Kebijakan Pembangunan ini dirumuskan.

Renstra PK Sejahtera 2005-2010 menjadi landasan operasional Platform Kebijakan Pembangunan dalam rentang waktu tersebut. Renstra yang menjadi arah pergerakan PK Sejahtera selama interval waktu 2005-2010 ini mengamanatkan 14 butir arah perjuangan dalam melipatgandakan aset-aset mobilitas dan pencitraan dalam rangka membangun diri menjadi Partai Dakwah yang kokoh untuk melayani dan memimpin bangsa.

Urgensi Ideologi

Ideologi sebagai istilah mulai diperkenalkan selama Revolusi Perancis oleh Antoine Destutt de Tracy dan pertama kali digunakan ke publik pada tahun 1796. Bagi Tracy, ideologi dimaksudkan
dengan “ilmu tentang ide” yang diharapkan dapat mengungkap asal-muasal dari ide-ide dan menjadi cabang ilmu baru yang kelak setara dengan biologi atau zoologi. Namun, makna ideologi berubah di tangan Karl Mark melalui kerja awalnya dalam buku The German Ideology yang ditulis bersama F. Engels. Sebagaimana penjelasan Frank Bealey (Blackwell, 2000), kini
ideologi lebih diartikan sebagai sistem berpikir universal manusia untuk menjelaskan kondisi mereka, berkaitan dengan proses dan dinamika sejarah, dalam rangka menuju masa depan yang lebih baik. Berakar pada kaum liberalis, ideologi diartikan sebagai sistem kepercayaan individu tentang dunia yang lebih baik, sehingga tampak sebagai pola berpikir (mind-set) bagi penganutnya. Ideologi pun dapat dilihat sebagai “cara pandang dunia” (world view) penganutnya untuk menilai situasi keseharian mereka dalam rangka mencari jalan untuk mewujudkan kehidupan terbaik di masa yang akan datang. Namun berdasarkan kecenderungan masyarakat masa kini, ideologi dipandang sebagai kumpulan ide atau konsep mengenai cara hidup (way of life) diwarnai oleh budaya dan tatanan masyarakat serta kehidupan politik. Ideologi memiliki unsur konsep atau ide yang diyakini serta diaplikasikan sebagai cara pandang menghadapi masa depan. Ideologi sarat dengan dimensi “keyakinan” dan “utopi”. Ideologi adalah sistem kepercayaan atau tata nilai yang diperjuangkan dan dijabarkan secara sadar oleh para pemeluknya dalam totalitas kehidupan, terutama dalam jagad sosial-politik. Ideologi menjadi visi yang komprehensif dalam memandang sesuatu, yang diformulasi secara sistemik dan ilmiah dari seseorang atau sekelompok orang mengenai tujuan yang akan dicapai dan segala metode pencapaiannya. Ideologi berisi pemikiran dan konsep yang jelas mengenai Tuhan, manusia dan alam semesta serta kehidupan, dan mampu diyakini menyelesaikan problematika kehidupan. Dalam konsep ini, maka tidak ada manusia yang dapat hidup tanpa ideologi. Manusia tanpa ideologi hanya akan mengejar kemajuan material, namun mengalami kehampaan dalam aspek emosional dan spiritual, sehingga teralienasi dan kehilangan identitasnya yang sejati, lalu mereka mengalami disorientasi dan kegersangan hidup. Ideologi menyediakan kejelasan arah bagi manusia, dorongan, pembenaran dan dasar bagi aktivis untuk bergerak menggulirkan agenda dan aksi-aksinya. Karenanya, ideologi menyediakan elan vital, etos, dan bahkan militansi perjuangan. Semangat rela berkorban adalah refleksi keyakinan ideologis.

Dimensi “ide” dari ideologi memberikan bingkai konsepsi bagi pemahaman, arah perjuangan, dan dasar pergerakan bangsa. Sementara dimensi “keyakinan” dan “utopi” memunculkan komitmen, militansi, dan fanatisme positif yang memicu gairah dan darah perjuangan, sekaligus memompakan api semangat rela berkorban. Itulah yang terjadi di awal-awal kemerdekaan atau masa jauh sebelum kemerdekaan di era para pendiri bangsa ini berjuang bahu-membahu merebut kemerdekaan. Orde Lama dengan Demokrasi Terpimpin, yang kemudian dilanjutkan Orde Baru dengan pragmatisme politiknya, praktis memandulkan ruh ideologi dari hati manusia-manusia Indonesia. Orde Baru dengan jargon pembangunan-isme telah mengarahkan mata bangsa Indonesia hanya pada pembangunan ekonomi. Moderenisasi, pasar bebas, hubungan-hubungan pembangunan yang lebih mementingkan tujuan jangka pendek, tumbuhnya elit kelas menengah yang sibuk dengan profesi, serta kompromikompromi pragmatis, meminimalkan perhatian orang pada aspek ideologi. Jargon yang diadopsi adalah seperti apa yang dikatakan Deng Xiao Ping, “Tidak penting apakah kucing berwarna hitam atau abu-abu, yang penting dapat menangkap tikus.”
Di sisi lain, asas tunggal Pancasila yang dipaksakan penguasa melalui indoktrinasi, tafsir tunggal dan sakralisasi terbukti tidak membawa kebaikan bagi bangsa ini. Stigma anti-Pancasila sebagai
alat penghalau musuh-musuh politik Orde Baru secara represif telah menjadi trauma politis-ideologis yang masih membekas. Kondisi itu menjadi sangat mengenaskan ketika praktek sehari-hari rezim Orde Baru justru sama sekali tidak mencerminkan, bahkan mengingkari jiwa Pancasila. Pancasila menjadi mantra yang indah diucapkan, namun tidak pernah dipraktekkan. Maka, badai yang dituai kemudian adalah kemunafikan massal yang dipertontonkan penguasa otoritarian-militeristik. Berbeda dengan China yang merasa sebagai bangsa besar dan dengan budaya kuno tinggi warisan ribuan tahun, atau Jepang yang melalui jalur tenno heika merasa sebagai bangsa keturunan Dewa Matahari (Amaterasu), maka Indonesia kontemporer Tampak merunduk lesu secara ideologis. Tidak ada cita-cita besar dan heroisme untuk membangun peradaban adiluhung sebagai bangsa besar.

Budayawan Koentjaraningrat menyebut kita mengidap budaya “menerabas” budaya potong-kompas, budaya miopis (rabun dekat). Ingin cepat sukses, kaya, atau berkuasa dengan usaha sedikit, dan kalau perlu tabrak aturan. Tak mampu melihat masa depan yang jauh, paling banter melihat dalam periode “lima tahunan”. Budaya “menanam jagung” yang tiga bulanan, ketimbang budaya “menanam jati” yang harus menunggu puluhan tahun. Budaya “jalur cepat” menuju sasaran, kalau perlu melangkahi kepala orang. Budaya selebritis instan yang ingin populer dalam sekejap. Atau, budaya “satu hari untung beliung”. Penyakit kronis yang kita idap adalah kurang menghargai mutu, memburu rente dalam ekonomi, politik uang dalam kekuasaan, gelar palsu dalam pendidikan, barang tiruan dalam perdagangan, serta budaya judi di kampung-kampung.

Dalam budaya pragmatis dan hedonis itu, ideologi tak mendapat tempat, idealisme hanya tersisa di pojok-pojok sempit ruang kuliah atau kelompok diskusi publik. Kita sempat bangga ketika pesawat N-250 diluncurkan, seratus prosen buatan anak bangsa, terbang fly by wire di atas dirgantara pertiwi. Rasa percaya diri dan nasionalisme produktif menyembul di balik baling-balingnya. Namun, emosi itu segera padam bersama diobralnya industri unggulan kita ke pihak asing serta dicabutnya subsidi bagi berbagai industri strategis.Selanjutnya, satu pertanyaan harus kita ajukan, apakah bangsa ini masih punya ”mimpi” untuk menjadi negara besar? Atau sekedar menjadi soft nation, bangsa yang lembek tanpa militansi. Atau hari-hari berjalan business as usual, rutin, tanpa digerakkan oleh ”masa depan” yang menantang. Bangsa ini perlu kembali menata cara pandang, membiakkan mimpi, memfokuskan masa depan, membangun gairah dan militansi, serta menancapkan cita-cita besar yang hidup dan terasakan di dalam hati. Sehingga energi bangsa ini tidak terbuang dalam gerak chaotic melingkar, namun mengalir sinergis dan fokus. Untuk itu, kita butuh kehangatan ideologi. Tanpa ideologi manusia hanya berlari mengejar peradaban materi, namun hampa dalam aspek emosi dan spirit. Secara kolektif jadilah kita bangsa yang adem-ayem, miskin romantika —negara besar, namun dipenuhi dengan manusia kerdil yang tidak punya utopi.

Falsafah Dasar Perjuangan

PK Sejahtera, sebagai entitas politik nasional, secara subyektif berjuang dengan dasar aqidah, asas, dan moralitas Islam untuk mencapai tujuan terwujudnya masyarakat madani yang adil, sejahtera dan bermartabat. Bersama-sama dengan entitas politik lainnya secara kompetitif berjuang untuk mecapai cita-cita nasional. Islam secara eksternal adalah bentuk diferensiasi dan sekaligus positioning PK Sejahtera sebagai entitas politik nasional berhadapan dengan entitas politik lainnya. Di sisi lain dengan menjadikan Islam sebagai aqidah, asas dan basis moral, maka PK Sejahtera berkeyakinan dan ingin menegaskan, bahwa secara internal-subyektif aktivitas politik adalah “ibadah”, yang apabila bertujuan untuk kemaslahatan umat, didasarkan pada niat yang ikhlas untuk mencari ridha Allah SWT, dan dilaksanakan dengan cara-cara yang baik dengan akhlak terpuji, maka aktivitas ini menjadi ibadah yang bernilai “amal shalih”.

Itulah dasar PK Sejahtera secara internal-subyektif dalam menghimpun kader-kadernya dalam barisan yang rapi untuk memperjuangkan aspirasi umat dan mencapai tujuan nasional. Atas dasar itu pula dibangun elan vital, etos, dan bahkan militansi perjuangan para kader, termasuk semangat rela berkorban. Dengan keyakinan, bahwa aktivitas politik bukan sekedar kegiatan profanduniawi, namun sarat dengan dimensi sakral-relijius-ukhrawi yang bernilai ibadah, maka dipercaya, bahwa politik bukanlah alat untuk sekedar mengejar kemajuan material-kekuasaan, tetapi hampa dalam aspek emosional-spiritual, sehingga para kader teralienasi dan kehilangan identitas diri yang sejati, lalu mereka mengalami disorientasi dan kegersangan hidup. Sebaliknya, aktivitas politik dapat menjadi ruang ekspresi dan menguak potensi diri, sarana untuk peningkatan kapasitas diri, dan juga sebagai tempat bagi kader untuk berkhidmat kepada publik, sebagai bagian dari bentuk pengkhidmatan mereka terhadap agama yang sarat dengan aspek spiritualitas dan kemanusiaan. Darah pergerakan itu menjadi mungkin dengan menempatkan Islam secara internal-subyektif sebagai aqidah, asas, dan moralitas perjuangan Partai Keadilan Sejahtera.

Substansi moralitas perjuangan PK Sejahtera sendiri adalah bersih, peduli dan profesional.
Dalam tataran kenegaraan, PK Sejahtera meyakini, bahwa pluralitas etnik dan ideologis masyarakat Indonesia yang mengisi wilayah beribu pulau dan beratus suku yang membentang dari Sabang hingga Merauke—yang melebihi panjang dari pantai barat sampai pantai timur benua Amerika—adalah sebuah realita kebhinekaan yang nyata dan obyektif. Indonesia bagai zamrud khatulistiwa, sebagai benua maritim, paru-paru dunia, dengan biodiversitas yang berlimpah, kekayaan alam di darat maupun di laut, secara geografis dan demografis memperlihatkan fakta empiris kekayaan alam disamping pluralitas kekayaan budaya itu.Secara khusus Platform Kebijakan Pembangunan PK Sejahtera didasarkan pada Falsafah Dasar Perjuangan PK Sejahtera. Kondisi “Indonesia Baru” yang kita inginkan sesuai dengan arahan ini adalah kondisi ideal normatif yang menjadi harapan masyarakat, bangsa dan negara. Sesuatu yang kita idam-idamkan bersama, sesuai dengan cita-cita dan tujuan luhur bangsa, yakni “masyarakat yang adil, sejahtera, dan bermartabat”.
Dengan demikian, maka arah pembangunan Indonesia yang kita citakan adalah terbentuknya masyarakat yang menjadikan nilai-nilai tauhid sebagai landasan tata kehidupan mereka. Di dalamnya terisi dengan individu-individu yang bebas dari sikap menzalimi diri sendiri.Berkumpul dalam keluarga yang egaliter yang menjadi basis internalisasi dan ideologisasi nilai-nilai kebaikan dan keimanan. Di antara kaum laki-laki dan perempuan terikat dalam relasi yang proporsional saling melengkapi dalam rangka merealisasikan “amanah” penciptaan manusia. Hak-hak masyarakat terdistribusi secara proporsional hingga terbangun kesederajatan sosial dan kehidupan yang tenteram dan dinamis menuju terbentuknya masyarakat madani. Manusia Indonesia hidup dalam tatanan kekuasaan yang demokratis, berjalan dalam koridor hukum dan agama, dan rakyat memperoleh hak-hak politiknya secara penuh. Di sana tegak persamaan hak di hadapan hukum bagi setiap orang dengan prosedur dan mekanisme yudisial yang berkeadilan. Mereka berusaha dalam sistem ekonomi egaliter, sebagai cermin dari ekonomi yang berkeadilan, yang memungkinkan perilaku ekonomi yang adil dan memberikan akses yang sama pada seluruh rakyat sehingga kekayaan tidak menumpuk hanya pada segelintir orang yang memicu jurang kesenjangan. Dimana pemanfaatan dan pengendalian ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) secara etis sebagai modal dasar pembangunan peradaban untuk kesejahteraan manusia Indonesia dan kemandirian bangsa. Warnawarni kehidupan mencerminkan pluralitas kebudayaan sebagai entitas yang berinteraksi secara harmonis menuju kemajuan peradaban. Individu dan masyarakat mendapat pendidikan yang integratif untuk membangun manusia yang mampu merealisasikan“amanah” penciptaannya menuju kehidupan sejahtera dan kemajuan bangsa.Itulah masyarakat yang relijius, masyarakat madani, yang seluruh komponennya bekerja sama dalam kebaikan, tolong-menolong dalam mensejahterakan masyarakat dan meningkatkan keimanan. Masyarakat yang adil dan makmur, yang melindungi warganya, mewujudkan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan turut menjaga ketertiban dunia. Suatu masyarakat dan bangsa yang hidup berdampingan sejajar dengan bangsa-bangsa lain di dunia, masyarakat dengan budaya takwa.
Indonesia yang kita citakan adalah kondisi masyarakat yang hidup penuh dengan kasihsayang, yang muda menghormati yang tua, yang tua menghargai yang muda, laki-laki bahu membahu dengan perempuan, dalam pluralitas kebudayaan. Semua itu adalah kondisi yang kita citakan sekaligus kondisi kehidupan berdakwah yang diharapkan, yang bermuara pada terjaminnya manusia dalam memenuhi lima kebutuhan primer hidupnya, yakni perlindungan atas agama, jiwa, akal, harta dan keturunan. Hakikat Dakwah
Dakwah Islam pada hakekatnya merupakan aktifitas terencana untuk men-transformasi individu dan masyarakat dari kehidupan jahiliyyah ke arah kehidupan yang mencerminkan semangat dan
ajaran Islam. Proses transformasi individu yakni pembentukan pribadi-pribadi muslim sejati (syakhsiyyah islamiyah) dilakukan dalam kerangka transformasi sosial. Sebab terbentuknya pribadi muslim sejati bukanlah tujuan akhir. Oleh karena itu pribadi-pribadi ini mesti memperkaya kualitas dirinya untuk mengemban amanah dakwah (syakhsiyyah da’iyyah), sehingga mampu berperan aktif dalam melakukan transformasi sosial. Dakwah yang dibutuhkan untuk memperbaiki umat adalah suatu gerakan dakwah yang menyeluruh (dakwah syamilah), dakwah yang mampu mempersiapkan segala kekuatan untuk menghadapi segala medan yang berat dan rumit.
Kekuatan utama Partai Dakwah adalah para kader dakwah itu sendiri. Dakwah harus mampu mencetak kader-kader yang handal dari berbagai latar belakang kemampuan dan kemahiran yang saling bertaut memberdayakan umat. Dakwah membangun kekuatan SDM dalam suatu jaringan dan barisan, kesamaan fikrah, kesatuan gerak dan langkah, dan kejelasan visi dan misi yang diembannya melalui suatu orkestra kepemimpinan yang cerdas, tangguh dan amanah.

Grand Strategy Dakwah

Strategi PK Sejahtera sebagai Partai Dakwah (khuthuth ‘aridhah) dalam transformasi bangsa, adalah gerakan kultural (strategi mobilisasi horizontal/ta’biah al afaqiyah) dan gerakan struktural (strategi mobilitas vertikal/ ta’biah al amudiyah). Mobilisasi vertikal adalah penyebaran kader dakwah ke berbagai lembaga yang menjadi mashadirul qarar (pusat-pusat kebijakan), agar mereka dapat menterjemahkan konsep dan nilai-nilai Islam ke dalam kebijakan-kebijakan publik. Sedangkan mobilisasi horizontal adalah penyebaran kader dakwah ke berbagai kalangan dan lapisan masyarakat untuk menyiapkan masyarakat agar mereka menerima manhaj Islam serta produk kebijakan yang Islami. Gerakan kultural (strategi mobilisasi horizontal) dilakukan melalui penyebaran kader ke berbagai kalangan dan lapisan masyarakat
untuk menggerakkan peran serta masyarakat dalam mentransformasi diri sendiri. Dalam gerakan kultural ini, maka kader secara individual maupun melalui lembaga-lembaga kemasyarakatan, yayasan/ormas, dan berbagai lembaga/organisasi lainnya, melaksanakan pelayanan, penyuluhan dan perbaikan masyarakat secara bottom-up.
Kader PKS akan bergerak bersama masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembangunan di berbagai aspek kehidupan, baik sosial, ekonomi, budaya, lingkungan hidup, kependudukan, kewanitaan, kemiskinan, dan sebagainya. Karenanya, dibutuhkan dan harus ditumbuhkan kader-kader yang profesional dalam berbagai bidang kehidupan untuk dapat bergerak bersama masyarakat. Dalam menjalankan gerakan kultural penyebaran kader dakwah ke berbagai kalangan dan lapisan masyarakat, dimungkinkan terbangunnya aliansi strategis antara Partai Dakwah dengan simpul simpul kepemimpinan kantong-kantong kultural masyarakat (mashadirul quwwah) sehingga terbangun suatu barisan massa yang menerima dan mendukung nilai-nilai dakwah.
Aliansi strategis yang terbangun merupakan bentuk kepercayaan atau mandat yang diberikan masyarakat kepada Partai Dakwah untuk selalu berjuang membela kepentingan masyarakat.

Gerakan struktural adalah penyebaran kader ke dalam lembaga legislatif, eksekutif, yudikatif dan sektor-sektor lain dalam kerangka melayani, membangun dan memimpin bangsa, melalui mekanisme konstitusional sebagai partai politik yang ikut pemilu dan pembinaan profesionalisme kader. Tujuannya adalah untuk berkontribusi dalam membangun sistem, membuat kebijakan publik, regulasi dan perundangan yang secara struktural dan topdown digunakan sebagai pedoman dalam rangka transformasi masyarakat. Gerakan struktural ini sekaligus berpartisipasi dalam implementasi dan pengawasan pembangunan bangsa. Dalam menjalankan gerakan struktural, dengan dasar kesamaan falsafah atau platform, dimungkinkan terbangunnya strategic partnership antara Partai dakwah dengan lembaga dan tokoh yang mempunyai kekuatan untuk merumuskan kebijakan (mashahidur qoror) sehingga terbangunnya suatu lapisan pemikiran yang menghasilkan kebijakan yang membela rakyat.
Grand Strategy transformasi bangsa yang diusung PK Sejahtera ini tidak lain dari kombinasi antara gerakan kultural dengan struktural, kombinasi antara perubahan yang bersifat bottom-up dengan topdown yang merupakan ciri khas PK Sejahtera sebagai Partai dakwah. Grand Strategy transformasi bangsa PK Sejahtera ini adalah suatu gerakan yang menyeluruh dalam berbagai sektor kehidupan (sektor publik, sektor swasta, dan sektor ketiga) yang bertumpu pada kader dengan berbagai disiplin ilmu dan profesi dengan kekuatan integritas moral-relijius dan kualitas-profesional. PK Sejahtera sebagai Partai Dakwah berupaya mengoptimalkan kader dalam berbagai disiplin ilmu untuk berkembang dan berfungsi mendukung dan memperkuat gerakan kultural dan struktural transformasi bangsa.

Mobilitas Kader

Dakwah dapat ditegakkan secara utuh bila bertumpu pada dua sayap, yakni sayap syar’iyah dan sayap kauniyah. Sayap syar’iyah bermakna bahwa segala kebijakan dan arah dakwah bersandar kepada aturan-aturan Allah SWT dan Rasulullah SAW sebagaimana yang tertulis dalam al-Qur’an dan as-Sunnah. Sedangkan sayap kauniyah adalah segala aturan, sifat, tabiat dan ketentuan yang terjadi di alam semesta yang merupakan sunnatullah. Dengan sayap syar’iyah, amal islami selalu berada pada jalan yang benar dan selalu terjaga asholahnya. Melalui sayap kauniyah, amal islami ini menjadi dinamis dan bersesuaian dengan tabiat kauniyah. Keduanya dilihat sebagai saling melengkapi, Karena efektifitas dan dinamika amal islami akan tidak menentu arah dan tujuannya apabila tidak dipagari oleh rambu-rambu syar’iyah.

Sebaliknya, amal islami yang berjalan menuju tujuan yang benar akan terasa monoton dan kurang dinamis tanpa dilengkapi dengan sayap kauniyah. Partai Keadilan Sejahtera sebagai Partai Dakwah berupaya mengoptimasi potensi dan kemampuan (istighalul amsal lil kafa’ah) kader, baik yang berada pada sayap syar’iyah maupun kauniyah, dengan tujuan agar seluruh potensi kader yang terhimpun dapat berkembang dan berfungsi optimal, untuk mendukung dan memperkuat gerak dan perkembangan dakwah. Sasaran mobilitas kader sebagaimana telah dijelaskan adalah penyebaran kader ke berbagai pusat kekuatan dan kekuasaan dalam rangka mempengaruhi, merumuskan, menerjemahkan, dan mengimplementasikan kebijakan publik agar sesuai dengan nilai-nilai Islam.

Dengan demikian, maka ada paling sedikit tiga tahap dalam strategi mobilitas vertikal, yaitu: Pertama, penyebaran kader dakwah ke organisasi/lembaga di berbagai sektor kehidupan menuju pusat kekuatan dan kebijakan. Kedua, penapakan karir kader dakwah dalam organisasi/lembaga tersebut. Ketiga, berperan dalam mempengaruhi, merumuskan, menerjemahkan, dan mengimplementasikan kebijakan publik agar sesuai dengan manhaj Islam.
Di dalam negara terdapat tiga jenis organisasi/lembaga yang menjalankan fungsi dari seluruh bidang kehidupan, yaitu birokrasi pemerintahan (sektor publik), korporasi swasta (sektor privat) dan organisasi kemasayarakatan (LSM/sektor ke tiga). Dalam kegiatannya setiap individu merupakan bagian dari organisasi/lembaga tersebut, atau berada pada dua sektor atau bahkan ketiganya. Mobilitas kader perlu diarahkan ke berbagai organisasi sektor kehidupan, kemudian menapaki kurva karir dalam setiap sektor yang digeluti dan bergerak secara vertikal. Sesuai
dengan kemampuan, kecenderungan, dan kesempatan yang tersedia.

Sektor Publik. Organisasi sektor pemerintahan bersemangat utama pelayanan kepada publik, seluruh warga negara tanpa pandang bulu. Pada hakekatnya, organisasi sektor publik dibentuk melalui kontrak sosial, dimana masyarakat memberikan mandat kepada sekelompok orang—sebagai bagian dari mereka—untuk mengatur, mengelola kebijakan publik, sebagai juri untuk mencegah diskriminasi, mencegah penindasan antara satu orang atau kelompok dalam masyarakat kepada orang atau kelompok lain, serta mempromosikan ikatan sosial di antara mereka. Dalamnegara modern, organisasi sektor ini dibentuk melalui kontrak sosial yang terbuka dan demokratis dalam proses politik. Presiden, menteri dan birokrat negara adalah aparat negara dalam sektor publik. Mereka mendapat mandat dari rakyat dalam suatu periode tertentu untuk melaksanakan layanan publik kepada mereka.
Penyebaran kader dakwah sebagai gerakan struktural ke lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif dimaksudkan dalam kerangka partisipasi dalam transformasi bangsa melalui mekanisme konstitusional sebagai partai politik yang ikut pemilu.
Tujuannya untuk berkontribusi dalam membangun sistem, kebijakan publik, regulasi dan perundangan yang secara struktural dan top-down digunakan sebagai pedoman transformasi masyarakat. Gerakan struktural ini sekaligus berpartisipasi dalam implementasi dan pengawasan pembangunan bangsa. Sektor Swasta (private sector).
Organisasi di sektor swasta adalah organisasi sektor kehidupan masyarakat yang semangatnya mencari keuntungan, yang bekerja dalam mekanisme pasar. Karenanya motif yang dikembangkan dalam sektor ini adalah motif ekonomi. Ukuran-ukuran yang ada serta nilai penting yang dianut adalah efisiensi dan produktivitas yang bermuara pada keuntungan material. Sebagian besar masyarakat suatu negara bergerak di sektor ini dalam rangka pemenuhan kebutuhan hidup diri mereka secara ekonomi menuju kemandirian. Ini adalah sunatullah, karena setiap individu mempunyai kewajiban untuk memenuhi kebutuhan dirinya sendiri. Penyebaran kader ke sektor ekonomi, pada prinsipnya adalah perjuangan menuju kemandirian ekonomi yang akhirnya memunculkan kekuatan ekonomi bangsa. Kekuatan ini secara langsung sangat berpengaruh terhadap kekuatan politik dalam perumusan kebijakan publik.

Sektor Ketiga (third sector). Organisasi/lembaga sektor ketiga, pada hakekatnya adalah pelengkap dari organisasi kedua sektor sebelumnya. Pemerintah, dalam melakukan pelayanan publik kepada masyarakat, kadang-kadang dalam batas tertentu, memerlukan bantuan masyarakat. Misalnya, dalam soal pelayanan kesehatan, sosial maupun pendidikan. Peranserta masyarakat ternyata dibutuhkan. Hal ini terjadi bukan saja di negara berkembang, juga di negara-negara maju. Peranserta masyarakat dalam lapangan sosial ini terbukti sangat tinggi. Semangat utama organisasi sektor ini adalah tanggung-jawab individu untuk mengusung tugas sosial mensejahterakan masyarakat. Istilah NGO (Non-Govermental Organization) yang disematkan kepada komponen organisasi sektor ketiga ini membuktikan bahwa organisasi sektor ini adalah komponen nonpemerintah yang mengambil peran komplementatif dalam upaya mensejahterakan masyarakat—sebuah tugas yang secara normatif semestinya dilaksanakan oleh pemerintah.
Sebagai bagian dari masyarakat,organisasi sektor ketiga juga berfungsi untuk mengontrol dan mengawasi kualitas layanan publik pemerintah,termasuk juga terhadap regulasi yang dikembangkan pemerintah. Karenanya organisasi sektor ini bermata dua. Satu matanya dihadapkan kepada masyarakat untuk melaksanakan tugas komplementatif pemerintah dalam pelayanan publik. Sedang mata lainnya
dihadapkan kepada pemerintah untuk mengawasi kualitas pelayanan publik. Penyebaran kader ke berbagai kalangan dan lapisan masyarakat adalah untuk menggerakkan peranserta masyarakat dalam mentransformasi diri mereka sendiri. Dalam gerakan kultural ini, maka kader secara individual maupun institusional melalui yayasan dan ormas yang ada melaksanakan penyuluhan dan perbaikan masyarakat secara bottom-up. Kader PK Sejahtera akan bergerak bersama masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembangunan di berbagai aspek kehidupan. Karenanya dibutuhkan dan harus ditumbuhkan kader-kader yang profesional dalam berbagai bidang kehidupan untuk dapat bergerak bersama masyarakat.

Peluang Mobilitas Vertikal

Secara umum mobilitas vertikal kader sangat ditentukan oleh dua faktor; yakni faktor kualitas dan peluang (jaringan). Kualitas kader berkaitan dengan kredibilitas personal, yakni profesionalitas, integritas moral dan keluwesan sosial. Sedangkan peluang mobilitas vertikal sangat ditentukan oleh kondisi internal dan eksternal. Paling tidak ada empat hal yang berkaitan dengan peluang mobilitas vertikal kader dakwah, yakni perubahan konteks, peran aksi politik, penataan kader dan kondisi obyektif internal. Perubahan Konteks. Dinamika mobilitas dalam sebuah masyarakat sangat ditentukan oleh sifat atau jenis masyarakatnya. Secara ekstrim masyarakat dapat dibedakan dalam dua jenis:

a. Masyarakat feodal atau berkasta (feudal or cascte society)
Dalam masyarakat seperti ini strata sosial ditentukan oleh status bawaan (ascribed status) dan bersifat kaku sehingga mobilitas hampir mustahil terjadi. Masyarakat seperti ini disebut
sebagai masyarakat tertutup (closed society). adalah kasta-kasta di India atau pemisahan priyayi-wong cilik di Jawa yang hampir tidak memungkinkan adanya perubahan strata sosial anggotanya.

b. Masyarakat sederajat (egalitarian society)
Dalam masyarakat seperti ini strata sosial ditentukan oleh prestasi (achieved status) atau meritokrasi dan bersifat cair sehingga mobilitas sangat terbuka lebar. Masyarakat seperti ini disebut sebagai masyarakat terbuka (open society). Contohnya adalah apa yang terjadi di beberapa negara maju yang memungkinkan perubahan strata sosial lebih mudah terjadi.

Sebelum terjadi reformasi, Indonesia lebih cenderung bersifat feodal, sehingga mobilitas agak sulit terjadi. Kecenderungan ini sebenarnya masih terbawa di era reformasi. Meskipun demikian di era reformasi ini ada kecenderungan positif menuju masyarakat yang lebih egaliter. Bila disimpulkan beberapa indikasi ke arah masyarakat egaliter tersebut adalah:

a. Adanya tuntutan transparansi dalam berbagai proses politik, sosial, dan ekonomi (transparency);
b. Adanya permintaan pertanggungjawaban publik atas seluruh posisi-posisi penting negara dari sisi profesionalisme dan sisi moralitas (public accountability).
c. Semakin terbukanya peluang masyarakat untuk terlibat dalam proses-proses politik dan pengambilan kebijakan pembangunan secara umum (participatory management).

Dengan adanya kecenderungan positif tersebut, dalam jangka pendek masyarakat akan condong pada pilihan-pilihan rasional sesuai prinsip meritokrasi. Pada saat inilah peluang-peluang mobilitas vertikal akan terbuka lebar. Peran Amal Siyasi. Seiring dengan perluasan orbit dakwah (mahawir ad-dakwah) dari mihwar tanzhimi (strukturalisasi) dan sya’bi (sosialisasi) ke mihwar muassasi (institusionalisasi) dalam
berbagai program politik, maka peluang dakwah berubah secara dinamis. Dengan digulirkannya dakwah melalui kelembagaan formal ini, kapabilitas internal yang terkait dengan keberadaan institusi dakwah beresonansi dengan dinamika sosial politik yang ada, yang kemudian memunculkan peluang untuk masuk ke pusat-pusat kebijakan. Antara lain, masuknya aktivis dakwah ke dalam lembaga legislatif dan eksekutif. Kondisi di atas perlu ditindak-lanjuti dalam rangka menciptakan peluang mobilitas vertikal, yakni dengan membangun link-birokrasi melalui kekuatan kader politisi, baik dalam eksekutif maupun legislatif.

Meskipun ada kecenderungan pembatasan jabatan politis dalam birokrasi, namun kekuatan link-birokrasi ini dapat memunculkan peluang bagi mobilitas vertikal kader dakwah baik dalam birokrasi maupun lembaga-lembaga negara yang lain. Agenda mobilitas ini sudah tentu sejalan dengan reformasi birokrasi, dan bukan semata-mata mengejar kekuasaan. Penataan kader. Penataan kader internal lebih tampak sebagai upaya penyiapan kualitas kader, melalui pengembangan dan pemungsian potensi kader. Secara kolektif, upaya ini akan memperlebar peluang mobilitas vertikal kader dakwah. Karenanya penataan kader adalah bagian vital bagi perencanaan maupun implementasi kebijakan mobilitas vertikal. Kondisi Obyektif Internal. Memasuki era pelembagaan kondisi internal ditandai dengan proses akselerasi, baik kader maupun infrastruktur dakwah. Secara umum kader dakwah adalah pemuda dengan intelektualitas tinggi yang berada dan berperan di berbagai sektor. Kebijakan mobilitas vertikal mempunyai peluang yang baik untuk dilaksanakan di berbagai sektor. Karenanya penataan kader dan pemunculan peluang menjadi upaya yang strategis. Untuk keberhasilan implementasi konsep mobilitas vertikal kader dakwah, perlu dirumuskan strategi pencapaiannya. Strategi tersebut diturunkan berdasarkan realitas kondisi ekternal dan internal dan dibagi menjadi dua, yakni strategi umum dan strategi khsusus. Strategi umum adalah strategi mobilitas vertikal yang berlaku umum untuk seluruh kelompok strategis, sementara strategis khusus adalah strategi yang diaplikasikan secara khusus untuk kelompok strategis tertentu. Secara umum strategi mobilitas vertikal kader dakwah adalah upaya-upaya strategis dan sistematis berupa kombinasi antara penataan dalam rangka meningkatkan:

a. kredibilitas individual dan
b. penciptaan peluang.
Upaya membangun kualitas individual diarahkan pada tiga aspek,
yakni:
a. kredibilitas profesional (core competence, manajerial, berpikir strategis sesuai dengan bingkai pengembangan potensi),
b. integritas moral dan;
c. kredibilitas sosietal.

Hasil pembinaan kader dengan arahan di atas akan mewujudkan kader dakwah yang mempunyai kredibilitas individual yang professional, bersih dan peduli. Dalam rangka penataan kader dan penciptaan peluang bagi mobilitas vertikal, maka memanfaatkan potensi-potensi yang ada secara harmonis, baik internal maupun eksternal. Pemanfaatan kekuatan eksternal dilakukan dengan cara:

a. pemagangan, yakni bekerja di lembaga-lembaga eksternal untuk menimba pengalaman;
b. interaksi positif dengan pihak-pihak luar;
c. outsourcing terhadap pakar-pakar eksternal, lembagalembaga eksternal dan lain-lain.
d. penataan kader dengan memperhatikan arus luar, sehingga program dakwah sejalan perkembangan masyarakat dan memunculkan sinergisme eksternal melalui upaya
memperbanyak simpul-simpul kesamaan dengan pihak eksternal.

Perumusan proyeksi kader yang memerlukan proteksi, tugas khusus dan evaluasi khusus dalam rangka targeting dan focusing harus dipertimbangkan. Pemberdayaan kader bukanlah proses yang sekali jadi atau seperti menanam jagung yang hasilnya segera dapat dipanen dalam waktu singkat. Proses pemberdayaan kader dalam bingkai pengembangan potensi adalah proses seperti menanam jati”, yang hasilnya baru dapat dipanen puluhan tahun mendatang. Sebagai sebuah proses yang bertahap, proses pembinaan kader memerlukan kesabaran dan wawasan. Untuk memunculkan seorang ahli/pakar di bidang tertentu, maka secara kultural kader harus melalui tahapan demi tahapan jenjang karir (learning curve). Pematangan Diri. Tahap pertama adalah fase pematangan diri. Pada tahapan ini terjadi proses pematangan segenap aspek kader. Indikator kematangan tersebut adalah:

a. matang dalam aspek teknis di bidangnya;
b. matang dalam pilihan profesionalisme;
c. mulai menemukan jatidiri;
d. dikenal di lingkungan profesi di bidangnya.

Pematangan Kemampuan. Tahap kedua adalah fase pematangan kemampuan. Pada tahapan ini terjadi proses pematangan kemampuan pada kader. Indikator kematangan tersebut adalah:

a. pemahaman filosofis bidang profesinya;
b. pemahaman multi aspek pengembangan ilmunya;
c. kemampuan lobby;
d. pemikirannya mulai mempengaruhi kebijakan nasional.

Pematangan Peran. Pada tahap ketiga adalah fase pematangan peran. Pada tahapan ini terjadi proses pematangan peran pada kader. Indikator kematangan tersebut adalah:

a.mulai berperan di tingkat nasional;
b.dikenal di tingkat internasional;
c.mengetahui multi aspek profesinya dan kaitannya dengan profesi lain.

Kearifan Filosofis. Pada tahap keempat adalah fase kearifan filosofis. Pada tahapan ini telah tercapai dan muncul kearifan pada diri kader. Indikator kearifan tersebut adalah:

a. kaya pengalaman di kancah nasional dan internasional;
b. berperan di tingkat international;
c. menjadi rujukan.

Proses pengembangan karir di atas adalah tahapan-tahapan normal. Namun tidak menutup kemungkinan kondisi khusus, dimana seseorang dapat mencapai kematangan dan kearifan filosofis pada usia yang relatif lebih muda. Masalahnya, sulit merekayasa kondisi khusus itu untuk mengakselerasi kematangan kader secara massal. Tahapan pematangan kader di atas mirip dengan konsep stratifikasi kompetensi kader (haramul kafa’ah). Bersama penambahan pengalaman dan kedalaman ilmu, maka seseorang akan terus meningkat dan menajam secara vertikal dari basis:
a. Harakiyah (pergerakan);
b. Fikriyah (pemikiran);
c. Siyasiyah (kebijakan).

Orbit Dakwah

Li kulli marhalatin ahdafuha, li kulli marhalatin rijaluha. Dalam setiap tahapan dakwah ada tujuan dan tokohnya masing-masing. Setiap tahap bersifat unik, bukan sesuatu yang bersifat generik. Itu adalah prinsip dakwah yang tidak dapat diingkari. Kader dakwah perlahan tapi pasti melakukan mobilitas ke berbagai lembaga yang menjadi pusat kebijakan, mengaktualisasikan peran secara lebih maksimal serta mengekspresikan diri secara lebih terbuka, terlibat dalam menerjemahkan konsep dan nilai-nilai Islam ke dalam kebijakan-kebijakan publik. Kader dakwah juga melakukan mobilitas horizontal ke berbagai kalangan dan lapisan masyarakat, menyiapkan masyarakat agar mereka menerima manhaj Islam serta produk kebijakan yang Islami. Sebenarnya tak ada yang luar biasa dengan capaian itu, suatu keniscayaan di tengah eksistensi umat yang mayoritas di negeri ini. Bahkan tidak terlalu salah kalau dikatakan, bahwa capaian itu agak terlambat.
Namun kita juga tidak bisa menolak argumen, bahwaperubahan itu bukanlah suatu proses yang tiba-tiba atau secara simsalabim terwujud, tapi dengan sebuah sebab-musabab dan kerjakeras. Setiap pemenuhan orbit dakwah adalah mukadimah bagi orbit berikutnya. Karenanya mihwar dakwah tidak bersifat diskrit tapi kontinyu, dan perubahan dari mihwar yang satu ke mihwar lainnya merupakan perluasan jenjang pelayanan dan kepemimpinan.Kalau diringkas, aktivitas dakwah kita kini telah melalui tiga fase perjuangannya (mahawir ad dakwah).

Pertama adalah mihwar tanzhimi, pada tahap ini fokus utama dakwah adalah konsolidasi dan pembinaan kader. Tahap ini merupakan suatu keniscayaan dalam membangun kekuatan internal. Karenanya kata kunci gerakan dakwah pada fase ini adalah pengokohan internal, baik dari segi infrastruktur maupun suprastruktur dakwah. Pekerjaan kaderisasi (tajnid) menjadi penekanan, karena itu prinsip yang sering dikemukakan adalah “tarbiyah/pembinaan bukanlah segalanya, namun segalanya dimulai dari tarbiyah”. Dalam tahap ini yang dibangun adalah kekuatan fondasi internal. Potensi pembina menjadi tulang-punggung gerakan dakwah. Konsolidasi internal dan pertumbuhan bola salju dakwah adalah target-target kuantitatif penting yang dikembangkan.
Dalam fase ini yang dibutuhkan pembentukan kepribadian Islami dan da’iyah—sebuah proses yang pekat dengan semangat inward looking dan relatif terlindungi dari pengaruh dunia luar. Pembenaran tahap dan proses ini dalam sirah nabawiyah adalah pada fase Makkah dalam majelis Rasulullah SAW di rumah Arqam bin Abil Arqam.

Orbit kedua dakwah adalah Orbit Masyarakat (mihwar sya’bi) dimana aktivitas dakwah mulai mengalirkan energinya untuk kepentingan masyarakat secara umum melalui gerakan amar ma’ruf wa nahyi munkar, yakni layanan dalam berbagai bidang kehidupan—melalui instrumen organisasi keumatan—terutama dalam bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi rakyat dan berbagai kegiatan lainnya. Kata kunci dalam orbit dakwah ini adalah pelayanan. Dalam orbit ini tak heran kalau rumah sakit-rumah sakit Islam bermunculan, sekolah-sekolah Islam terpadu dan Universitas Islam, BMT dan bank syariah, serta lembaga layanan umat lainnya berdiri. Sudah barang tentu ada banyak berkah dalam orbit ini. Pertama berdirinya berbagai LSM dakwah sebagai wajah untuk berinteraksi dengan publik. Memang wajah itu sendiri—dalam mihwar sya’bi—belum menjadi tujuan dan perhatian utama, namun efek bergandanya tetap ada. Secara sosiologis adanya wajah memudahkan kader dakwah berinteraksi dengan publik. Kedua,tokoh-tokoh internal secara tidak langsung lebih berpeluang untuk muncul ke wilayah publik (syakhsyiyah barizah). Ketiga, munculnya peluang menarik tokoh luar untuk berhimpun di sekitar institusi dakwah. Keempat, secara kelembagaan institusi dakwah yang dibangun berpeluang menjadi lembaga penekan atau lembaga advokasi masyarakat. Kelima, pengelolaan lembaga dakwah secara profesional memungkinkan munculnya optimalisasi potensi dan pengempangan profesi bagi kader dakwah yang mengelola lembaga dakwah tersebut. Ternyata dalam banyak contoh terlihat, bahwa penyatuan antara aspek profesional dan dakwah dalam satu institusi tertentu memunculkan sinergi dan efisiensi yang sangat besar.

Orbit dakwah ketiga adalah Orbit Pelembagaan (mihwar muasasi) dimana kader dakwah mulai masuk ke dalam lembaga publik, baik di parlemen, birokrasi maupun lembaga-lembaga profesi lainnya.Mereka berkontribusi dalam lembaga-lembaga tersebut dengan menampakkan integritas moral serta kualitas profesional dan kepakarannya. Kata kunci dalam Orbit dakwah ini adalah kepakaran. Misi utama kader dakwah naik secara vertikal (mobilitasvertikal) dan melakukan penetrasi ke dalam lembaga-lembaga publik ini adalah untuk mempengaruhi, menerjemahkan, atau merumuskan konsep dan nilai-nilai Islam ke dalam kebijakankebijakan publik yang dihasilkan lembaga-lembaga tersebut. Untuk menjalankan misi ini sudah barang tentu—sekali lagi—menuntut kepakaran kader.

Dakwah dalam sektor publik dapat dibedakan menjadi dua, yakni:
1. Dakwah Parlementer
2. Dakwah Birokrasi

Dakwah parlementer merupakan perluasan medan dakwah, yakni dakwah dalam mimbar resmi negara untuk berjuang secara konstitusional bagi penerapan nilai-nilai Islam dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Dakwah parlemen adalah salah satu bentuk amar ma’ruf nahyi munkar dalam mimbar demokrasi yang mempunyai fungsi kontrol atas pemerintah (hisbah) dalam rangka memperjuangkan nilai-nilai Islam. Dalam mimbar parlemen ini pula dapat diperlihatkan kepada masyarakat, bahwa Islam adalah agama yang sempurna (syamil) dan Islam adalah solusi. Karenanya dakwah parlemen menuntut fungsi:
1. Legislasi (taqnin);
2. Pengawasan (hisbah);
3. Pernyataan publik (tabligh).

Dakwah birokrasi adalah dakwah dalam kancah eksekutif dalam upaya untuk menerjemahkan, mempengaruhi, menafsirkan dan melaksanakan agar kebijakan publik sesuai dengan nilai-nilai Islam demi melayani masyarakat dan dalam rangka mensejahterakan mereka. Program reformasi pemerintahan untuk menegakkanpemerintah yang bersih --bebas dari virus KKN-- serta terjadinya mobilitas vertikal kader dakwah dalam birokrasi. Fungsi utama dakwah dalam birokrasi adalah:
1. Penerjemahan dan pelaksanaan nilai-nilai Islam dalam kebijakan publik yang ada dalam rangka islamisasi kehidupan dan menegakkan nilai-nilai Islam;
2. Pelayanan publik;
3. Reformasi pemerintahan menuju clean government;
4. Mobilitas vertikal kader dakwah.

Fase dakwah ke tiga di atas sangat kentara merupakan perluasan dari fase ke dua. Kalau dalam Orbit Masyarakat, mulai muncul institusi dakwah sebagai wajah untuk berinteraksi dengan publik, maka dalam Orbit Lembaga pemikiran untuk mengokohkan institusi yang didirikan mulai mendapat penekanan. Pembelajaran untuk mengelola lembaga dakwah secara profesional menjadi penting, termasuk juga peran dalam institusi negara. Sehingga, dalam Orbit ini, kader dakwah menyebar secara horizontal ke seluruh lembaga masyarakat, baik di sektor privat, publik maupun sektor ketiga, dan mengokohkan peran mereka dalam lembaga-lembaga tersebut. Pada orbit ini interaksi dengan publik mulai dilakukan secara institusional melalui organisasi politik dengan doktrin al hizb huwal jama’ah al jama’ah hiyal hizb—bukan
secara individual atau parsial melalui wajah-wajah LSM. Sampai di sini dapat dipahami kalau kriteria utama dalam Orbit Lembaga adalah profesionalitas. Dalam bingkai ini, maka yang perlu diusung adalah kader dakwah yang memahami nilai-nilai Islam dan memiliki komitmen tinggi bagi perwujudannya, yang memilikikredibilitas moral, kredibilitas sosial dan kredibilitas profesional. Kader yang bukan saja memiliki integritas moral yang tinggi dalam menggusung perubahan serta mampu berinteraksi sosial secara harmonis di dalam lingkungannya, namun juga profesional di bidangnya. Ada tiga pilar profesionalitas yang diperlukan untuk itu, yakni berkaitan dengan core competence, managerial, dan strategic thinking. Seorang profesional dalam bingkai ini adalah ilmuwan yang manajer, dan manajer yang mampu berpikir strategis (negarawan). Ia bukan hanya unggul dalam kompetensi ilmiahnya, namun juga mampu mengelola sumber daya yang ada di sekitarnya secara sinergi untuk kepentingan dakwah, dan terbiasa berpikir strategis.
Mungkin ada yang bertanya, mengapa terlalu banyak kualifikasi yang digantungkan pada kader? Tak ada pilihan, karena kini kita memasuki zaman dimana kompetisi ideologis menggunakan bahasa infrastruktur sosial-budaya-politik yang makin canggih. Hanya mereka yang fasih dengan bahasa infrastruktur canggih itu yang dapat menanamkan pengaruh dan meraih kemenangan. Kita memerlukan tokoh yang siap melakukan islamisasi kehidupan dengan mengalahkan pengaruh para kompetitornya. Pada titik ini para pakar menjadi penting ditumbuhkan dan tampil ke muka untuk menggusung perubahan. Sifat integralitas Islam menuntut ketersediaan para pakar dalam seluruh dimensi hidup manusia. Orbit terakhir yang perlu dilalui adalah Orbit Negara (mihwar daulah). Ini adalah Orbit dimana dakwah telah memasuki pengelolaan institusi negara secara penuh dan sekaligus merupakan perluasan dari Orbit Lembaga. Kalau dalam orbit sebelumnya, interaksi dengan sektor negara dalam birokrasi dan lembaga negara lainnya (politik, legislatif, eksekutif dan lainnya) masih dilaksanakan secara individual dan parsial, maka dalam orbit ini interaksi dilakukan secara total.

Fungsi dan Urgensi Wajihah

Kekuatan dakwah sangat memerlukan dukungan masyarakat . Mereka adalah basis kekuatan bagi para aktivis dan kader dakwah dalam rangka memapankan gerakan perubahan. Bila landasan kekuatan masyarakat ini rapuh, maka akan rapuh pula bangunan dakwah di atasnya. Umumnya, masyarakat selalu melihat fenomen dakwah dari hal-hal yang kongkrit di depan mata mereka.
Sementara itu kita pahami tidak semua kebijakan dakwah dapat dimunculkan ke permukaan. Oleh karena itu diperlukan payung (mnizhalah) atau wajihah (cover) yang tepat untuk berbagai posisi dan keadaan. Dengan cara ini gerakan dakwah dapat memenuhi tuntutan pembinaan masyarakatnya tanpa harus keluar dari manhaj yang telah digariskan Rasulullah SAW.

Wajihah memiliki peran dan posisi yang sangat strategis dalam gerakan dakwah. Melalui wajihah proses transformasi dan perubahan ke arah perbaikan dapat berjalan secara efektif. Wajihah dapat mengoptimalkan peran dan fungsinya untuk berbagai tindakan teknis, taktis maupun strategis seperti: menyampaikan pesan tertentu kepada masyarakat, mendidik dan mengembangkan sumber daya umat, melayani dan melindungi kepentingan masyarakat, menggalang opini umum, menggerakkan dan memobilisasi massa untuk tujuan tertentu, mengajak masyarakat untuk berbuat produktif, meraih dukungan dan simpati publik, melibatkan masyarakat untuk proyek tertentu, mengajukan usul dan saran bagi pemecahan masalah kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Wajihah dapat berupa organisasi profit atau lembaga nirlaba yang mewujud dalam berbagai bidang kerja. Wajihah dibentuk untuk kemaslahatan umat, sebagai sarana bagi gerakan dakwah yang memerlukan proteksi. Dengan misi utamanya memberikan layanan, perlindungan, pembelaan, pendidikan, pemberdayaan, dan
penerangan kepada kelompok masyarakat tertentu, maka wajihah menjadi sangat efektif untuk merealisasikan misi Islam yang membawa rahmat bagi semua orang.
Dengan adanya wajihah, format dakwah bukan lagi hanya dalam konteks menjelaskan dan mendidik mereka menjadi seorang muslim yang baik, tetapi juga menjadi wahana bagi kader untuk memberikan layanan dan bantuan yang sangat diperlukan umat, sebagaimana yang dipuji oleh Allah SWT: “ wa man ahsanu qaulan min man da’a ilallah wa ‘amila shalihan… “ (QS Al Fushhilat:33)

Setidaknya ada dua jenis wajihah yang dapat dikembangkan, yaitu wajihah tanzhim, yang langsung terkait dengan salah satu struktur partai, yang tidak bertentangan dengan undang-undang kepartaian, sepenuhnya dikelola dan dikendalikan oleh personil-personil yang duduk dalam struktur partai. Jenis wajihah yang lainnya adalah wajihah amal, yang secara peraturan perundang-undangan tidak bisa dikaitkan dengan partai, merupakan penjelmaan aktivitas kader dalam suatu institusi atau lembaga yang bergerak dalam bidang garapan tertentu.
Dengan kata lain wajihah amal dikelola dan dikendalikan sepenuhnya oleh anggota-anggota gerakan dakwah dan dapat melibatkan orang-orang lain yang tidak memiliki hubungan struktural dengan struktur partai dakwah. Sementara itu, struktur partai hanya memberikan arahan dan kebijakan-kebijakan yang sifatnya umum.Wajihah, baik tanzhimi maupun amali, dibentuk sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari Grand Strategy dakwah, dan diposisikan serta difungsikan sebagai perpanjangan tangan kebijakan partai dakwah. Wajihah juga dapat memainkan peranan yang sangat berarti dalam mempengaruhi dan menekan proses pengambilan kebijakan pihak-pihak yang berwenang agar sesuai dengan misi dakwah dan berpihak kepada kebenaran dan kemaslahatan. Peran ini akan semakin efektif ketika wajihah menjalin kerjasama taktis dengan lembaga-lembaga lain yang memiliki kepentingan yang sama.

Dengan peran yang sedemikian penting dalam kancah dakwah, maka menjadi wajarlah apabila dalam mobilitas horisontal,keberadaan wajihah menjadi ujung tombak bagi percepatan ekspansi dakwah. Dengan meningkatkan kualitas dan kuantitas wajihah di seluruh wilayah dakwah, pesan-pesan dakwah akan semakin efektif menyebar dan menjangkau berbagai lapisan masyarakat. Diperlukan suatu rencana aksi yang jelas dan terarah untuk meningkatkan keberadaan wajihah hingga dapat meningkatkan posisinya di tengah-tengah masyarakat melalui serangkaian pembinaan yang efektif dan berkesinambungan. Pembinaan difokuskan pada wajihah yang bergerak dalam lingkup layanan yang bersentuhan langsung dengan masyarakat umum dan menyentuh aspek kebutuhan dasar mereka, yaitu dalam bidang pendidikan, dakwah, sosial dan kemasyarakatan serta bidang seni dan budaya.Menata dengan mengembangkan keberadaan wajihah dalam dakwah di mihwar sya’bi dan terlebih pula di mihwar muassasi merupakan keharusan untuk:- Mengefektifkan mu’assasah dan wajihah yang ada sebagai lembaga pemikir strategis dan sarana dalam optimalisasi hubungan dengan lembaga-lembaga eksternal;
- Mengokohkan eksistensi mu’assasah dan wajihah dalam tingkat nasional, regional dan internasional ;
- Mendirikan LSM-LSM dan mengembangkan aksi-aksi advokasi sosial, hukum dan politik yang dihadapi masyarakat di berbagai daerah.
Teruskan baca - Paradigma Partai Keadilan Sejahtera (bagian I)

Paradigma Partai Keadilan Sejahtera (bagian II)

Dialetika Islam dan Negara

Dalam konteks ideologis, dialektika antara Islam dan negara adalah masalah yang sangat penting bagi Indonesia, karena di sana tersimpan sumber energi bangsa yang menentukan masa depan.
Dialektika ini perlu dibedah dari aspek akar sejarah, kondisi kontemporer, serta inti masalahnya sendiri, baru setelah itu dapat diusulkan solusi rasional, dewasa dan permanen yang mungkin
dijalankan.
Pertama adalah aspek historis dialektika Islam dan Negara. Islam masuk ke wilayah Nusantara melalui Selat Malaka, menuju pulau Jawa di Jepara dan Gresik. Dari sana penyebaran Islam bergerak menuju Banjarmasin, Goa, Ambon, dan Ternate. Pada gilirannya, secara struktural berdiri Kerajaan Pasai, Kerajaan Malaka, Kerajaan Aceh, Kerajaan Demak, Kerajaan Pajang, Kerajaan Mataram, Kerajaan Banten, Kerajaan Goa, Kerajaan Ternate, dan lainnya. Secara damai, dialogis dan kultural, Islam masuk ke seluruh wilayah Nusantara ini. Sebagai agama populis, egaliter, dengan etos dan budaya dagang; Islam telah membangkitkan semangat wirausaha para pemeluknya yang terutama tinggal di daerah pesisir. Pemeluk awal Islam Nusantara adalah para pedagang kaya, makmur, dan terpelajar. Segera saja hal itu menjadi daya tarik bagi kaum pribumi. Pengembangan Islam selanjutnya memunculkan apa yang disebut sebagai pusat-pusat lingkaran peradaban, yakni istana, pesantren, dan pasar. Dengan karakter yang tidak membedakan antara kegiatan agama dan politik, bahkan ekonomi, maka agama ini
memiliki struktur-struktur tradisional mulai dari pesantren, madrasah, meunasah, majlis taklim, organisasi dagang, sampai tarekat sufi, pengajian, gerakan pemuda, masjid sampai pranata
haji. Struktur-struktur sosial ini selanjutnya menjadi wadah bagi upaya untuk menyediakan kader-kader kepemimpinan Islam. Para pedagang, mubalig, guru-guru agama, raja-raja pribumi, pengeran, ulama, pemimpin tarekat sufi, wali, sufi pengembara, seniman, sastrawan, cendekiawan, tabib, dan sebagainya memerankan diri dalam transformasi sosial dan budaya masyarakat Nusantara.
Pranata-pranata sosial keagamaan dan budaya yang diciptakan oleh komunitas Islam Nusantara serta penulisan kitab keagamaan dalam bahasa Melayu sangat efektif sebagai faktor pendorong bagi terjadinya integrasi bangsa Indonesia. Sejak abad ke-16 praktis kepulauan Nusantara telah diintegrasikan oleh Islam, agama yang relatif baru dan jauh dari wilayah yang selama ini disebut sebagai pusat dunia Islam. Dalam tiga atau empat abad, Islam mampu menjadi agama rakyat yang dipeluk mayoritas penduduk Indonesia. Betapa sedikit sekali yang tertinggal dari warisan Hindu di masa lalu, bahkan di pedalaman Jawa sekalipun dan memunculkan pertanyaan mengapa kemenangan Islam begitu komplit (Religion of Java, Hodgson, 1974). Ketika kolonialisme datang di bumi Nusantara, agama dan jiwa kebudayaan Islam yang menolak penindasan, ketidakadilan secara langsung telah menggerakkan sikap penentangan terhadap penjajah. Kesadaran nasionalisme umat Islam pada fase awal dalam praktiknya mengambil bentuk yang beragam, mulai dari perlawanan fisik terhadap kolonialisme (paling lambat sejak awal abad ke-19 dalam bentuk apa yang disebut sebagai pre/proto nasionalisme), sikap anti-kapitalisme, perjuangan mengembangkan identitas yang berbeda dari bangsa asing, serta peningkatan kualitas pendidikan, dan ekonomi masyarakat pribumi.
Hal itu dimungkinkan, karena munculnya kesadaran sejarah Islam yang panjang di bumi Nusantara. Kesadaran inilah yang memunculkan nasionalisme Islam, yang berbeda dengan nasionalisme sekuler yang lepas dari agama. Proto nasionalisme itu, menampakkan wajahnya pada konfrontasi langsung dengan kolonialisme Belanda yang dimulai sejak pertengahan abad ke-17 dengan pecahnya Perang Ternate (1635-1646), Perang Makasar (1660-1669), Perang Trunojoyo (1675- 679) di Jawa, Perang Banten (1680-1682), dan terutama dalam perang antikolonial sejak akhir abad ke-18, ketika VOC bangkrut dan menyerahkan seluruh kekuasannya kepada pemerintah Hindia-Belanda.
Pertempuran paling sengit dan menimbulkkan kerugian besar bagi pihak Belanda adalah Perang Cirebon (1802-1806), Perang Palembang (1812-1816), Perang Paderi (1821-1838) di Sumatera Barat, Perang Diponegoro (1825-1830), Perang Banjarmasin (1859-1862), dan Perang Aceh (1872-1908). Semua aksi bersenjata ini digerakkan oleh raja-raja, pengeran, ulama, pemimpin tarekat serta santri-santri mereka.

Dalam pergerakan modern menjelang kemerdekaan, institusi penting Islam yang menonjol adalah Syarekat Islam (SI) yang bergerak dalam lapangan politik, Muhammadiyah yang bergerak dalam lapangan sosial dan pendidikan, serta NU yang terutama bergerak dalam lapangan pendidikan pesantren. Syarikat Islam yang merupakan organisasi kelanjutan dari Syarikat Dagang Islam (SDI) merupakan organisasi yang memiliki agenda politik selain ekonomi. Organisasi berskala nasional dan modern ini menghendaki pemerintahan sendiri oleh rakyat Indonesia dan menuntut kemerdekaan sepenuhnya dari penjajahan.

Tujuan lainnya adalah untuk membangkitkan semangat dagang pribumi dan membangun kerjasama untuk melawan kaum pedagang asing, yang mendapat perlakuan istimewa dari penjajah Belanda. Dari fakta historis di atas, maka sangat jelas, bahwa Islam tidak merintangi nasionalisme, justru melalui rahim Islam, nasionalisme Indonesia dapat tumbuh subur. Pergerakan-pergerakan Islam sudah lama mempunyai ikatan kebangsaan. Dibandingkan organisasi kedaerahan yang masih berbasis etnik, termasuk Budi Utomo (basis kepentingan priyayi Jawa), gerakan SI justru bersifat nasional. Islam terbukti berfungsi sebagai faktor integrasi, bahkan lebih jauh lagi akar dari nasionalisme dan pembentukan negara-bangsa untuk kasus Indonesia. SI telah berhasil menarik para pedagang, para pekerja di kota-kota, para kyai dan bahkan sejumlah priyayi serta kaum tani ke dalam gerakan politik massal pertama di jaman penjajahan (Benda, 1958). Kedua adalah fakta dan kondisi kontemporer hubungan Islam dan Negara. Negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, yang relatif baru merdeka, banyak yang masih dihantui oleh masalah mendasar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, yakni masalah stabilitas ideologi. Kerapkali konsensus sejarah dalam memutuskan ideologi negara berakhir tanpa penerimaan total dari seluruh komponen bangsa yang bersangkutan. Ketika Ideologi negara yang melandaskan kebangsaan dalam kasus Indonesia dinegosiasikan secara demokratis di panggung politik, terlihat sekali bahwa proses dialektika tersebut berjalan sangat alot. Hal itu terlihat pada dialog tahap pertama selama diskusi di BPUPKI dan dilanjutkan di PPKI pada tahun 1945, maupun dalam dialog tahap kedua pada sidang-sidang Konstituante pada tahun 1956-1958.Pada fase pertama dialog nasional, Piagam Jakarta yang memuat tujuh kata, “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya,” yang sebelumnya telah disepakati dalam rapat BPUPKI sebelum lembaga ini dibubarkan pemerintah Jepang, berhasil dicoret dalam sidang PPKI. Sejarah memperlihatkan, bahwa secara politis penerimaan total pada pencoretan Piagam Jakarta itu tidak terjadi. Komponen Islam belum sepenuhnya menerima tafsiran nasionalis sekuler terhadap dasar negara. Maka, perjuangan untuk menjadikan keyakinan agama—penduduk mayoritas negeri ini—sebagai dasar negara tetap dilakukan, baik melalui perjuangan pergerakan oleh NII sejak 17 Agustus 1949 dan secara konstitusional melalui partai-partai Islam nasionalis seperti Mayumi, NU, dan PSII.

Pada dialog tahap kedua, partai-partai Islam dengan komposisi suara 40% di parlemen kembali dengan sangat alot mempertahankan konsep dasar negara berdasarkan keyakinan agama. Ujung akhirnya adalah ketiadaan kesepakatan Konstituante yang menyebabkan Presiden Soekarno menetapkan Dekrit Presiden tahun 1959 untuk kembali ke UUD 1945. Melalui sistem Demokrasi Terpimpin, persoalan ideologi ditekan di bawah upaya-upaya pembangunan negara. Penumpasan gerakan NII (1949-1965) pun dilakukan. Sejarah memperlihatkan kedua jalur upaya penegakan dasar negara berdasarkan keyakinan agama gagal. Selama rezim Soeharto berkuasa, trauma ideologis ini mengambil bentuk marjinalisasi partai politik dan penekanan pada kuasi-ideologi, yakni pragmatisme melalui pembangunan ekonomi, yang selanjutnya menghasilkan teknokratisme yang bebas ideologi. Kebijakan massa mengambang, kesibukan pembangunan, pengawasan oleh militer sampai tingkat-tingkat terkecil pemerintahan. Puncak dari itu semua adalah pemberlakuan asas tunggal Pancasila bagi seluruh organisasi sosial kemasyarakatan maupun organisasi politik. Maka, lengkap sudah the end of ideology.
Namun Islam tetap berkembang di Indonesia, terutama melalui jalur kultural. Fakta sosial, budaya dan politik umat Islam memperlihatkan bahwa umat Islam adalah penduduk mayoritas di negeri ini. Mereka tersebar di seluruh kepulauan Nusantara. Budaya Islam telah terakulturasi dalam budaya Indonesia. Islam, sebagai faktor budaya telah mempersatukan Nusantara yang terdiri lebih dari 250 etnik menjadi “bangsa baru” bernama Indonesia. Secara politis, meski negara nasional Indonesia tidak berdasarkan Islam, namun Islam diyakini para Pendiri Bangsa yang nasionalis sekuler sekalipun sebagai agen katalisator bagi nasionalisme dan persatuan kebangsaan; menjadi faktor integrasi dan kohesi sosial; sekaligus menjadi simbol nasional. Islam adalah api, spirit dan jiwa negara Indonesia; menjadi sumber karakter dan landasan moral bangsa dan negara. Hal itu terbukti dan terpatri dalam Pembukaan UUD 1945 yang secara tekstual berbunyi: “Atas berkat rahmat Allah” serta “Ketuhanan Yang Maha Esa” (sila pertama Pancasila) yang memperlihatkan keislaman Indonesia berdasar pada prinsip tauhid. Begitu pula, Dekrit Presiden Juli 1959 pada alinea kelima berbunyi: ”Bahwa kami berkeyakinan bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai Undang-Undang Dasar 1945 dan adalah merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut”.

Sebagai kelanjutan dari capaian politis ini, maka perhatian negara terhadap agama adalah sebuah proses dialogis yang melalui pasang surut dan pasang naik. Adanya Departemen Agama yang mengatur urusan haji dan pendidikan agama Islam yang menjangkau dari Ibtidaiyah sampai universitas Islam, Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam, penataan Bank Islam dan Badan Amil Zakat, penetapan pemberlakuan syariat di Aceh melalui UU. No.18/2001, serta penerapan syariah di daerah lain berdasarkan Perda.Fakta politis menjelang akhir kejatuhan Orde Baru, umat Islam yang semula termarjinalisasi mulai mendapat perhatian. Kesan “ijo royoroyo” di parlemen dan terutama adalah pembentukan ICMI dengan ketuanya B.J. Habibie menandakan politik mendekat ke umat mulai
dijalankan. Terlihat mobilitas vertikal kaum Muslimin dalam birokrasi, seiring dengan tingkat pendidikan mereka, yang merupakan buah dari gerakan kultural Islam. Namun mobilitas vertikal SDM umat untuk ikut serta menentukan isi dan arah pembangunan kerap dipandang oleh sebagian komponen bangsa lain bukan sebagai suatu kewajaran atau sebagai suatu keniscayaan secara politis, sosial dan ekonomis. Pasca reformasi, dengan kebebasan yang makin meluas, pendirian parpol yang lebih mudah memunculkan banyak partai berasaskan Islam, apalagi setelah Tap MPR tentang asas tunggal Pancasila dicabut.

Penemuan kembali ideologi yang sudah mapan, maupun elemen-elemen ideologi dari butir-butir Pancasila terjadi, termasuk secara nyata muncul partai-partai Islam. Berdasarkan hasil pemilu demokratis di era reformasi memperlihatkan suara umat Islam secara politis menurun dibandingkan hasil pemilu tahun 1955. Meski Islam politik memiliki kecenderungan meningkat untuk hasil pemilu 2004 dibandingkan dengan hasil Pemilu tahun 1999, namun kenyataan, bahwa mayoritas Islam Indonesia bersifat moderat dan kultural ketimbang politis nampaknya masih valid. Ini mungkin disebabkan, karena mayoritas, sekitar 75% dari masyarakat, Muslim Indonesia berafiliasi ke NU atau Muhammadiyah, dua ormas Islam terbesar yang menganggap NKRI dan Pancasila sudah final bagi umat Islam Indonesia.

Karenanya, dapat dipahami mengapa selama empat kali amandemen UUD-1945 di era reformasi, MPR tidak berkehendak untuk mengubah pembukaan UUD-1945.Ketiga adalah inti masalah sebenarnya. Berlatar belakang sejarah dan fakta serta kondisi kehidupan umat dalam berbangsa dan bernegara, terlihat bahwa penyelesaian atas krisis ideologis yang telah banyak memakan korban ini, nyatanya tidak bersifat permanen. Api nasionalisme yang meredup oleh pragmatisme, memunculkan separatisme dan radikalisme sebagai akibat ketimpangan pembangunan dan ideologis. Yang paling menyedihkan adalah menganggurnya energi umat dalam pembangunan bangsa dan negara. Umat Islam termarjinalisasi oleh trauma politis-idologis masa lalu. Islam yang secara kuantitatifnominal mayoritas belum representatif dalam aspek sosial-budaya dan sosial-politik. Fakta sejarah yang terpampang adalah mandulnya kebijakan pro-Islam di tingkat elit. Kebijakan pemerintah, baik era Soekarno maupun Soeharto, cenderung menyingkirkan peran Islam dari wilayah negara.Semestinya, apabila Islam adalah agama mayoritas, pastilah ia juga merupakan agama mayoritas budaya daerah. Apabila kebudayaan nasional adalah puncak-puncak kebudayaan daerah, seperti tertera dalam UUD 1945, maka semestinya semenjak berdirinya Republik ini, Islam menjadi paradigma pembentukan kebudayaan nasional. Kenyataannya, pemerintah mengabaikan fakta antropologis dan kultural yang sangat penting ini. Dalam Orde Baru, Islam tidak boleh memberikan warna untuk dirinya sendiri dengan leluasa, apalagi kepada yang lain. Yang dipromosikan adalah nasionalisme non- Islam, nasionalisme Gajahmada-majapahit yang mencontohkan persatuan dengan penaklukan kekerasan, bukan sejarah penyebaran Islam Nusantara yang dialogis, damai dan lebih moderen. Padahal, bangsa Indonesia menegakkan NKRI dilakukan dengan dialog dan jauh dari kekerasan-penaklukan sebagaimana model persatuan Majapahit tersebut. Proses sejarah yang melahirkan pengaruh Islam di kepulauan Nusantara seringkali direduksi menjadi sekedar ”sejarah Islam di Indonesia” dan bukannya ”sejarah Indonesia” itu sendiri.

Begitu lama dan luasnya pengaruh Islam di Nusantara, namun dalam kenyataannya tidak dipandang penting dalam konstruksi negara moderen Indonesia. Dalam buku sejarah resmi maupun tidak, Islam diposisikan secara marjinal tidak signifikan dalam bangun pembentukan negara-bangsa. Peran Islam dalam mempersatukan ikatan emosional, dan heroisme perjuangan mengusir kolonial, serta pembentukan wilayah kepulauan Nusantara menjadi Indonesia pun hendak diabaikan. Indonesia berhutang budi pada nasionalisme, nasionalisme sendiri dalam konteks Indonesia sebenarnya identik dengan Islam. Nasionalisme sekuler datang terlambat, karena 150 tahun sebelum kedatangannya dasar-dasar suprastruktur nasional telah diletakkan oleh kekuatan Islam dan pemimpin-pemimpin Muslim, yang melahirkan proto-nasionalisme yang unik.Keempat adalah solusi yang mungkin diambil.Dalam rangka mencari solusi atas problem ideologis di atas, maka harus muncul kesadaran dasar dari seluruh komponen bangsa termasuk umat Islam sendiri, bahwa masa depan demokrasi di Indonesia sangat ditentukan oleh faktor Islam. Hal itu hanya akan berhasil bila nilai demokrasi eksplisit diartikulasi secara kompatibel dalam doktrin Islam secara ideologis (Islam in Modern Indonesia, 2002). Maju-mundurnya pembangunan nasional Indonesia sangat ditentukan oleh sejauhmana peran umat Islam, karena Indonesia adalah bangsa Muslim, dimana sumberdaya budaya, sosial, politik dan ekonomi negara secara potensial berada dan melekat dalam tubuh umat Islam Indonesia. Energi bangsa Indonesia ada di dalam tubuh umat Islam. Sebagai penduduk mayoritas, umat Islam bertanggung-jawab penuh terhadap kelangsungan NKRI yang dulu diperjuangkan dengan tetesan darah dan air mata. Kolaborasi budaya lokal dengan ajaran Islam yang berlangsung berabad-abad telah meletakan dasar yang kukuh bagi sebuah bangunan keindonesiaan modern. Keislaman adalah faktor yang paling dominan dalam menopang identitas keindonesiaan. Itulah faktor keislaman Indonesia. Karenanya, memarjinalkan umat Islam
Indonesia, sama seperti membonsai kebesaran bangsa Indonesia itu sendiri.

Solusi permanen dari problem ideologis ini perlu diupayakan melalui suatu penyelesaian yang dewasa dan rasional. Arah inilah yang akan mengantarkan bangsa Indonesia menuju negara yang stabil, yang berdasarkan penerimaaan komponen bangsanya secara rasional, obyektif, tulus dan menyeluruh. Bukan atas desakan represif dibawah moncong senjata atau berdasarkan marjinalisasi sumber daya energi umat yang sangat berlimpah, yang akhirnya hanya memunculkan Indonesia sebagai, negara yang lemah (the weak state) karena tidak didukung oleh mayoritas warganya.Bila yang diinginkan adalah umat Islam yang kuat dalam Negara Indonesia yang kuat, dimana umat Islam menjadi pelaku, yang menentukan arah dan isi jalannya negara, yang menjadi tulangpunggung negara dalam konteks Indonesia yang plural secara etnik dan agama, maka format perjuangan umat mestilah bersifat: Islami (damai dan non-kekerasan); rasional dan obyektif; kultural dan struktural, serta konstitusional. Dengan format perjuangan seperti di atas, maka arah perjuangan umat akan mengambil bentuk: Islamisasi secara struktural dan kultural. Umat Islam Indonesia berhak melaksanakan Islamisasi kehidupan baik secara struktural maupun kultural—dalam maknanya yang positif dan obyektif. Karena agama berpengaruh pada manusia—secara individual maupun kolektif—yang kemudian pada gilirannya memberi pengaruh kepada publik dan lingkungan. Islamisasi secara kultural dilakukan melalui berbagai media dakwah dan pranata budaya untuk menguatkan basis kebudayaan dan intelektualitas umat untuk mendorong mobilitas vertikal umat dalam berbagai lapangan baik birokrasi, ekonomi, budaya, intelektual, sosial maupun politik. Dengan ajaran moralitas Islam universal, maka akan tersedia basis moral yang tangguh yang selanjutnya akan menciptakan sistem ideologis dan politik yang sehat bagi sebuah bangsa. Di samping itu,
islamisasi akan semakin cepat bila dilakukan dengan menggunakan kereta peradaban (Iptek). Basis kebudayaan akan menyebar bersama kemajuan peradaban material. Kecepatan penyebaran
basis material akan jauh lebih cepat daripada basis kebudayaan, karena penetrasi peradaban material akan merasuk jauh ke dalam kehidupan pragmatis manusia.

Islamisasi secara kultural seperti tersebut di atas juga mempunyai pijakan historiknya dalam konteks Indonesia, seperti hadirnya wayang, batik, maupun ragam budaya yang diwariskan oleh para Wali Songo. Ia adalah pengejawantahan kongkret dari Syumuliyyatul Islam dan risalahnya yang Rahmatan Lil Alamin. Karenya agenda ini tentu tidak dimaksudkan untuk menghadirkan konflik budaya apalagi pembenaran terhadap stigma Islam yang dihubungkan dengan ke-Arab-an maupun terorisme. Sementara itu Islamisasi secara struktural dilakukan melalui jalur politik. Islam memang tidak dapat dipisahkan dari politik sebagai bentuk dari pengamalan Syuro, serta Amar Ma’ruf Nahi Munkar, memperjuangkan keadilan dan pendakwahkan amal sholeh. Politik berguna untuk mendekatkan perjuangan kaum Muslimin dalam menjalankan kehidupan serta mendakwahkan kebudayaannya serta solusi-solusi kreatif yang dimilikinya agar mereka dapat mewujudkan nilai Islami itu sesudah pada tingkat kehidupan individual, keluarga lingkungan masyarakat, organisasi bahkan pada penyelenggaraan kehidupan bernegara. Baik melalui kegiatan Legislasi dengan menghadirkan undang-undang, peraturan pemerintah maupun kebijakan publik lainnya. Dalam konteks ini maka pilihannya bukan negara Islam yang menerapkan Syariah atau negara sekuler yang menolak Syariah, tapi yang kita inginkan adalah negara Indonesia yang merealisasikan ajaran agama yang menghadirkan nilai-nilai kemanusiaan yang luhur dan universal, melalui perjuangan konstitusional dan demokratis agar dapat hadirlah Masyarakat Madani yang dicitakan itu.

Memisahkan umat Islam yang merupakan mayoritas penduduk Indonesia dari keterlibatan dalam kehidupan berpolitik dan bernegara adalah hal yang mustahil dan absurd bahkan ahistoric,bahkan tidak sesuai dengan prinsip dasar berdemokrasi konstitusional itu sendiri. Karenanya wajar saja bila pada masa awal pembentukan NKRI ini, Bung Karno telah dengan tegas mempersilahkan umat Islam untuk memperjuangkan ideologi dan aspirasinya melalui lembaga Parlemen. Dan umat pun memang telah dan akan terus secara rasional-objektif-konstitusional berjuang melalui jalur politik sehingga dapat turut serta
menghadirkan kemerdekaan Republik Indonesia, menggagalkan kudeta PKI yang akan menggantikan ideologi negara dengan Komunisme, dan kemudian turut menghadirkan era Reformasi dan lain-lain. Agar Masyarakat Madani dapat diwujudkan, dan karenanya umat pun dapat melaksanakan ajaran agama dan menghadirkan Syariah Islam yang Rahmatan Lil Alamin, sangat penting untuk mempertimbangkan faktor-faktor utama yang dulu menjadi pilar kokoh dan telah sukses menghadirkan Masyarakat Madani seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW yang secara positif dan konstruktif menerima dan menghormati asas pluralitas baik karena faktor suku, agama, asal-usul maupun profesi untuk disinergikan bagi hadirnya masyarakat yang saling menghormati, saling menguatkan, gotong-royong dan bersatu padu bela kedaulatan negara, menegakkan hukum, menjunjung moralitas, menghadirkan masyarakat yang dinamis dalam Ukhuwwah Islamiyyah, Ukhuwwah Wathaniyyah dan Ukhuwwah Basyariyyah, kemudian mengaktualisasikannya dalam konteks Keindonesiaan kontemporer.

Karenanya perjuangan Islamisasi secara struktural tetap harus menghadirkan sikap adil dan bijaksana terhadap non-Muslim maupun yang berbeda organisasi politik dengan PK Sejahtera, serta mengacu pada prinsip konstitusional, proporsional dan demokratis, agar hadirlah hasil perjuangan yang betul-betul dapat merealisasikan cita-cita berdirinya NKRI dan hadirnya era Reformasi.

Obyektifikasi Islam tidak menjadi kekuatan penentang disintegratif atau sebagai ideologi alternatif. Islam menjadi kekuatan integratif bangsa dan negara. Format perjuangan Islam adalah partisipasi penuh dalam membentuk Indonesia yang kuat, adil sejahtera dan bermartabat. Perjuangan utama umat adalah menjadikan Islam sebagai kekuatan integratif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Karenanya perjuangan umat adalah upaya untuk menegakkan nilai-nilai universal Islam dalam masyarakat dan bangsa Indonesia dalam rangka menebarkan rahmat bagi seluruh alam, menjadi guru bagi peradaban, yang dilakukan baik secara kultural maupun struktural.
Obyektifikasi nilai-nilai Islam adalah proses transposisi konsep atau ideologi dari wilayah personal-subyektif ke ranah publik-obyektif, dari ranah internal merambah ke wilayah eksternal, agar bisa diterima secara luas oleh publik, Gambar 2-11. Secara subyektif, setiap Muslim berkeinginan agar syariat Islam diterapkan oleh negara. Namun keinginan subyektif tersebut agar dapat dimenangkan di wilayah publik mesti memenuhi kriteria-kriteria tertentu seperti: kesesuaian dengan konteks dari segi ruang dan waktu; mempunyai hubungan rasional-organik; memenuhi rule of the game; memenuhi prinsip pluralitas dan kehidupan bersama (non-diskriminatif), dan; resolusi konflik, agar konsep atau ide tadi memenuhi prinsip “keadilan publik”. Kebajikan universal Islam yang mampu menembus dimensi zaman, teritorial, generasi, dimensi kehidupan, sebagai rahmat bagi semesta alam akan menjadi ide atau konsep yang mudah diterima publik. Dalam titik ini, maka persoalannya bukan terletak pada debat mengenai siapa yang memerintah atau apa bentuk negara, tetapi pada soal bagaimana menegakkan nilai-nilai universal Islam di negeri Muslim terbesar ini. Dengan demikian, ide amar ma’ruf nahyi munkar secara obyektif dapat dirumuskan bukan sekadar upaya untuk memberantas judi, miras, prostitusi dan mengajak ke masjid, infaq, shadaqah, puasa, haji dan sebagainya, tetapi juga upaya memberantas korupsi dan mafia peradilan, mengentaskan kemiskinan dan pengangguran, membela nasib buruh, tani dan nelayan, menegakkan HAM, demokratisasi dan pembangunan ekonomi umat, mengurangi diskriminasi di hadapan hukum, melestarikan lingkungan hidup, membangun Iptek, dan seterusnya. Bila gerakan ini digelorakan, maka sebenarnya yang terjadi di lapangan adalah kita membangkitkan energi dan ruh umat untuk menyelesaikan masalah kita sendiri. Pendekatan di atas, bila diringkas dan diasosiasikan dengan bentuk perjuangan awal Islam, maka akan serupa dengan konsep Negara Madinah dengan Piagam Madinahnya. Ini adalah basis untuk masyarakat plural relijius dalam menjalankan agama juga memeliharanya sesuai dengan kepercayaannya masing-masing, mengingat pluralitas keagamaan masyarakat Indonesia adalah realitas yang tidak dapat dipungkiri. Bila ini adalah arah yang ingin kita tempuh, maka Islam politik akan bergerak pada rel yang tepat. Gerakan Islam politik yang kuat dalam sistem demokrasi, maka secara langsung akan mereduksi gerakan radikalisme Islam nonkonstitusional. Bila hal itu terwujud, maka stabilitas Indonesia secara politik dan keamanan semakin kokoh, energi umat akan tersalurkan secara positif, dan terjadi sinergi luar biasa di tubuh bangsa ini.

Karakteristik Pembangunan

Partai Keadilan Sejahtera memandang bahwa pembangunan mestilah didasarkan pada tiga karakteristik berpikir yang realistis yakni integral, universal, dan partisipasi total.

Pertama: bersifat integral, dimana program pembangunan di satu sektor tidak dapat dipisahkan dengan pembangunan di sektor lain. Pembangunan ekonomi misalnya, tidak terlepas dari pembangunan SDM yang berkualitas, pembangunan politik yang adil dan jujur serta bersih dari penyimpangan, pembangunan hukum yang berkeadilan, pembangunan iptek yang bertumpu pada kekuatan sendiri dan pembangunan sosial budaya yang berakhlak. Dalam pandangan ini tidak ada ruang bagi arogansi sektoral yang menyempitkan pembangunan pada satu sektor saja. Sekaligus ini mensyaratkan koordinasi yang harmonis antar sektor pembangunan. Sebab inti dari pembangunan adalah manusia baik sebagai pelaku, obyek dan sekaligus tujuan pembangunan.

Kedua, PK Sejahtera berkeyakinan bahwa keberhasilan pembangunan tergantung pada cara padang bangsa Indonesia terhadap berbagai aset yang dimiliki, baik aset SDA, sosial, politik
maupun budaya. Pembangunan tidak akan mencapai hasil yang optimal apabila berbagai modal dasar yang ada dipandang hanya untuk satu generasi saja. Karenanya perlu dikembangkan pandangan universal, yaitu pandangan yang mencakup lintas generasi, lintas teritorial dan lintas kehidupan, yaitu keberadaan akhirat. Dengan pandangan lintas generasi berarti pembangunan harus dijaga agar tetap dapat berlanjut (sustainable) untuk generasi berikutnya. Begitu pula dengan pandangan lintas teritorial, maka pembangunan di suatu tempat atau pembangunan wilayah Indonesia tidak dilakukan semena-mena dengan mengabaikan pengaruhnya terhadap tempat dan wilayah lain.
Dengan pandangan lintas kehidupan, maka diyakini para pelaku pembangunan akan menjadikan segala aktivitasnya dalam pembangunan sebagai bagian dari ekspresi relijiusitas mereka. Bahkan, bangsa Indonesia akan diakui dunia sebagai bangsa yang membawa rahmat bagi seluruh alam karena pandangan yang universal tersebut.

Ketiga, PK Sejahtera menilai bahwa pembangunan merupakan hak sekaligus kewajiban masyarakat, bukan hanya negara. Karenanya pemberdayaan masyarakat, baik pemberdayaan politis maupun ekonomis akan mengantarkan rakyat pada posisi sejajar sebagai mitra pemerintah, yang duduk satu meja bersama-sama untuk merumuskan kepentingan bersama. Dengan demikian Partai Keadilan Sejahtera memandang partisipasi total masyarakat, pengusaha, pemerintah serta kerjasama internasional, yang merupakan lintas komponen dan aktor, adalah sebuah keniscayaan dalam mengelola pembangunan dengan pandangan yang bersifat integral, global dan universal menuju keadilan dan kesejahteraan.
Ketiga komponen negara, pemerintah - dunia usaha - masyarakat, harus bekerjasama secara egaliter tanpa ada upaya saling mendominasi. Dalam bingkai tersebut di atas, maka pemerintah sedapat mungkin mengambil fungsi minimalis menjadi fasilitator dan dinamisator melalui berbagai regulasi penting dan strategis.
Prinsip-prinsip di atas dilaksanakan dengan jiwa dan komitmen bersih, peduli dan profesional, sebagai bentuk moralitas sekaligus integritas PK Sejahtera. Di atas prinsip dan paradigma berpikir inilah Platform Kebijakan Pembangunan PK Sejahtera dirumuskan.
Teruskan baca - Paradigma Partai Keadilan Sejahtera (bagian II)