Sabtu, 04 Januari 2014

Dalam Sajak Orang Kepanasan (WS Rendra) Saya Berjumpa Wiji Thukul


Untuk menghormati WS Rendra Kompas tidak saja memberikan porsi yang cukup besar untuk artikel seputar si Burung Merak ini tetapi juga menghilangkan tulisan TAJUK RENCANA (rubrik ‘keramat’ bagi sebuah media) pada hari Sabtu 8 Agustus 2009. Pada lajur kolom TAJUK RENCANA hari Sabtu itu diisi MENGENANG WS RENDRA dengan memuat 2 sajak pilihan harian Kompas yakni Sajak Orang Kepanasan dan Sajak Bulan Mei 1998 di Indonesia.


Terlepas dari kekaguman saya pada Rendra dan pesan dari puisi ”Sajak Orang Kepanasan” yang sangat kuat menancap di benak. Ternyata puisi ini juga membuka jalan kembali untuk menjumpai Wiji Thukul. Sajak Orang Kepanasan ini segera mengingatkan saya pada puisi Wiji, Bunga dan Tembok, Sajak Suara dan Peringatan. (cat. saya tidak pernah mengenal bahkan berjumpa dengan Wiji, perjumpaan saya hanya melalui puisi-puisinya terutama pada kumpulan AKU INGIN JADI PELURU)

Bila Rendra bilang TIDAK, TIDAK dan TIDAK maka dalam Peringatan Wiji Thukul lantang meneriakkan ’maka hanya satu kata : LAWAN!

Karena kami dibungkam
dan kamu nyerocos bicara
Karena kami diancam
dan kamu memaksakan kekuasaan
maka kami bilang TIDAK kepadamu

Karena kami tidak boleh memilih
dan kamu bebas berencana
Karena kami semua bersandal
dan kamu bebas memakai senapan
Karena kami harus sopan
dan kamu punya penjara
maka TIDAK dan TIDAK kepadamu

Maka dalam Peringatan Wiji Thukul menuliskan pula pendasarannya....

bila rakyat tak berani mengeluh
itu artinya sudah gawat
dan bila omongan penguasa
tidak boleh dibantah
kebenaran pasti terancam

apabila usul ditolak tanpa ditimbang
suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan
dituduh subversif dan mengganggu keamanan
maka hanya da satu kata: lawan!

Dan sebelum sampai kepada klimaksnya TIDAK, TIDAK dan TIDAK Rendra dengan piawai membangun pukulan demi pukulan untuk menguatkan benturan atau kontradiksi antara si tertindas dan penindas atau antara siapa yang berlawan dan siapa musuh yang harus di lawan.

Karena kami makan akar
dan terigu menumpuk di gudangmu
Karena kami hidup berhimpitan
dan ruangmu berlebihan
maka kami bukan sekutu

Karena kami kucel
dan kamu gemerlapan
Karena kami sumpek
dan kamu mengunci pintu
maka kami mencurigaimu

Karena kami telantar di jalan
dan kamu memiliki semua keteduhan
Karena kami kebanjiran
dan kamu berpesta di kapal pesiar
maka kami tidak menyukaimu

Karena kami dibungkam
dan kamu nyerocos bicara
Karena kami diancam
dan kamu memaksakan kekuasaan

fragmen ini mengingatkan saya pada puisi Wiji Bunga dan Tembok

seumpama bunga
kami adalah bunga yang tak
kauhendaki tumbuh
engkau lebih suka membangun
rumah dan merampas tanah

seumpama bunga