Pengajar:
PROF. M. MAS’UD SAID, PhD
MAGISTER SOSIOLOGI
PASCASARJANA
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
2011
Bahan Bacaan Wajib:
- Duverger, Maurice; Sosiologi Politik, Terjemahan Daniel Dakhidae, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1998.
- Rush, Michael and Philip Althoff, Pengantar Sosiologi Politik,
Terjemahan Kartini Kartono, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1997
- Francis E. Rourke, Bureaucratic Power In National Politics, Little, Brown And Company, Boston,1978
- Said, M. Mas’ud, Birokrasi di Negara Birokratis, UMM Press, 2007.
·
MATERI SOSIOLOGI
POLITIK , PASCA SARJANA UMM MALANG, M.Mas’ud Said, 2011.
MATERI KULIAH 1
WHAT IS SOCIOLOGY?
Ilmu sosiologi adalah ilmu yang mempelajari
tentang struktur sosial, pranata sosila, perilaku masyarakat dan proses
interaksi, integrasi dan konflik dalam masyarakat.
Why Does Sociology Matter?
Mengapa ilomu sosiologi penting dalam kaitan
dengan proses PENCAPAIAN, PENGGUNAAN DAN MEMPERTAHANKAN KEKUASAAN?
Hal itu karena KEKUAASAAN ADALAH KEKUATAN UNTUK
MEMPENGARUHI MAUPUN MEMAKSA SESEORANG YANG BERKAITAN DENGAN ORANG ORANG ATAU
SEKELOMPOK ORANG.
Lembaga
NEGARA, KEKUASAAN DAN DINAMIKA SOSIAL pasti memiliki konteks sosiologis, karena
mereka selalu berada dalam lingkungan sosial. Demikian juga dalam hal
pengGUNAAAN KEKUASAAN.
POSISI KEKUASAAN DAN NEGARA DALAM KACAMATA SOSIOLOGIS
Selama ini orang sering melihat bahwa NEGARA
adalah INSTITUSI yang dekat dengan kekuasaan yang melekat.
Padahal Secara Sosiologis dapat dipahami dengan
mencaraii asal muasal kekuasaan yang berjalan dalam koridor konteks sosial.
POWER DOESN’T TAKE PLACE IN A VACUUM
PENGGUNAAN KEKUASAAN ITU itu selalu konteks dengan lingkungannya Baik
lingkungan sosial, lingkungan politik dan lingkngan alamiah.
MATERI KULIAH 2
ILMU NEGARA MEMBUTUHKAN SOSIOLOGI
Negara Dalam Teori
Sosiologis
Negara. Negara merupakan pengertina yang cukup
kompleks. Dalam pengertina hukum international negara adalah lembaga yang
memiliki ppemerintahan yang berdaulat, rakyat yang menjadi warga negara dan
iwlayah tempat berlakunya kedaulatan pemerintahan itu. Hegel seorang filsuf idealisme Jerman abad ke
19 merumuskan pengertina negara berdassarkan metode berpikir dialektis. Denag
berpikir secara dialektis dia sampai ke suatu pendapat negara adalah akhir dari
proses sosial, negara adalah idea ilahi yang ada dibumi. Makna negara adalah
kondisi morakl kita, negara merupakan sintesisi antara kemerdekaan universal
dan kemerdekaan individual, maka negara yang baik bukan negara itu
mempertahankan tertib hukum, tetapi karena mengusahakan penyatuan yang
universal dan yang partikular. Dia mengatakan negara berkuasa kalau tidak
menyeleweng dari prinsip-prinsip negara yang asli dengan kualitasnya sebagai
negara kesejahteraan yang makmur baik material maupun absolut. Teori ini dalam
praktek pernah diterapkan secara menyimpang menjadi negara fascisme di Itali
oleh Mussolini dan nasisme di Jerman oleh Hitler.
Teori bahwa negara itu penjelamaan dari idea
illahi itu di kembangkan oleh sarjana-sarjana Swiss dan Jerman pada abad ke 19.
Mereka menyamakan negara seperti manusia yang hidup dengan organ-organnnya yang
di gunakanuntuk memenuhi kebutuhannya. Diantara mereka itu adalah Otto Von Gierke dan Pail Laband. Jasa teori ini
memperkenalkan organ-organ negara seperti sampai sekarang masih di kenal orang
aitu alata perkembangan begara yang bergerak dan bertindak untuk keppentngan
negara.
Karl Max menggunakan
metode dialektis Hegel, tetapi berlawanan dengan Hegel dia menggunakan metode
dialektis ini untuk menjelaskan perkembangan masyarakat, sehingga teorinya
terkenal dengan histors materialisme.masyatakat berkembang dari masyarakat
komunal yang tidak mengenal hak pribadi, kemudian setalah pengertina hak milik
pribadi masyarakat berkembang sesuai dengan metode dialektis yang berupa
pertentangan kelas. ( P. J Suwarno ; 2003 ; 5, 7 )
MATERI KULIAH 3
SUMBER KEKUASAAN MENURUT
WEBER
‘Otoritas karismatik’,
‘Otoritas tradisional’
’Otoritas legal’
Otoritas
Kharismatik
“yaitu suatu kepatuhan yang dibenarkan karena
orang yang memberikan tatanan memiliki beberapa kesucian atau semua
karakteristik yang dikenal.”[1]
Di sini, pemimpin menggerakkan
yang dipimpin atas dasar kharisma atau wibawa yang dimilikinya, dan wibawa atau
kharisma ini merupakan sebuah kualitas diri yang batiniah yang tak bisa
diberikan atau dibagikan kepada pihak yang lain. Kharisma atau wibawa merupakan
sebuah kualitas diri yang tak kasat mata, namun auranya terasakan oleh mereka
yang dipimpin dan aura kharisma atau wibawa inilah yang sanggup menggerakkan
mereka yang dipimpin. Dalam kehidupan kita sehari-hari, tipe otoritas yang
demikian barangkali terepresentasikan dalam kepemimpinan sebagian tokoh agama.
Otoritas
tradisional’.
Dalam otoritas yang sedemikian ini, ‘semua
perintah mungkin dipatuhi karena adanya rasa hormat terhadap pola-pola tatanan
lama yang telah mapan.’[2] Tipe otoritas ini barangkali tak sulit untuk kita temukan
dalam kehidupan sehari-hari kita. Kita bisa lihat tipe otoritas ini semisal
dalam bagaimana masih kuatnya tradisi pernikahan yang mengikuti adat
tradisional.
Otoritas
legal’
dimana ‘manusia mungkin percaya bahwa seseorang
yang memberikan tatanan adalah berbuat sesuai dengan tugas-tugasnya sebagaimana
yang di dalam suatu kitab undang-undang dan peraturan.”[3] “Kategori ketiga ini berciri
rasional, dan merupakan tipe otoritas yang menandai organisasi modern, yang
berkaitan dengan membesarnya staf administrasi birokratis.”[4]
MATERI KULIAH 4
1.
Tipe
Otoritas Kharismatik
Dalam
tipe ini, orang-orang bersedia untuk menaati atau mematuhi sebuah kepemimpinan
tertentu atas dasar keyakinan mereka akan kharisma atau wibawa yang dimiliki
oleh sang pemimpin. Karena kharisma atau wibawa itu diyakini bersumber dari
kekuatan yang sakral, maka tidak sembarang orang yang bisa mendapatkannya.
Jadi, seorang yang memilikinya akan dianggap sebagai pertanda bahwa dia telah
memiliki kualifikasi untuk menjadi pemimpin mereka. Kepemimpinan di sini dibangun
di atas landasan keyakinan orang-orang akan kesakralan sang pemimpin yang tak
boleh dipertanyakan.
Termasuk
yang diyakini dalam kesakralan itu ialah kemampuan sang pemimpin untuk
mengetahui segala-galanya atas perkehidupan dari mereka yang dipimpin, dan
karena maha tahu, maka sang pemimpin bagi orang-orang yang dipimpinnya
merupakan pembimbing mereka menuju ke surga bersama. Jadi, menjadi tugas sang
pemimpin untuk memberikan kompas panduan ke arah mana masyarakat itu akan
melangkah dan bergerak sekaligus bagaimana cara menuju ke sana. Tugas dari
orang-orang yang dipimpin ialah tinggal menunggu titah dari sang pemimpin.
“Sabda sang raja adalah sabda Tuhan,” menjadi kesadaran kolektif masyarakat
tersebut.
Konsekuensi
dari tipe otoritas yang demikian ialah bahwa mereka yang dipimpin akan mudah
sekali kehilangan arah tujuan hidupnya manakala sang pemimpin tak lagi berada
di antara mereka. Kematian sang pemimpin identik dengan matinya kompas pemandu
tujuan hidup mereka. Masyarakat akan kehilangan pegangan hidup sehingga
biasanya kemudian terjadi disintegrasi atau perpecahan dalam masyarakat
tersebut karena tak ada sosok yang bisa menyatukan kemauan dan gerak langkah
masyarakat tersebut. Di sisi lain, ketergantungan terhadap sosok sang pemimpin
juga menjadikan kemampuan-kemampuan menentukan arah tujuan hidupnya tak
berkembang dalam diri yang dipimpin. Mereka yang dipimpin tak terlatih untuk
mengembangkan kemampuan memilih tujuan hidupnya sendiri maupun cara bagaimana
mencapai tujuan tersebut.
Maka,
tipe otoritas yang demikian berfungsi ideal pada situasi-situasi dimana
kehidupan yang melingkupi sebuah masyarakat masih begitu sederhana dan
problem-problem yang muncul bisa diselesaikan dengan cara-cara yang sederhana.
Dengan kesederhanaan situasi dan problem itu, maka sosok pemimpin akan bisa
menjalankan fungsinya sebagai yang maha tahu. Sang pemimpin-lah yang bertugas
memberikan jawaban atas banyak persoalan yang dialami oleh mereka yang
dipimpin.
Tipe
ini akan menjadi problematik manakala kehidupan telah menjadi sedemikian
kompleks, ruang kehidupan semakin saling terkait secara luas dan dinamika
kehidupan semakin cepat. Jika semua problem lantas harus menunggu jawaban dari
sang pemimpin, maka akan ada banyak energi dan waktu yang terbuang percuma
hanya untuk menunggu. Organisasi pemerintahan yang ada pun lantas menjadi
lamban dan tak responsif terhadap tantangan-tantangan yang terus muncul. Secara
keseluruhan, bangunan sosial politik yang didasarkan pada tipe otoritas semacam
ini akan menjadi rapuh justru karena ketergantungannya kepada satu figur
karismatik.
MATERI KULIAH 5
2.
Tipe Otoritas Tradisional
Dalam
tipe otoritas yang kedua ini, ketaatan dan kepatuhan orang-orang didasarkan
pada adat kebiasaan yang telah dijalankan secara generasi bergenerasi.
Kesetiaan pada adat kebiasaan menjadi nilai yang diutamakan. Di sini, sang
pemimpin mendapatkan legitimasinya sebagai seorang pemimpin karena perannya
sebagai penjaga dan penerus tradisi.
Jika
dalam tipe pertama, sang pemimpin masih berkewajiban untuk mengembangkan
kualitas dirinya karena keharusan untuk maha bisa memberikan arah dan jawaban
bagi persoalan-persoalan yang dialami oleh mereka yang dipimpin, dalam tipe
kedua ini sang pemimpin tak harus menjadi maha tahu karena telah ada adat tradisi
yang menjadi landasan bagi arah gerak aktivitas yang harus dijalankan. Tatanan
lama yang telah mapan menjadi dasar patokan penilaian bagi tepat atau tidak
tepatnya sebuah tindakan. Sebagai konsekuensinya, tak mudah untuk melakukan
sebuah perubahan sosial dalam tatanan yang sedemikian karena kesetiaan pada
tradisi menjadi keutamaan. Setiap usaha untuk melakukan perubahan pada adat
kebiasaan maupun struktur yang telah ada, akan selalu berhadapan dengan
resistensi yang kuat. Baik sang pemimpin maupun aparatur yang menjalankan roda
pemerintahannya akan menjalankan peran-perannya atas dasar adat kebiasaan yang
telah berlangsung selama generasi bergenerasi. Tentu saja, hal ini menjadikan
baik sang pemimpin maupun aparaturnya rendah motivasinya untuk mengembangkan
kualitas-kualitas terbaik dalam dirinya karena toh adat kebiasaan pada akhirnya
yang menentukan. Apa gunanya mengembangkan kecerdasan dan kreativitas jika pada
akhirnya yang dihargai ialah senioritas dan kepatuhan pada tradisi? Apa gunanya
berinovasi jika pada akhirnya yang dihargai ialah apa yang selaras dengan adat
tradisi? Insentif bagi munculnya inovasi-inovasi dalam menjalankan
kewenangannya lemah.
Seperti halnya tipe otoritas yang
pertama, tipe otoritas yang kedua ini juga hanya akan berfungsi dengan baik
dalam situasi-situasi dimana cara-cara tradisional bisa menjawab
problem-problem yang muncul. Dengan kata lain, ini berarti bahwa
problem-problem yang muncul haruslah juga merupakan problem-problem yang
memiliki karakteristik yang sama atau serupa dengan problem-problem yang dulu
pernah berhasil dengan cara-cara tradisional. Persoalannya ialah apakah kita
masih berada dalam sebuah dunia dimana problem-problem yang muncul tak lain
dari pengulangan problem-problem yang pernah ada.
Jika
kita menyaksikan betapa begitu cepatnya semua berubah, kita akan paham betapa
kita tengah hidup dalam dunia dimana inovasi demi inovasi terus-menerus
membayangi kehidupan kita setiap hari. Selalu ada barang baru, model baru,
jenis baru yang ditawarkan ke hadapan kita, dan ini berarti bahwa ada cara-cara
baru dan pengalaman-pengalaman baru yang ditawarkan kepada kita. Ini berarti
juga problem-problem baru. Apakah cara-cara dan kebiasaan lama bisa menghadapi
semua itu? Dalam kasus birokrasi, cara-cara dan kebiasaan lama malah menjadikan
kita tertinggal. Kerja birokrasi yang didasarkan cara-cara dan adat kebiasaan
yang lama seringkali malah lebih suka mempermasalahkan bagaimana melestarikan
cara dan kebiasaan lama ketimbang pada bagaimana menghadapi problem-problem
baru. Sebagai akibatnya, setiap kali berhadapan dengan problem-problem yang
memiliki karakteristik yang berbeda dari yang dulu pernah dihadapi dengan
cara-cara lama, birokrasi mengalami kegagapan. Secara luas, perilaku ini malah
akan menghancurkan daya cipta masyarakat. Lemah motivasi dan miskin inovasi
menjadi potret umum dari birokrasi maupun masyarakat yang masih mendasarkan
diri pada tipe otoritas kedua ini.
MATERI
KULIAH 6
3 . Tipe Otoritas Legal
Formal
Pada
tipe otoritas yang ketiga ini, kepatuhan dan kesediaan orang-orang lebih
didasarkan pada aturan-aturan yang disusun berdasarkan pada prinsip-prinsip dan
cara-cara rasional. Di sini, bukan karisma pemimpin atau adat kebiasaan yang
menjadi dasar ketaatan, namun hukum-hukum yang dibentuk secara tertulis dan
berdasarkan pertimbangan-pertimbangan rasional. Yang mungkin menarik untuk
dipertanyakan ialah: “Mengapa orang-orang bersedia untuk patuh pada
aturan-aturan dan hukum-hukum yang tertulis yang mungkin sama sekali tak pernah
dia ketahui bagaimana dan darimana bisa terbentuk?”
Kepatuhan
ini sesungguhnya berkaitan dengan perkembangan rasionalitas masyarakat itu
sendiri. Ketika pemimpin yang ada maupun struktur dan kultur tradisi yang ada
dianggap tak lagi memadai untuk bisa mewadahi dan mewujudkan aspirasi-aspirasi
masyarakat, maka pada saat itulah muncul pertanyaan: “Jika kharisma pemimpin
atau tradisi yang ada tak lagi bisa diandalkan sebagai jawaban untuk mencapai
tujuan hidup bersama, namun malah digunakan sebagai dalih untuk melanggengkan
ketidakadilan dan diskriminasi sosial politik yang ada, maka apalagi yang bisa
dijadikan sebagai dasar landasan bagi suatu otoritas?”
Perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi yang menghasilkan berbagai penemuan yang luar
biasa dan berhasil memecahkan berbagai kebutuhan manusia telah memperkuat
keyakinan manusia Barat akan kemampuan rasio atau akal budi manusia untuk
membantu manusia mencapai tujuan kehidupan bersamanya. Dengan rasio, manusia
bisa membaca realitas empiris, mendeskripsikan pola yang ada di balik
pengalaman empirisnya, dan untuk kemudian menemukan cara untuk memodifikasi
realitas empiris tersebut. Termasuk realitas empiris yang bisa dimodifikasi itu
ialah realitas sosio-politik dan ekonomi. Realitas empiris sosio-politik maupun
ekonomi bukanlah suatu tatanan yang tinggal diterima begitu saja tanpa ada
kemampuan manusia untuk mengintervensi ataupun memodifikasinya. Kesadaran akan
kemampuan rasionalitas manusia menumbuhkan kesadaran historis bahwa manusia
bisa mengintervensi dan memodifikasi realitas sesuai dengan citanya. Kesadaran
fatalisme yang menopang peradaban feodalisme pun runtuh secara perlahan namun
pasti. Kepercayaan terhadap kharisma maupun terhadap tatanan dan adat kebiasaan
yang lama, yang tumbuh dari alam kesadaran yang fatalis, surut secara pasti.
Usaha membangun kehidupan bersama tak lagi bisa diserahkan kepada kharisma atau
cara-cara lama. Usaha itu harus didasarkan pada pembacaan dan analisis empiris
atas keseluruhan situasi yang ada, dan kemudian merumuskan, merencanakan serta
menjalankan cara-cara yang dinilai paling efektif untuk mencapai tujuan yang
diinginkan, yang untuk kemudian dievaluasi apakah cara tersebut telah
menghasilkan realitas empiris yang diinginkan. Siklusnya lalu kembali ke
pembacaan realitas empiris yang baru dimodifikasi tersebut.
Agar
usaha membangun tujuan bersama itu berhasil, maka dibutuhkan kerjasama kolektif
dari seluruh anggota kehidupan bersama. Harus ada gerak langkah yang serempak
dan harmonis satu sama lain. Kalau sebelumnya, penyelarasan gerak langkah dari
seluruh elemen masyarakat itu dilakukan oleh seorang pemimpin atau oleh penjaga
adat kebiasaan yang lama, maka dalam dunia yang rasional, penyelarasan itu
dilakukan oleh aturan-aturan yang ditetapkan secara eksplisit dalam artian
tertulis dan disebarluaskan ke seluruh masyarakat. Dengan kata lain, hukum-lah
yang menjadi alat penyelaras dari seluruh gerak langkah guna mencapai tujuan
bersama. Ini berarti bahwa masyarakat pun harus dididik untuk menjadi
masyarakat yang rasional agar bisa menginternalisasi hukum tersebut dan
membentuk perilaku dan karakternya sesuai dengan hukum tersebut sehingga
keselarasan antar gerak langkah seluruh elemen masyarakat tercapai dan tujuan
bersama pun tercipta. Inilah yang dimaksud dengan otoritas yang didasarkan atas
aturan-aturan hukum atau otoritas legal.
MATERI KULIAH
7
Masyarakat, Bangsa, dan
Negara Indonesia
(Kajian Sosiologis)
Negara Terbentu Dengan ProseS Sejarah Dan Sosial
Negara Indonesia di bentuk atas bangsa Indonesia dan masyarakat Nusantara diketahui
oleh sejarawan sejak abad ke-4 Masehi setelah di temukan prasasti kerajaan
Mulawarman di Kutai ( Kalimantan Timur ), kemudian disusul dengan
penemuan-penemuan batu tertulis di Jawa Barat ( Kerajaan Tarumanagara ), Jawa
Tengah ( Kerajaan Kalingga dan Mataram Kuno ), di Sumatera , Kerajaan
Sriwijaya, di Jawa Timur Kerajaan Watan Emas dengan rajanya Airlangga, Kerajaan
kediri, Singasari, dan Majapahit. Bersamaan mundurnya kerajaan Samudra pasai di
Aceh, Kasultana Demak di jawa Tengah utara, Kasultanan dan akhirnya Mataram
islam. Di susul berkembangnya kekuasaan Belanda di Batavia yang akhirnya
berhasil menyebarkan pengaruhnya ke seluruh Nusantara. ( P.J Suwarno; 2003:1 )
Akhirnya jepang
yang menjajah sesudah Belanda berhasil meletakkan dasar-dasara birokrai modern
di tingkat pusat, memanfaatkan birokrasi itu untuk menggerakan rakyat dalam
mencapai tujuannnya menguras bahan
mentah secara efektif. Bersama militer jepang itulah kelompok Nasionalis
Indonesia mendapat pengalaman mengoperasikan birokrasi pemerintahan untuk
mencapai tjuan Negara yang sedang berperang. Denga pelajaan yang diperoleh dari
Jepang itu bangsa Indonesia menata Indoesai sebagai Negara modern yang
wilayahnya mencapai seluruh wilayah Hindia belanda dan mencoba untuk
mempertahankannya di tengah-tengah dunia yang sudah berkkembang menjadi puluhan
bahkan ratusan Negara-negara kebangsaan yang masing-masing berusaha
mempertahankan dirinya sendiri ( P. J Suwarno : 2003 : 4)
Dalam
sejarah Indonesia yang mulai abad ke 4, adda proses integrasi negara ( state
integration) yang silih berganti sampai akhirnay muncul integrasi negara
Indonesia. Di samping itu
sejak awal abad ke 20 juga tampak adanya proses integrasi bangsa ( national
integrtion ) yang mencapai puncaknya pada tahun 1945-1950. Proses integrasi
negara menunujukkan gejala munculnya kelompok penguasa yang menugasai wilayah
secara bertahap. Pertama, menundukkan saingan-saingannya, kedua menentukan
batas-batas wilayah kekuasannya, ketiga menciptakan polisi dan pengadilan untuk
menciptakan ketertiban dan keempat tahap penetrasi administratif, yaitu
pembentukan birokrasi untuk melaksanakan undang-undang dan mengumpulkan pajak.
( P. J Suwarno; 2003; 17 )
NEGARA DAN KEKUASAAN BIROKRASI
Birokrasi pemerintahan daerah dalam wilayah kerajaan Majapahit terdiri atas
- birokrasi
pemerintahan yang di pimpin oleh keluarga yang kawin dengan
penguasa-penguasa daerah terutama raja
- birokrasi
pemerintahan yang di pimpin oleh penguasa-penuasa daerah yang mengakui
kedaulatan Majapahit, terutama daerah-daerh di luar Jawa. Birokrasi pemerintahan daerah yang
pertama integrasinya dengan pusat lebih erat daripada yang kedua.
Integrasii birokrasi pemerintahan
pusat-daerah merupakan pola yang sudah lama terbentuk oleh kerajaan-kerajaan
pendahulu Majapahit. Integrasi birokrasi pemerintahan pusat-daerah lewat jalur
jalur berikut :
- Pada zaman
Hayam Wuruk Pahon Narendra
merupakan pengikat yang sangat erat antara pemerintahan pusat dan
daerah-daerah. Seperti telah diuraikan anggota-anggota Pohan Narendra adalah penguasa-penguasa
daerah yang kecuali di beri jabatan resmi sebagai anggota Pohan Narendra,
mereka masing-masing raja-raja daerah yang di ikat dengan tali perkawinan
dengan anggota-anggota keluarga raja.
- Patih, baik Apatih Mangkubumi yang di pusat maupun apatih yang di daerah
–daerah merupakan pejabta raja yang melaksanakan tugas di tengah-tengah
rakyat. Maka dari itu salah satu syarat
untuk menjabat patih ialah pernah menjelajahi seluruh daerah.
Sebagai penghubung raja dan rakyat apatih
mempunyai tiga tugas pokok yaitu : a. Melaksanakan sejumlah pelayanan
untuk raja pada saat ada perkawinan di keraton.
b. Mengurusi terlaksananya kebaktina di tempat-tempat suci setiap tahun
untuk keselamatan raja. c. Melindungi keselamatan rakyat dalam hal ini
harus ada kerjasama dengan juru
pengalasan.
- Pegawai-pegawai
raja yang mengurus pemasukan pajak ke bendahara kerajaan jua menimbulkna
sutau ikatan antara birokrasi pemerintahan pusat-daerah. Jenis pajak yang
di tarik oleh pusat yaitu pajak tanah/hasil bumi pajak perdagangan/penjualan
pajak atas usaha kerajinan dan denda-denda atas segala tindak pidana yang
di jatuhkan di dalanm sidang
pengadilan. Semua itu di sebut drawyahaji
yang secara harfiah berarti milik raja. Kecuali itu raja juga berhak atas buat aji atau gawal yaitu persembahan yang lain. ( P. J Suwarno; 2003 ;
35-36 ).
Materi Perkuliahan
8
PARTISIPASI POLITIK
The general level of participation in a society is the extent to which the people as a whole are active in politics: the number of active people multiplied by the amount of their action, to put it arithmetically.
But the question of what it is to take part in politics is massively complex and ultimately ambiguous. It raises the question of what constitutes politics. An activity within a political party or an organization which regarded itself as a pressure group should count as political participation.
Although not overtly political, these organizations set the context of politics, give their active members administrative experience and are capable of overt political action if their interests or principles are threatened.
There is an opposite problem about political losers: if people act, but ineffectively, perhaps because they are part of a permanent minority in a political system, can we say they have participated in the making of decisions?
One implication of this doubt is that possessing power is a necessary condition or logical equivalent of true political participation. If one is merely consulted by a powerful person who wants one's views for information, or if one is mobilized or re-educated within the control of another, one has not participated in politics in any significant sense.
Partisipasi
secara harafiah berarti keikutsertaan,
dalam konteks politik hal ini mengacu pada pada keikutsertaan warga dalam
berbagai proses politik. Keikutsertaan
warga dalam proses politik tidaklah hanya berarti warga mendukung keputusan
atau kebijakan yang telah digariskan oleh para pemimpinnya, karena kalau ini
yang terjadi maka istilah yang tepat adalah mobilisasi politik.
Partisipasi politik adalah keterlibatan
warga dalam segala tahapan kebijakan, mulai dari sejak pembuatan keputusan
sampai dengan penilaian keputusan, termasuk juga peluang untuk ikut serta dalam
pelaksanaan keputusan.
Konsep
partisipasi politik ini menjadi sangat penting dalam arus pemikiran deliberative
democracy atau demokrasi musawarah.
Pemikiran
demokrasi musyawarah muncul antara lain terdorong oleh tingginya tingkat
apatisme politik di Barat yang terlihat dengan rendahnya tingkat pemilih (hanya
berkisar 50 - 60 %). Besarnya kelompok yang tidak puas atau tidak merasa
perlu terlibat dalam proses politik perwakilan menghawatirkan banyak pemikir
Barat yang lalu datang dengan konsep deliberative democracy.
Di
Indonesia saat ini penggunaan kata partisipasi (politik) lebih sering mengacu
pada dukungan yang diberikan warga untuk pelaksanaan keputusan yang
sudah dibuat oleh para pemimpin politik dan pemerintahan. Misalnya ungkapan
pemimpin "Saya mengharapkan partispasi masyarakat untuk menghemat BBM
dengan membatasi penggunaan listrik di rumah masihng-masing". Sebaliknya
jarang kita mendengar ungkapan yang menempatkan warga sebagai aktor utama
pembuatan keputusan.
Materi Perkuliahan
9
PERILAKU POLITIK
Perilaku Politik = political
behaviour
The term refers to any form of (individual or collective)
involvement in the political process, or any activity which has political
consequences in relation to government and policy. This broad definition
embraces both legitimate forms of political participation (such as voting in
elections, activism in interest groups,
or social
movements) and illegitimate political activities (including coups d'état,
terrorism, and revolutions (see REBELLIONS)).
While formal participation aims at containing social conflict within
the extant political system, so that the political order remains stable,
dissent which cannot be channelled via existing political structures is likely,
not only to pursue changes in policy, but also to challenge the political order
itself.
The study of political behaviour also embraces the study of
inactivity and apathy, as well as the analysis of political ideologies, values, and attitudes as the
basis of participation and non-participation in the political sphere.
Materi Perkuliahan
10
Tinjauan sosiologis
TIGA PARADIGMA KEKUASAAN DAN NEGARA
Pemerintahan
sebagai seni pengelolaan kekuasaan sudah hadir sejak awal kehidupan manusia.
Ketika kepentingan yang berbeda dalam kehidupan kelompok sudah cenderung
menciptakan disharmoni, kehadiran seseorang yang kuat yang bisa memelihara
berlakunya sesuatu aturan main yang harus ditaati oleh semua pihak, merupakan
pertanda dari lahirnya sebuah pemerintahan.
Bentuk
awal dari pemerintahan itu bisa bermacam-macam, namun cirinya yang pokok,
setelah tercapainya kesepakatan tentang aturan hukum, adalah kehadiran seorang
pemimpin yang ditaati, secara tulus atau terpaksa, oleh orang-orang dalam suatu
kelompok masyarakat. Dari sini sudah jelas bahwa kepemimpinan merupakan inti
dari wujud pemerintahan di awal kelahirannya, dan penonjolan wibawa pribadi
pemimpin merupakan modal awal dari pemerintahan itu sendiri.
Pandangan tentang pemerintahan yang berdasarkan
kepada wibawa, kecendikiaan, dan kebijaksanaan sang penguasa itulah yang
menjadi acuan Plato ketika ia mempersyaratkan bahwa penguasa seyogianya
berasal dari kalangan filosof (the Philosopher King), baik buruknya
pemerintahan, dalam konteks ruling ini, sangat tergantung pada kualitas
kepribadian dan kemampuan sang penguasa.
Dalam perkembangan lebih lanjut, dominasi
kekuasaan yang terletak pada penguasa tadi (the ruler) tidak dapat terus
dipertahankan terutama karena dua alasan.
Pertama,
kehadiran seorang penguasa yang dekat dengan rakyat, memiliki kepekaan dan
kepedulian atas aspirasi dan kebutuhan rakyat, bijaksana, dan karena itu setia
kepada kebenaran, sangat jarang menyertai keberadaan sebuah pemerintahan.
Idealisme tentang pemimpin pemerintahan yang sekaligus filosof, yang mengabdi
kepada kebenaran, sangat sulit hadir dalam kenyataan. Dalam banyak kasus, kasus
telah semakin identik dengan kesewenang-wenangan. Akibatnya, masyarakat yang
pada mulanya terbiasa untuk taat akan gradual mempertanyakan keabsahan
dri sebuah kekuasaan yang menyeleweng dan sewenang-wenang itu.
Kedua,
keadaan di atas melahirkan kesadaran masyarakat akan arti penting kekuasaan,
seiring dengan kemajuan tingkat kesejahteraan mereka yang berimplikasi pada
tingkat pendidikan dan peradaban masyarakat secara keseluruhan. Pada gilirannya
terbentuklah kutub-kutub baru sebagai akibat dari semakin lemahnya
ketergantungan ekonomi, sosial, dan peradaban masyarakat kepada kekuasaan formal.
Apa yang lazim disebut sebagai civil society atau “masyarakat madani”
merupakan produk dari kemajuan di bidang ekonomi, sosial dan peradaban itu,
yang gerak langkahnya sudah cenderung berada di luar lingkaran pengaruh
kekuasaan formal.
Kenegarawanan
penguasa dan tokoh masyarakat di luar kekuasaan merupakan kualitas yang cocok
dan dibutuhkan bagi kehidupan pemerintahan yang baik. Di sini kenegarawanan
harus dilihat sebagai himpunan dari kapasitas kepribadian, kecendikian, dan
komitmen moral dari beberapa orang yang selalu menempatkan kepentingan bangsa
dan negara sebagai acuan bagi setiap segi dari pengabdiannya di bidang sosial,
politik, dan ekonomi.
Di
dalam konteks negara hukum itu, pemerintahan tidak lagi terbatas sebagai sebuah
proses governing, tetapi sudah menjadi proses administering.
Efektivitas pemerintahan tidak lagi tergantung semata-mata kepada kapasitas
pribadi seorang penguasa, juga tidak kepada kemampuan para pemimpin untuk
membangun konsensus-konsensus, tetapi lebih kepada sistem administrasi yang
baku dan absah, di mana prosedur, persyaratan, dan aturan main untuk
pengambilan keputusan di bidang pemerintahan sudah dengan sendirinya menjadi
acuan oleh semua pihak: pemerintah dan masyarakat. Pengawasan atas tingkat
ketaatan kepada konstitusi dan hukum sudah menjadi tanggung jawab bersama,
karena keduanya memang merupakan milik bersama.
Berdasarkan ulasan singkat di atas, dapatlah
disepakati adanya tiga paradigma pemerintahan yaitu:
Pertama,
pemerintahan sebagai a ruling process yang ditandai oleh ketergantungan
pemerintahan dan masyarakat kepada kapasitas kepemimpinan mendominasi hampir
seluruh interaksi kekuasaan. Kualitas pemerintahan tergantung mutlak pada
kualitas si pemimpin. Kalau pemimpin pemerintahan adalah seorang yang baik,
maka baiklah pemerintahan itu. Demikian pula sebaliknya. Seluruh pengambilan
keputusan dalam proses pemerintahan ditentukan oleh, atau tidak boleh
bertentangan dengan, keinginan pemimpin. Ia adalah pembawa kemakmuran dan
kebahagiaan. Sebaliknya, ia juga dapat menjadi sumber dana.
Dalam
situasi ruling, pemimpin yang mendiktekan nilai-nilai, bahkan juga hukum yang
diformulasikan secara pihak dan karena itu mengabdi kepada kepentingan
kekuasaan. Artinya, pemimpin memiliki keleluasaan untuk tunduk kepada nilai-nilai
dan hukum yang berlaku, atau melanggarnya jika tindakan itu dipandang lebih
menguntungkan kekuasaannya. Seperti dikatakan oleh Machiavelli dalam the
Prince, ketaatan kepada hukum bagi
seorang penguasa adalah perbuatan yang terpuji, tetapi jika hal itu
diketahuinya secara pasti akan merugikan stabilitas dan kelanggengan itu
diketahuinya secara pasti akan merugikan stabilitas dan kelanggengan
kekuasaannya, maka ketaatan telah menjadi kebodohan yang harus dihindari. Dalam
konteks historis, proses ruling ini terlihat baik dalam sistem kerjaan absolut
(zaman kuno) maupun sistem dictatorial/authortitarian (zaman modern).
Kedua,
pemerintahan sebagai a governing process, yang ditandai oleh praktek
pemerintahan yang berdasarkan pada konsensus-konsensus etis antara pemimpin
dengan masyarakat. Pemerintahan dijalankan berdasarkan kesepaktan-kesepakatan
yang terbentuk melalui diskusi dan diskursus (wacana) yang berlangsung dalam
ruang publik (public sphere). Dalam proses ini, walaupun sistem hukum
yang ada belum lengkap, kekurangan itu ditutupi oleh tradisi membuat konsensus
tadi. Kedaulatan rakyat sebagai sebuah konsep dasar tentang kekuasaan telah
menemukan bentuknya di sini.
Ketiga,
pemerintahan sebagai an administering process, yang ditandai oleh
terbangunnya suatu sistem hukum yang kuat dankomprehensif, melalui mana seluruh
interaksi kekuasaan dikendalikan oleh suatu sistem administrasi yang bekerja
secara tertib dan teratur. Di dalam sistem ini, setiap konsensus yang dicapai
akan tertuang ke dalam aturan-aturan hukum yang mengikat, dan setiap tindakan
serta peristiwa pemerintahan dan kemasyarakatan terekam ke dalam suatu
administrasi yang dapat sewaktu-waktu diacu dalam proses pengambilan keputusan.
Kalau sistem ini sudah terbangun, masalah kepribadian pemimpin tidak lagi
menjadi faktor determinan. Siapapun yang masuk ke dalam posisi kepemimpinan
akan dipaksa oleh sistem yang berlaku untuk tunduk pada aturan main dan
nilai-nilai yang sudah baku. Aparatur dan warga negara yang secara aktif
menaati aturan-aturan hukum itu berperan sebagai pengawas atas kejujuran dan
konsistensi proses kepemimpinan yang berlaku.
Ketiga
paradigma ini sekaligus merupakan tahapan-tahapan dalam pembangunan sebuah
pemerintahan. Pemisah atas ketiga konsep ini hanya untuk menggambarkan bahwa
nilai-nilai yang melekat dan meneyertai proses pemerintahan berubah berdasarkan
dinamika masyarakat di mana pemerintahan itu mengambil tempat. Kalau kita
menerima ketiga konsep itu sebagai nilai atau norma yang berdiri sendiri dan
penghayatan atas masing-masing nilai itu bersifat bulat, maka pergeseran dari
ruling ke governing ke administering seyogianya dilihat sebagai isyarat
kemajuan. Dalam kenyataan, setiap pemerintahan memiliki karakter yang
membaurkan lebih dari satu sifat dasar dari paradigma yang dikemukakan di atas.
Perbedaan antara satu pemerintahan dengan yang secara dominan. Pergeseran dalam
paradigma mana yang secara dominan mewarnai keberadaan mereka masing-masing.
Pergeseran dalam paradigma itu, dalam kenyataan, juga tidak berlangsung secara
linear dan positif. Suatu praktek pemerintahan yang semula sudah lebih dekat
kepada proses governing bisa saja mundur kembali ke proses ruling. Contohnya
yang paling konkrit bagi masyarakat modern adalah Jerman sebelum dan sesudah
naiknya Hitler sebagai Kanselir.
Jika
dikaitkan dengan demokrasi, maka proses governing merupakan awal dari
kelahiran pemerintahan yang demokratis, dan proses administering
merupakan wujud yang lebih menjamin
kelangsungan pemerintahan yang demokratis itu.
Konsep
tentang paradigma itu bertolak dari asumsi bahwa penghayatan masyarakat tentang
makna sebuah pemerintahan berkembang seiring dengan peningkatan kualitas
peradaban yang mereka bangun. Jika pada suatu masa tertentu terbentuk
kepercayaan yang luas bahwa proses goberning lebih baik daripada ruling, dan administering lebih baik dari pada
governing, maka ketiga konsep nilai dan norma itu bisa dianggap sebagai
paradigma. Jadi, walaupun dalam kenyataan unsur-unsur dari dua atau tiga konsep
itu dapat saja ditemukan bersama dalam sosok sebuah pemerintahan, tetap bisa
diamati konsep dan nilai mana yang dominan. Keberadaan bersama itu seyogianya
dilihat sebagai proses transisi yang sangat mungkin akan berlangsung lamban.
Keberadaan
tiga konsep itu sebagai paradigma bisa diragukan jika kita menganggap bahwa
ketiganya selalu diterima secara luas sebagai kebenaran yang mutlak menyertai
keberadaan sebuah pemerintahan. Dalam konteks ini, ketiganya tidak memenuhi
syarat sebagai paradigma, tetapi lebih menampil sebagai spektrum pemerintahan.
Materi PERKULIAHAN 11
Tugas
Tugas Membuat Makalah individual
Persyaratan:
·
Makalah
diketik 1 ½ spasi, Times New Roman.
·
Makalah
membahas sebuah studi kasus.
·
Makalah
dilengkapi data data lapangan.
·
Tema
makalah: bebas tapi isinya harus terkait dengan teori SOSIOLOGI KEKUASAAN yang telah diperdalam
dalam petemuan SEBELUMNYA
·
Tidak
boleh sama dengan MAHASISWA lainnya ( apabila sama = nilai 0)
·
Dikumpulkan dalam waktu 1
minggu
MATERI KULIAH
12
Sistem Politik Dan Lingkungan SOSIOLOGISNYA
Dalam kenyataan kita dapat
menjumpai perbedaan-perbedaan esensial Sistem Politik di Indonesia dari periode
yang satu ke periode yang lain, misalnya Sistem Politik Demokrasi-Liberal,
Sistem Politik Demokrasi-Terpimpin dan Sistem Politik Demokrasi-Pancasila sedangkan
falsafah negara tetap tidak berubah.
Falsafah
tidak banyak berpengaruh terhadap sistem politik, artinya juga tidak
berpengaruh terhadap aktor (pelaku) politik, atau Belum ditemukan standar dan
model Sistem Politik Indonesia yang sesuai dan menyangga (mendukung) cita-cita
tadi. Jelasnya, Sistem Politik Indonesia masih dipertanyakan masih dicari model
pokoknya, baik berlandaskan falsafah maupun berlandaskan kenyataan serta
fenomena sosial Indonesia.
Untuk
memperlengkap rangkuman uraian tentang peristilahan Sistem Politik Indonesia
ini dapat diambil analogi dari sistem pemasangan jaringan elektronika. Dalam
bidang ini, bila dipergunakan prinsip “trial and error” tanpa keceramtan dan
ketelitian yang dikehendaki sistem, akan terjadi sirkuit pintas yang dapat
merusak seluruh sistem.
Bagaimanakah hubungan system politik
dengan mekanisme negara dan kestabilan./
Sebagaimana
kita ketahui negara baru akan berjalan kakau kita memiliki kesepakan yang
dihormati dan dilaksanakan. Ia erat hubungannya dengan stabilitas negara. Ada
unsur lain yaitu kondisi struktur dan infrasruktur politiknya. Juga kedewasaan
(maturity). Mengapa beberapa masyarakat politik tertentu berhasil sedangkan
yang lain sama sekali tidak mampu menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapinya.
Adakah konsep yang sama di tiap negara.? . Ada beberapa kesamaan dan ada pula
seslau perbedaannya. Hal itu karena unsur unsur atau sub system sebuah negara
berbeda beda. Begitu pula tujuan tujuan yg ingin dicapai.
Sebuah
system politik merupakan suatu GUIDANCE negara, unsure negara, masyarakat dan
tercermin dalam kebijakan yang diambil oleh lembaga negara. Aapablika ia
dilanggar atau diingkari akan terjadi konflik dan bias menyebabkan
instabilitas.
Adalah sebuah sistem yang terbangun atas unsur-unsur
internal di sebuah mansyarakat berupa lingkungan fisk, lingkungan sosial,
bahkan kepercayaan dan keyakinan mereka lalu mereka menjadi semacam cara
bernegara yang dilembagakan.
Dalam perkembangannya sebuah sistem politik tidak
berdiri sendiri dan tidak lepas dari pengaruh luar (external) baik itu
lingkungan regional, internasional bahkan lingkungan “arus ideologi ideologi
besar seperti globalisasi ekonomi, kebudayaan.
Materi Perkuliahan
13
NEGARA DAN PEMERINTAHAN SEBAGAI
SISTEM
Kalau
kita membahas tentang sistem pemerintahan, maka perhatian seyogianya diarahkan
pada tiga komponen utamanya yaitu aturan main (konstitusi, hukum, etika),
lembaga-lembaga (konstitusi, hukum, etika), lembaga-lembaga (yang berwenang
melaksanakan aturan main),d an pelaku (khususnya pemimpin-pemimpin yang
bertanggungjawab atas pelaksanaan kewenangan-kewenangan yang melekat pada
lembaga-lembaga).
Suatu sistem pada tingkat pertama memerlukan
aturan main tentang proses dan prosedur pengambilan keputusan yang disepakati.
Sekali aturan main ditetapkan, semua pihak harus tunduk kepadanya, senang atau
tidak senang. Sebagai konsekuensi dari adanya aturan main yang disepakati,
diterima, dan harus ditaati itu, diperlukan lembaga-lembaga yang memiliki
otoritas yang cukup untuk melaksanakan aturan main tadi, serta mengawasi
perilaku dari pihak-pihak yang dirujuk oleh aturan itu untuk mematuhinya. Jadi,
lembaga-lembaga yang dan dibangun untuk melaksanakan, mengawasi, dan bahkan
menindak mereka yang tidak mematuhi sesuatu aturan main itulah yang memberi
makna pada keberadaan sesuatu aturan.
Selanjutnya, aturan main dan lembaga itu
memerlukan orang-orang yang akan berperan sebagai pelaku dan penanggungjawab
atas bekerjanya suatu sistem yang terbangun melalui aturan main dan lembaga-lembaga.
Bukanlah aturan dan lembaga akan tetap tidak berdaya tanpa orang-orang yang
diberi kewenangan sebagai pelaksana? Ringkasnya, suatu sistem akan dapat
bekerja secara efektif jika ia didasarkan pada seperangkat aturan main yang
disepakati dan diterima, memiliki lembaga-lembaga pendukung yang berwenang
melaksanakan aturan main itu, serta pelaku-pelaku (dengan penekanan khusus pada
kepemimpinan) yang setia melaksanakan kewenangan yang dilekatkan pada
lembaga-lembaga di mana ia mengabdi.
Dalam
hubungan-hubungan kekuasaan, konsep tentang sistem politik, atau lebih khusus
lagi sistem pemerintahan, sudah diperkenalkan sejak lama. Pemerintahan selalu
dilihat sebagai perpaduan antara aturan main, lembaga-lembaga yang berwenang
mengelola serangkaian kekuasaan (eksekutif, legislatif dan judikatif), serta
sejumlah birokrat dan pejabat politik sebagai pelaku dari, dan penanggung jawab
atas pelaksanaan kewenangan-kewenangan itu.
Dipandang
dari sudut aturan main, pemerintahan memiliki tiga acuan pokok yaitu konstitusi,
hukum, dan etika. Masyarakat pun terikat pada tiga acuan ini.
Bagi pemerintah, acuan-acuan itu bukan sekedar terkait dengan tingkah laku
aparatnya atau sebagai pedoman untuk pembuatan dan pelaksanaan kebijakan,
tetapi juga mengawasi apakah masyarakat senantiasa menaatinya. Bagi masyarakat
ketaatan pad acuan itu akan terlihat dari pelaksanaan hak dan kewajiban mereka
sebagai warga negara. Kebebasan masyarakat untuk melaksanakan berbagai hak dan
kewajibannya, dibatasi oleh tiga acuan ini. Pada saat yang sama, mereka juga
berhak menilai tingkat ketaatan pemerintahan kepada tiga acuan itu pemerintahan
sebagai rangkaian dari lembaga-lembaga memiliki banyak komponen organisasi
dengan berbagai kewenangan yang satu sama lain berbeda namun saling
berhubungan. Diantara tiga cabang kekuasaan pemerintahan yang ada, kekuasaan
pemerintahan yang ada, kekuasaan eksekutif memiliki paling banyak
lembaga-lembaga.
Tiga
karakter dasar dari sistem (consistency), transparency, dan certainty)
hanya dapat diamati melalui cara kerja dari sistem atau sub-sistem yang menjadi
obyek perhatian kita. Barangkali subsistem kepemimpinan pemerintahan di daerah
dapat dilihat sebagai ilustrasi yang menarik tentang realitas sistem
pemerintahan Indonesia. Yang realitas sistem pemerintahan Indonesia. Dari sudut
rekrutmen, masa pengabdian, dan promosi, misalnya, maka konsistensi antara
aturan main dengan lembaga yang berwenang dan kualitas pribadi yang
dipersyaratkan seyoggianya terpelihara secara baku.
Contoh
lain yang lebih gamblang tentang subsistem kepemimpinan pemerintahan yang
bekerja dengan baik, bisa diamati melalui pola rekruitmen Perdana Menteri dalam
sistem politik parlementer yang dipraktekkan di Jepang, Inggris, dan Malaysia.
Di sana, seorang pemimpin partai yang menang dalam pemilihan umum, atau seorang
pemimpin koalisi mayoritas dalam parlemen, akan secara otomatis menjabat
sebagai perdana Menteri. Dalam kasus ini, konsistensi, transparansi, dan
kepastian sudah menyatu.
Di
tiga negara itu telah terbangun suatu tradisi politik bahwa kompetisi untuk
kepemimpinan pemerintahan berlangsung di dua medan laga. Pertama, kongres partai dimana seleksi kepemimpinan
secara individual mengambil tempat. Seseorang harus memenangkan proses seleksi
kepemimpinan partai sebelum ia membangun harapan untuk memimpin pemerintahan. Kedua,
pemilihan umum yang menghadapkan satu partai yang lain di dalam kontestasi
merebut kepercayaan dan dukungan rakyat. Pemimpin tertinggi dari partai yang
menang dalam suatu pemilihan umum akan secara otomatis memperoleh kesempatan
membentuk dan memimpin pemerintahan. Kalau pemilihan umum tidak menghasilkan
satu partai mayoritas yang berhak membentuk pemerintahan, maka peluang untuk
membentuk koalisi partai-partai adalah jalan keluar umum. Secara etis, tetap
saja pemimpin partai terbesar dalam koalisi partai-partai adalah jalan keluar
yang umum. Secara etis, tetap saja memperoleh kesempatan memimpin pemerintahan.
Rule yang seperti ini sudah diketahui oleh semua warga masyarakat politik di
negara-negara yang disebutkan di atas (transparency).