Sabtu, 19 September 2009

Ketimpangan Demokrasi Kita



Pesta demokrasi tahap pertama, pemilu legislatif, telah usai. Komisi penyelenggara dan badan pengawas pemilu disibukkan dengan beberapa tugas dan persoalan yang belum terselesaikan. Bak gayung bersambut, politik nasional pun beranjak pada wacana seputar koalisi menghadapi pemilu presiden, 8 Juli 2009. Namun, ada hal yang luput dari perhatian, yakni evaluasi nonteknis berkenaan dengan kualitas yang mengetengahkan demokrasi sebagai sistem beserta nilai-nilai substansial yang terkandung dan dituju dari sistem tersebut.

Secara prosedural, mekanisme demokrasi lewat pemilu telah kesekian kali diselenggarakan. Namun secara substansial masih menjadi pergulatan yang sampai sekarang terus diupayakan. Irama apologetik yang sering diutarakan adalah bahwa untuk mencapai tujuan tidaklah mudah, butuh pengorbanan dengan proses yang cukup panjang. Tentunya, ini bukanlah alasan mendasar karena pencapaian suatu tujuan tergantung pada upaya yang dilakukan.

Selama ini, perhatian terhadap demokrasi banyak diarahkan pada wilayah permukaan seperti mekanisme pemilu demi lahirnya pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Sementara struktur dalam (deep structure) demokrasi menyangkut nilai-nilai di mana masyarakat mampu berpartisipasi secara sadar dalam bingkai kebangsaan dan kenegaraan jarang mendapat perhatian. Akibatnya, pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat beralih ke pemerintahan oleh dan untuk penguasa saja.

Terdapat hubungan asimitris antara sistem dengan kultur masyarakat sehingga penerapan demokrasi terkesan dipaksakan. Apalagi perilaku elit politik memberikan citra negatif seolah demokrasi sebatas kebebasan mencapai kekuasaan dengan mengesampingkan nilai-nilai etika dan estetika. Sehingga asumsi yang timbul saat pesta demokrasi adalah pesta sungguhan layaknya pesta penuh hidangan euphoria lainnya. Maka amat wajar bila masyarakat antusias menyambut pemilu karena semua elit politik berlomba-lomba berbuat “baik” dengan berbagi sembako, duit, sumbangan dan sebagainya.

Perjuangan Kultural
Ketimpangan antara sistem dan kultur masyarakat sangat potensial bagi terjadinya destruksi yang merusak tatanan negara demokratis. Kondisi demikian bisa dimanfaatkan oleh beberapa elit tertentu melalui kekuatan modal (money politic) atau dengan cara melekatkan stigma politiknya pada komunalisme, seperti agama dan ikatan primordial lainnya. Meski untuk yang terakhir tidak terlalu kentara, masyarakat jelas akan menjadi korban permainan elit politik yang jauh dari cita-cita ideal demokrasi.

Oleh karena itu, sebagaimana diungkapkan Francis Fukuyama, harus ada hubungan simbiosis mutual antara sistem dengan budaya masyarakat sebagai nilai kultural demokrasi. Selama masyarakat hidup dalam budaya arsitokrasi atau feodalisme, hampir dipastikan demokrasi akan berjalan tidak efektif, tanpa terkendali. Sebab, demokrasi meniscayakan partisipasi penuh sehingga kualitasnya bergantung pada kualitas modal sosial yang ada di dalamnya. Demikian pula kualitas seorang pemimpin yang bergantung pada kualitas pemilih, bukan pada suara mayoritas.

Karena suatu sistem erat kaitannya dengan budaya masyarakat, maka satu-satunya jalan menyelamatkan kualitas demokrasi adalah melalui perjuangan kultural. Yaitu, perjuangan yang termanifestasi dalam gerakan moral yang mengarahkan masyarakat ke arah nilai sesuai dengan substansi dan tujuan demokrasi. Tentu semuanya harus beroperasi dalam bingkai kebangsaan dan kenegaraan sebagaimana termuat dalam Pancasila.

Perjuangan kultural berbeda dengan perjuangan politik yang bersifat struktural. Jika perjuangan politik-struktural selalu dikaitkan dengan konsep, ide bahkan jabatan, akuisisi kekuasaan (acquisition of power), dan bagi-bagi kue kekuasaan (sharing of power), perjuangan kultural lebih kepada perberdayaan politik (political empowerment) yang menempatkan posisinya sebagai kekuatan kontrol atas proses demokratisasi yang datang dari kelompok civil society dan berperan dalam mencerdaskan dan memberdayakan masyarakat.

Hal itu bisa dilakukan oleh LSM, organsiasi masyarakat, media dan lain sebagainya. Hanya saja, yang hingga kini masih jadi persoalan adalah efektifitas dari kekuatan demokrasi tersebut ketika dihadapkan pada persoalan capital sebagai tulang punggung organisasi. Bila tidak segera dibenahi, persoalan capital dapat melibas independensi atau menggembos eksistensi organisasi sehingga ikhtiar untuk membuat rakyat mampu berpartisipasi serta melaksanakan hak dan kewajiban konstitusional terhambat sama sekali.

Check and Balance
Penguatan peran dan fungsi kultural oleh kalangan sipil diharapkan dapat mengimbangi realitas puncak politik kekuasaan. Dengan demikian mekanisme pengawasan dan pengimbangan bisa terus dilakukan sesuai harapan. Tanpa itu, laju kekuasaan akan selalu mengambil jarak dengan kehendak bersama dan dinamika demokrasi pun akan diwarnai oleh –meminjam istilah Alexis de Tocqueville- “tirani mayoritas”. Sebuah kecenderungan dalam sistem demokrasi untuk melegitimasi kekuasaan dengan memanfaatkan anggapan bahwa “suara rakyat, suara Tuhan”.

Padahal, istilah mayoritas perlu ditelusuri lebih jauh dengan cara mengaitkannya dengan kualitas, baik kualitas pemilih maupun langkah kebijakan yang diambil oleh penguasa. Apalagi dalam sistem demokrasi berlaku adagium “saya memang tidak setuju dengan pendapat Anda, tetapi hak Anda mengajukan pendapat saya bela sepenuhnya”. Artinya, setiap sesuatu yang disandarkan pada ukuran mayoritas tidak sepenuhnya baik untuk kepentingan bersama maupun bagi kualitas demokrasi itu sendiri.

Pada tahap itulah diperlukan peran nyata dari perjuangan kultural dengan mengarahkan masyarakat agar tidak terjebak dalam kesadaran palsu (false of consciousness), terbuai janji manis kaum elit, rayuan dengan iming-iming duit, dan sebagainya. Pengarahan ini dilakukan tidak lain adalah untuk menggapai hukum perubahan yang teratur (orderly change), direncanakan sesuai tujuan bersama. Perubahan yang mengambil bentuk pergerakan buttom up sehingga benar-benar merepresentasikan suara Tuhan.

Akhirnya, Pemilu legislatif 2009 memberikan pelajaran nyata bagi setiap insan demokrasi untuk kembali memperkuat peranan kultural di tengah puncak pragmatisme politik. Sebuah peran sebagai “polisi demokrasi” yang merupakan conditio sin quo noon dari dinamika politik yang timpang.