Sabtu, 04 Januari 2014

RUANG KATA (2)


Oleh: Herman Oesman

Ruang itu, kata-kata mengalirkan segala rasa, gelisah, emosi bahkan nilai-nilai keyakinan
Tak bisa dibedakan, mana ruang untuk kepentingan privasi dan kebutuhan publik, campur satu. Mengabarkan urusan domain yang paling sekresi dijadikan permainan kata-kata.
Hal-hal yang paling tabu, telah jadi bahasa permainan.
Perebutan dominasi untuk kepentingan politik ikut menjadi aksesoris, pemanis dan juga mungkin menggalang simpati. Ruang-ruang riil telah digeser dalam ruang-ruang kata. Analisis serius, gurauan sepintas telah menjadi media untuk berkomunikasi dalam rentang waktu dan jarak yang demikian panjang.
Teruskan baca - RUANG KATA (2)

RUANG KATA


Oleh : Herman Oesman

Pada ruang,
kata-kata dikumpulkan.
Mengikatnya menjadi satu,
menjadikannya senjata dan palu godam untuk memperdebatkan,
mencaci,
memuji,
membelai lembut gendang telinga
dan sekaligus juga menjilati sang penguasa.
Teruskan baca - RUANG KATA

Nalar Cerita dan Ekstase Imajinasi


Pembaca mungkin suntuk dan bakal menyesatkan diri dalam kerimbunan tanda dan keramaian imajinasi. Pembaca masuk dalam nalar cerita dengan negasi dan afirmasi untuk penciptaan realitas-fiksionalitas dan permainan referensi tak henti.

Cerita-cerita terus memberikan tawaran dengan racun-racun magis dan bumbu dekonstruksi untuk membuat pembaca tertegun atau kelelahan. Jalan kecil selalu dijadikan dalil untuk istirahat dan menyelamatkan nalar cerita sebelum ada tumpukan imajinasi jatuh menimpa kepala pembaca. Cerita menjelma persemaian kata dan makna tanpa ada batas geografis, waktu, etnis, agama, ideologi, politik, dan historis.

Kumpulan cerita Ular di Mangkuk Nabi menjadi bukti Triyanto Triwikromo sadar dengan kepemilikan otoritas pengarang dalam laku menciptakan dan menabur benih-benih imajinasi. Cerita terus merekah untuk melampaui wadah. Pembaca mungkin repot menerapkan konstitusi fiksionalitas dalam menerima luberan makna dan ekstase imajinasi. Pengarang lincah menempuh jagat tanda dengan meninggalkan jejak-jejak samar. Pembaca bisa mengikuti dengan turut atau menempuh arah beda tanpa jejak-jejak eksplisit untuk kembali pulang. Risiko dari afirmasi cerita adalah kesadaran untuk menyesatkan diri dalam ikhtiar menantang kematian fiksi.

Triyanto menjelma menjadi penggembala cerita tanpa instruksi dan imperatif absolut. Pengarang justru menyadari adanya ruang besar untuk cerita-cerita melakoni perjalanan sendiri dengan peta-peta magis. Cerita mungkin lari jauh tanpa lelah, sembunyi di gua gelap dan sepi, naik ke langit dengan telanjang, berbaring di sela-sela tubuh kotor bumi, duduk sedih di atas dahan rapuh, atau menelusup ke tubuh perempuan tua tanpa wajah. Pembaca lalu menempuh piknik imajinasi dengan pintu terbuka dan mungkin enggan mencari kunci untuk menutup pintu-pintu cerita.

Pembaca disuguhi imaji iblis, setan, malaikat, jin, ular, dan makhluk-makhluk dalam batas fakta-fiksi untuk konstruksi cerita. Kehadiran imaji dengan ketegangan teologis justru membuat cerita dalam remang-remang kebenaran dan kedustaan. Pengarang fasih melakukan karakterisasi tokoh tanpa penundukkan imperialistik. Tokoh menghidupi diri ketika sadar ruang dialektis dengan otonomi fiksionalitas. Pengarang tidak memberikan konstitusi kaku dalam memberi kemungkinan kelahiran dan pertumbuhan tokoh-tokoh dalam ruang cerita. Tokoh-tokoh hadir memberikan sapaan kepada pembaca dengan pengenalan di ambang batas terang dan gelap.

Kelincahan pengarang untuk mengantarkan cerita pada jalan tak karuan atau labirin imajinasi menjadi bentuk tantangan kepada pembaca dalam memberi iman dan amin. Cerita-cerita tidak melenggang di jalan lurus, tapi sesak dengan pembayangan jalan-jalan tak ada ujung atau membentur tembok angkuh. Pengarang membuka pintu dengan kalem agar pembaca rikuh mengajukan tanya, lalu dibiarkan dalam pengelanaan mengejutkan dan melelahkan. Cerita jadi ruang pertaruhan hidup dan mati untuk pembaca di hadapan kuasa pengarang di balik tabir tanpa lembaran jawaban dan hadiah.

Pengarang kentara memiliki sensibilitas kosmis untuk menciptakan cerita dengan usia panjang. Sensibilitas kosmis hadir dalam cerita melalui kelihaian pengarang dalam membuat percampuran kontradiksi-kontradiksi. Epistemologi dikotomik justru dicairkan dengan perangkat cerita dan olah imajinasi untuk mengganggu nalar pembaca terhadap klaim fakta dan fiksi, keras dan lembut, hitam dan putih, baik dan buruk, kotor dan bersih, atau sakral dan profan. Sensisibiltas kosmis jadi lembaran pengarang melakukan afirmasi peran pembaca dan penulis dalam khidmat dan keliaran.
***


Cerita-cerita dalam Ular di Mangkuk Nabi merupakan album getir dan satir dari kesadaran manusia terhadap berbagai fakta dan fiksi. Pengarang eksplisit mengantarkan pembaca pada kemungkinan-kemungkinan gelap untuk mencari terang di sela-sela kerimbunan tanda. Cerita-cerita magis membuat pengarang merasa mendapati dusta-dusta imajinasi ketika alpa dengan kodrat fiksi. Kesadaran terhadap dusta itu lekas disisipi dengan kelincahan pengarang membuat tautan-tautan referensial. Pembaca lalu ragu untuk vonis kedustaan atau kebenaran mengacu pada konvensi nalar cerita. Konstruksi cerita sengaja jadi pembuktian kerja pengarang membuat nalar cerita dalam daerah perbatasan agar pembaca sadar untuk hidup atau mati dalam penghayatan dan penyayatan cerita.

Cerita Dalam Hujan Hijau Friedenau, misalnya, adalah pengisahan getir tentang lakon cinta kudus tanpa jatuh dalam nalar cerita sentimental dan keringkihan imajinasi. Pengarang justru mengajukan kepelikan fiksi untuk pengungkapan hasrat dan kutukan dari lakon cinta. Cerita ini tak ingin manja dengan sentuhan-sentuhan klise kisah lelaki dan perempuan. Ramuan magis membuat lakon cinta masuk ke jurang nalar untuk mengalami ekstase di ambang batas kehidupan dan kematian.

Ketegangan memuncak dalam tuturan pelik untuk membuka iman dan aib cinta lelaki dan perempuan. Resistansi atas legitimasi cinta diungkapkan dengan nalar menantang ketika cinta masuk pada model transaksi tubuh dan ruh: ''Apakah kini kau menganggapku sebagai iblis paling rapuh, sehingga perlu memberiku malaikat pelindung? Apakah kau tidak lagi menganggapku memiliki kekudusan cinta, sehingga perlu memberiku kisah percumbuan yang lain?'' Kutipan itu jadi representasi hasrat pengarang untuk menciptakan subversi-subversi atas nalar cerita konvensional.

Subversi atas nalar cerita juga muncul dengan menegangkan dalam fragmen-fragmen penyaliban. Subversi justru melahirkan imajinasi dekonstruktif untuk meragukan kebenaran dan kedustaan dalam fakta dan fiksi. Salib dan penyaliban seperti jadi esktase imajinasi untuk meruntuhkan pembayangan pembaca terhadap warisan-warisan nalar cerita lama. Pengarang tanpa sungkan mengisahkan penyaliban dalam permainan tanda dengan mistis dan tragis. Penyaliban menjadi tanda seru dan tanda tanya dalam menilai ulang lakon-lakon manusia dari tarikan sejarah teologis sampai pada tragedi-tragedi realistis di zaman fiksionalitas ini.

Fragmen-fragmen salib dan penyaliban ditaburkan dalam cerita Dalam Hujan Hijau Friedenau, Delirium Mangkuk Nabi, Sepasang Ular di Salib Ungu, Sirkus Api Natasja Korolenko, Matahari Musim Dingin, Lumpur Kuala Lumpur, dan Neraka Lumpur. Imajinasi salib seperti jadi juru bicara untuk menantang nalar pembaca terhadap konstruksi cerita. Pengarang dengan keramaian imajinasi salib justru dengan eksplisit memberikan otoritas pembaca untuk menerima atau menolak. Cerita-cerita itu justru membuat pembaca memiliki hak untuk membaca sebagai salib, melakukan penyaliban terhadap cerita, atau menyalibkan diri untuk pasrah dalam cerita. Salib mengalami persemaian makna sebagai metafora mengandung tuah dan kuasa.

Nalar cerita subversif juga tampak dari pengolahan referensi sejarah Pangeran Diponegoro dalam cerita Sayap Kabut Sultan Ngamid dan biografi pendek Arthur Rimbaud dalam cerita Hantu di Kepala Arthur Rimbaud. Pengarang sengaja mencantumkan pijakan referensial dalam Babad Dipanegara, Asal-usul Perang Jawa: Pemberontakan Sepoy dan Lukisan Raden Saleh (2004) garapan Peter Carey, dan Orang Indonesia dan Orang Perancis dari Abad XVI sampai dengan Abad XX (2006) garapan Bernard Dorleans. Subversi atas nalar sejarah digenapi dengan subversi nalar cerita untuk menciptakan letupan-letupan imajinasi dan ekstase fiksionalitas di hadapan rentetan fakta sejarah.

Nalar cerita dalam buku Ular di Mangkuk Nabi juga kentara membuktikan ketekunan pengarang untuk resepsi kritis terhadap sekian keriuhan referensi imajinasi dalam lukisan dan musik klasik. Pembaca bisa mencatat atau melacak eksplisitas pengarang menghadirkan referensi dalam cerita. Pengarang dengan inklusif mengantarkan pembaca untuk mengingat dan mencari pembenaran dari konstruksi cerita. Nalar cerita lalu dioperasionalkan untuk kerimbunan tanda dan keramaian imajinasi dengan berbagai referensi dan olah produksi atau reproduksi. Begitu. (*)

Data Buku

* Judul Buku : Ular di Mangkuk Nabi
* Penulis : Triyanto Triwikromo
* Penerbit : Gramedia, Jakarta
* Cetak : I, Juni 2009
* Tebal : xii + 168 halaman

Sumber: Jawa Pos, Minggu, 02 Agustus 2009
Teruskan baca - Nalar Cerita dan Ekstase Imajinasi

Generasi Nol Buku


SASTRAWAN Taufik Ismail mengritik sistem pendidikan yang tidak memberikan porsi besar terhadap pembiasaan membaca dan mengarang di kalangan anak didik, sehingga hasilnya pun dapat disebut sebagai bagian dari "Generasi Nol Buku".

Kritik tersebut disampaikannya ketika menerima penghargaan Habibie Award 2007 dalam rangka ulang tahun The Habibie Center ke-8 di Hotel Gren Melia, Jakarta, Kamis.

Dalam makalahnya yang berjudul "Generasi Nol Buku: Yang Rabun Membaca, Pincang Mengarang", Taufik mengaku, bersama dengan puluhan ribu anak SMA lain di seluruh tanah air pada 1953-1956 mereka sudah menjadi generasi nol buku, yang rabun membaca dan lumpuh menulis.

Nol buku, disebut Taufik karena kala itu mereka tidak mendapat tugas membaca melalui perpustakaan sekolah, sehingga "rabun" membaca.

Sementara istilah "pincang mengarang" adalah karena tidak ada latihan mengarang dalam pelajaran di sekolah.

Taufik membandingkan pelajaran membaca dan mengarang siswa Indonesia dan siswa dari beberapa negara lain dalam sebuah survei sederhana dan mendapat perbandingan yang mencengangkan.

Teruskan baca - Generasi Nol Buku

Sajak Sebatang Lisong


menghisap sebatang lisong
melihat Indonesia Raya
mendengar 130 juta rakyat
dan di langit
dua tiga cukong mengangkang
berak di atas kepala mereka
matahari terbit
fajar tiba
dan aku melihat delapan juta kanak - kanak
tanpa pendidikan
aku bertanya
tetapi pertanyaan - pertanyaanku
membentur meja kekuasaan yang macet
dan papantulis - papantulis para pendidik
yang terlepas dari persoalan kehidupan
delapan juta kanak - kanak
menghadapi satu jalan panjang
tanpa pilihan
tanpa pepohonan
tanpa dangau persinggahan
tanpa ada bayangan ujungnya
……………………..
menghisap udara
yang disemprot deodorant
aku melihat sarjana - sarjana menganggur
berpeluh di jalan raya
aku melihat wanita bunting
antri uang pensiunan
dan di langit
para teknokrat berkata :
bahwa bangsa kita adalah malas
bahwa bangsa mesti dibangun
mesti di up-grade
disesuaikan dengan teknologi yang diimpor
gunung - gunung menjulang
langit pesta warna di dalam senjakala
dan aku melihat
protes - protes yang terpendam
terhimpit di bawah tilam
aku bertanya
tetapi pertanyaanku
membentur jidat penyair - penyair salon
yang bersajak tentang anggur dan rembulan
sementara ketidak adilan terjadi disampingnya
dan delapan juta kanak - kanak tanpa pendidikan
termangu - mangu di kaki dewi kesenian
bunga - bunga bangsa tahun depan
berkunang - kunang pandang matanya
di bawah iklan berlampu neon
berjuta - juta harapan ibu dan bapak
menjadi gemalau suara yang kacau
menjadi karang di bawah muka samodra
……………………………
kita mesti berhenti membeli rumus - rumus asing
diktat - diktat hanya boleh memberi metode
tetapi kita sendiri mesti merumuskan keadaan
kita mesti keluar ke jalan raya
keluar ke desa - desa
mencatat sendiri semua gejala
dan menghayati persoalan yang nyata
inilah sajakku
pamplet masa darurat
apakah artinya kesenian
bila terpisah dari derita lingkungan
apakah artinya berpikir
bila terpisah dari masalah kehidupan

(ITB Bandung, 19 Agustus 1978)
Teruskan baca - Sajak Sebatang Lisong

Dalam Sajak Orang Kepanasan (WS Rendra) Saya Berjumpa Wiji Thukul


Untuk menghormati WS Rendra Kompas tidak saja memberikan porsi yang cukup besar untuk artikel seputar si Burung Merak ini tetapi juga menghilangkan tulisan TAJUK RENCANA (rubrik ‘keramat’ bagi sebuah media) pada hari Sabtu 8 Agustus 2009. Pada lajur kolom TAJUK RENCANA hari Sabtu itu diisi MENGENANG WS RENDRA dengan memuat 2 sajak pilihan harian Kompas yakni Sajak Orang Kepanasan dan Sajak Bulan Mei 1998 di Indonesia.
Teruskan baca - Dalam Sajak Orang Kepanasan (WS Rendra) Saya Berjumpa Wiji Thukul

DELAPAN MATA AIR KECEMERLANGAN


Penulis : Anis Matta
Penerbit : Tarbawi Press

Delapan Mata Air Kecemerlangan adalah kumpulan thema yang disampaikan penulis dalam training Personal Quality Development. Konsepnya dimulai dari penjelasan tentang model manusia seperti apa yang di inginkan Islam. Apa yang kemudian oleh Anis Matta disebut dengan model manusia muslim. Mungkin masih banyak orang yang masih bingung ingin menjadi apa ? Justru disinilah kelebihan buku ini dalam meluruskan paradigma yang selama ini diyakini kebanyakan kita. Sebab, seorang muslim tidak bertanya tentang apa yang ia inginkan bagi dirinya atau hidupnya.Namun, seorang Muslim akan bertanya tentang apa yang Allah SWT inginkan bagi dirinya.
Teruskan baca - DELAPAN MATA AIR KECEMERLANGAN

Selasa, 31 Desember 2013

PEMENANG DAN PECUNDANG


Pemenang selalu menjadi bagian dari solusi
Pecundang selalu menjadi bagian dari masalah

Pemenang selalu memiliki program atau rancangan
Pecundang selalu memiliki alasan ( pernyataan maaf )

Pemenang berkata “Biarkan saya yang melakukannya untuk anda”
Pecundang berkata “Itu bukan pekerjaan saya”

Pemenang selalu berusaha mencari jawaban dari setiap masalah
Pecundang melihat masalah dalan setiap jawaban

Pemenang berkata “Ini mungkin susah tapi memungkinkan untuk dilakukan”
Pecundang berkata “Ini mungkin dilakukan tapi terlalu susah untuk dilakukan”

Ketika pemenang melakukan sebuah kesalahan, ia akan berkata “Saya melakukan kesalahan”
Ketika pecundang melakukan sebuah kesalahan, i akan berkata “Itu bukan kesalahan saya”

Pemenang membuat komitmen-komitmen
Pecundang membuat janji-janji

Pemenang memiliki mimpi
Pecundang memiliki rencana kotor

Pemenang berkata “Saya harus melakukan sesuatu”
Pecundang berkata “Sesuatu seharusnya terkerjakan”

Pemenang adalah bagian dari tim
Pecundang terpisah dari tim

Pemenang melihat keuntungan
Pecundang melihat penyakit

Pemenang melihat kemungkinan
Pecundang melihat masalah

Pemenang meyakini win-win solution
Pecundang meyakini mereka harus success orang laen harus gagal

Pemenang melihat prospek
Pecundang melihat masa lalu

Pemenang seperti alat pengatur panas
Pecundang seperti alat pengukur panas

Pemenang memilih seperti yang ia ingin lakukan
Pecundang memilih sesuai pilihan orang banyak

Pemenang mengutarakan argumen yang kuat tetapi kata yang lembut
Pecundang mengutarakan argumen yang lemah tapi kata yang kuat ( memaksa )

Pemenang menggunakan filsofi :”Jangan melakukan sesuatu yang tidak ingin orang lakukan terhadap dirinya”
Pecundang menjalani hidup dengan filosofi “Lakukan ke orang lain sebelum orang lain melakukannya ke diri sendiri”

Pemenang membuat sesuatu terjadi
Pecundang membiarkan sesuatu terjadi

Sumber: http://user36.wordpress.com/2009/02
Teruskan baca - PEMENANG DAN PECUNDANG